JAKARTA - Wacana keterlibatan Bareskrim Polri dalam pemantauan pasar modal menimbulkan pro dan kontra. Beberapa pihak khawatir kehadiran kepolisian dapat mengganggu dinamika transaksi saham yang sangat cair, bahkan berpotensi menimbulkan intervensi pasar. Namun, Polri menegaskan bahwa langkah ini bertujuan untuk penegakan hukum semata dan sejalan dengan program Presiden Prabowo Subianto dalam menciptakan ekosistem investasi yang lebih aman.
Kekhawatiran terhadap berbagai kasus kejahatan di pasar modal menjadi dasar utama keterlibatan Polri. Kasus-kasus besar seperti korupsi Taspen, Jiwasraya, serta skandal 'mafia listing' yang melibatkan oknum Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan bahwa kejahatan di sektor ini masih marak terjadi. Skandal mafia listing, misalnya, melibatkan lima orang yang diduga menerima suap untuk memuluskan proses pencatatan perusahaan di bursa. Praktik ini diperkirakan telah berlangsung bertahun-tahun, namun penyelesaiannya masih belum jelas.
Selain itu, kehadiran Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara yang mengelola BUMN besar, termasuk yang tercatat di lantai bursa, juga menjadi faktor yang mendorong Polri untuk mengawasi pasar saham agar skandal besar yang dapat merugikan negara triliunan rupiah tidak kembali terulang.
Polri: Tidak Ada Intervensi, Hanya Pengawasan
Kasubdit 5 Bareskrim Polri, Kombes Pol M Irwan Susanto, menegaskan bahwa pemantauan pasar modal oleh kepolisian dilakukan dalam koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Langkah ini bukanlah intervensi terhadap mekanisme pasar, melainkan bagian dari upaya penegakan hukum untuk menciptakan ekosistem investasi yang lebih aman.
"Bareskrim juga punya concern [memantau saham] dan berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), khususnya dalam bidang pengawasan saham," ujar Irwan kepada Bisnis, Rabu (5/3/2025).
Irwan juga menjelaskan bahwa tujuan utama pengawasan ini adalah memberikan kepastian kepada para investor dan menjaga stabilitas ekonomi nasional. "Ini dijaga sehingga bisa menopang satu sisi ekonomi dan kepastian kepada nasabah," tambahnya.
Lonjakan Transaksi Mencurigakan di Pasar Modal
Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) menunjukkan adanya lonjakan signifikan dalam transaksi keuangan mencurigakan di pasar modal. Tahun 2024, terdapat 2.818 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM), naik 125 persen dibandingkan 2023 yang hanya 1.248 laporan.
Selain itu, transaksi gelap melalui perusahaan efek juga mengalami lonjakan drastis. Tahun 2023 tercatat 1.534 transaksi mencurigakan, sementara pada 2024 jumlahnya melonjak hingga 12.335 transaksi, meningkat sebesar 704,1 persen. Angka ini menunjukkan tingginya risiko kejahatan finansial di sektor pasar modal.
Menurut Undang-Undang No.8/1995 tentang Pasar Modal, kejahatan di sektor ini terbagi dalam tiga kategori utama, yakni:
- Fraud, termasuk di dalamnya penipuan investasi;
- Insider Trading, atau perdagangan orang dalam yang memanfaatkan informasi rahasia;
- Manipulasi Pasar, yang bertujuan untuk menciptakan ilusi permintaan atau penawaran yang tidak wajar.
Sementara itu, Undang-Undang No.4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) awalnya mengamanatkan bahwa penyidikan pasar modal hanya dilakukan oleh OJK. Namun, Peraturan Pemerintah No.5/2023 memberikan relaksasi dengan memungkinkan Polri tetap melakukan penyidikan tindak pidana di sektor keuangan.
Pro dan Kontra Keterlibatan Polri
Analis Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menilai bahwa koordinasi antarlembaga menjadi kunci dalam memastikan keterlibatan kepolisian di pasar modal tidak mengganggu mekanisme pasar.
"Apalagi hal tersebut juga bertujuan untuk mencegah terjadinya manipulasi perdagangan di pasar modal. Jadi ini benar-benar bisa menciptakan ekosistem pasar modal di Tanah Air yang kondusif, harapannya seperti itu," kata Nafan.
Namun, ia juga menegaskan pentingnya menjaga independensi pasar. "Yang terpenting sesuai dengan koridornya masing-masing, asalkan tujuannya bukan intervensi. Namanya market ‘kan sebenarnya tidak menginginkan adanya intervensi pasar," tambahnya.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mempertanyakan motif di balik keterlibatan Polri dalam pengawasan pasar modal. Ia menilai langkah ini bisa menjadi sinyal bahwa ada masalah serius di sektor keuangan yang membutuhkan perhatian khusus.
"Ada kegentingan apa ya, Bareskrim ikut memantau pengawasan pasar modal? Berarti ini sinyal bahwa ada kegentingan yang memaksa pihak kepolisian ikut turun melakukan pengawasan," ujar Bhima.
Bhima juga menyoroti aliran dana besar yang keluar dari Indonesia ke Singapura pada tahun lalu, yang jumlahnya mencapai Rp4.086,3 triliun. Ia menduga bahwa arus dana ini bisa menjadi indikasi adanya transaksi mencurigakan yang membutuhkan pengawasan lebih ketat.
Keterlibatan Polri dalam pengawasan pasar modal masih menjadi perdebatan. Di satu sisi, pengawasan ini dianggap penting untuk mencegah kejahatan keuangan yang semakin marak. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa kehadiran kepolisian dapat mengganggu stabilitas pasar dan menyebabkan intervensi yang tidak diinginkan.
Yang jelas, dengan meningkatnya jumlah transaksi mencurigakan di pasar modal, langkah antisipatif perlu dilakukan. Namun, koordinasi antara OJK, Polri, dan pihak terkait lainnya sangat diperlukan agar pengawasan ini tetap berada dalam koridor yang tepat tanpa mengganggu mekanisme pasar. Sebab, kepercayaan investor terhadap pasar modal Indonesia adalah kunci utama dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional.