JAKARTA — Harga minyak mentah global kembali berada di bawah tekanan, dengan pasar kini mencermati arah kebijakan produksi dari negara-negara pengekspor minyak utama. Spekulasi atas potensi kenaikan produksi OPEC+ serta redanya konflik geopolitik di Timur Tengah menjadi pemicu utama pelemahan harga.
Mengutip laporan Reuters, harga minyak Brent mengalami penurunan 0,2 persen ke posisi US$67,61 per barel, sementara minyak West Texas Intermediate (WTI) terkoreksi lebih dalam hingga 0,6 persen menjadi US$65,11 per barel.
Situasi ini mencerminkan sikap hati-hati pelaku pasar dalam merespons perkembangan terbaru yang dapat memengaruhi suplai global. Setelah sempat melonjak akibat konflik antara Israel dan Iran, harga minyak kini mulai menyesuaikan seiring dengan tercapainya kesepakatan gencatan senjata.
“Gencatan senjata yang direkayasa dengan cepat tampaknya masih bertahan. Risiko pasokan yang sempat mendorong harga kini sedang ditarik kembali dengan cepat,” kata John Kilduff, Mitra di Again Capital, sebagaimana dikutip dari laporan tersebut.
Konflik antara Israel dan Iran selama 12 hari sebelumnya sempat mengguncang pasar energi global. Ketegangan tersebut muncul menyusul serangan terhadap fasilitas nuklir Iran, yang memunculkan kekhawatiran atas potensi terganggunya suplai minyak dari kawasan tersebut. Namun kini, meredanya konflik berkat intervensi diplomatik membuat harga minyak kembali ke tren pelemahan.
Di luar Timur Tengah, dinamika suplai juga dipengaruhi oleh data produksi dari Amerika Serikat. Negeri Paman Sam dilaporkan mencetak rekor baru produksi minyak mentah sebesar 13,47 juta barel per hari (bph) pada April, naik dari 13,45 juta bph pada bulan sebelumnya.
“Rekor produksi minyak turut menambah sentimen bearish di pasar,” ujar Kilduff.
Fakta bahwa Amerika Serikat terus meningkatkan produksi menunjukkan bahwa suplai minyak mentah global berpotensi melampaui permintaan. Hal ini menjadi kabar yang kurang menggembirakan bagi produsen yang ingin menjaga harga tetap tinggi.
Di sisi lain, Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya, yang tergabung dalam OPEC+, kini berada dalam sorotan. Kelompok ini dikabarkan tengah mempertimbangkan untuk menaikkan kembali volume produksi minyak mereka mulai bulan Agustus.
Jika rencana tersebut disetujui, maka OPEC+ akan menambah pasokan sebesar 411.000 bph di bulan kedelapan tahun ini. Tambahan ini mengikuti pola serupa yang telah dilakukan pada bulan Mei, Juni, dan Juli.
Secara akumulatif, kenaikan pasokan dari OPEC+ sepanjang tahun 2025 akan mencapai sekitar 1,78 juta bph. Jumlah ini setara dengan hampir 1,5 persen dari total permintaan minyak mentah dunia, sebuah angka yang signifikan dalam konteks keseimbangan pasar global.
Rencana kenaikan produksi ini pun dinilai sebagai faktor utama yang mendorong pelemahan harga minyak dalam beberapa waktu terakhir. Pasar tampaknya bersikap antisipatif terhadap potensi banjir pasokan baru di tengah situasi geopolitik yang mulai stabil.
Keputusan resmi dari OPEC+ terkait kebijakan ini dijadwalkan akan diumumkan dalam pertemuan lanjutan yang digelar pada 6 Juli mendatang. Pelaku pasar dan analis global akan mencermati dengan seksama hasil dari pertemuan tersebut, karena arah kebijakan OPEC+ dinilai krusial dalam menentukan tren harga ke depan.
Sementara itu, dari dalam negeri, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan bahwa harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) masih akan berada pada rentang US$60 hingga US$80 per barel.
Perkiraan ini mempertimbangkan dinamika geopolitik, tren produksi global, serta fluktuasi permintaan yang dipengaruhi oleh pemulihan ekonomi dunia pasca-pandemi.
Secara umum, kondisi pasar minyak global saat ini sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu ketegangan geopolitik dan arah kebijakan produksi negara-negara utama. Di satu sisi, meredanya konflik antara Israel dan Iran menurunkan ketakutan akan gangguan suplai. Di sisi lain, kenaikan produksi yang dilakukan oleh AS dan direncanakan oleh OPEC+ menambah tekanan pada harga.
Indonesia sendiri, yang masih bergantung pada impor minyak mentah untuk memenuhi kebutuhan energi domestik, tentu mengamati perkembangan ini dengan saksama. Harga minyak yang lebih rendah dapat membantu menekan biaya impor energi dan meringankan beban subsidi energi pemerintah. Namun, fluktuasi tajam juga bisa mempersulit perencanaan fiskal dan neraca perdagangan.
Sebagai produsen sekaligus konsumen energi, Indonesia menghadapi tantangan ganda dalam menjaga stabilitas harga dan ketahanan energi nasional. Realisasi lifting minyak nasional saat ini baru mencapai sekitar 568 ribu bph, jauh di bawah target yang ditetapkan dalam APBN. Kondisi ini menambah urgensi untuk mempercepat reformasi sektor hulu migas dan menarik lebih banyak investasi.
Dengan latar belakang tersebut, perkembangan harga minyak global bukan hanya berdampak bagi pelaku pasar dan investor, tetapi juga bagi kebijakan energi nasional dan perekonomian secara keseluruhan.
Seluruh perhatian kini tertuju pada pertemuan OPEC+ dalam waktu dekat. Keputusan yang akan diambil bisa menjadi penentu utama apakah harga minyak akan melanjutkan tren penurunan atau justru berbalik naik jika pasar menilai suplai tetap ketat.