JAKARTA – Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi di sejumlah daerah mulai awal Juli ini kembali memicu perhatian publik. Namun, bagi para pakar energi dan ekonom, penyesuaian harga yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) dinilai sebagai langkah yang wajar dan sesuai dengan prinsip evaluasi pasar.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai bahwa keputusan menaikkan harga BBM non subsidi bukanlah langkah mendadak tanpa pertimbangan. Menurutnya, setiap penyesuaian harga telah melalui evaluasi berkala yang mempertimbangkan sejumlah indikator penting, seperti pergerakan harga minyak dunia serta fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
“Keputusan harga BBM non subsidi dievaluasi secara reguler dengan mempertimbangkan variabel,” ujarnya.
Khusus untuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), harga Pertamax naik dari sebelumnya Rp12.100 per liter menjadi Rp12.500 per liter. Pertamax Turbo mengalami kenaikan dari Rp13.050 per liter menjadi Rp13.500 per liter. Sementara Pertamax Green naik dari Rp12.800 per liter menjadi Rp13.250 per liter.
Produk jenis Dexlite juga mengalami penyesuaian dari Rp12.740 per liter menjadi Rp13.320 per liter. Adapun Pertamina Dex naik dari Rp13.200 per liter menjadi Rp13.650 per liter.
Fahmy menyebutkan bahwa besaran kenaikan harga tersebut sudah sesuai dan ideal jika disandingkan dengan variabel pasar yang memengaruhinya. Penyesuaian harga yang dilakukan Pertamina ini dinilai mencerminkan fleksibilitas yang diperlukan dalam menyikapi gejolak harga energi global.
Di sisi lain, Fahmy memberikan catatan penting mengenai harga BBM subsidi. Ia menekankan bahwa selama harga minyak mentah dunia masih berada di bawah ambang batas 100 dolar AS per barel, maka tidak ada urgensi untuk menaikkan harga BBM subsidi.
Menurutnya, menjaga harga BBM subsidi tetap stabil akan lebih menguntungkan dalam menjaga daya beli masyarakat dan menahan laju inflasi.
“[Harga BBM subsidi tidak perlu naik] selama harga minyak dunia masih di bawah 100 dolar AS,” tegas Fahmy.
Ia mengingatkan bahwa setiap kenaikan harga BBM subsidi berpotensi memicu efek domino terhadap perekonomian nasional. Salah satunya adalah mendorong inflasi yang akan berdampak langsung pada daya beli masyarakat, serta memperlambat pertumbuhan ekonomi yang tengah berupaya dipulihkan.
Sementara itu, dari sisi pengaruh eksternal, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menyoroti dampak konflik geopolitik yang belakangan ini kembali memanas di kawasan Timur Tengah, khususnya antara Iran dan Israel.
Menurut Tauhid, konflik tersebut berisiko memengaruhi stabilitas perekonomian Indonesia secara tidak langsung, terutama melalui jalur energi. Ia menuturkan bahwa tekanan pada nilai tukar rupiah, koreksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), serta kenaikan harga minyak global merupakan beberapa dampak awal yang mulai dirasakan.
“Kenaikan harga minyak dan BBM serta gangguan logistik global menjadi imbas dari konflik tersebut,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa dalam situasi seperti ini, Indonesia harus menyusun strategi antisipasi terhadap berbagai risiko yang mungkin muncul. Beberapa di antaranya adalah potensi inflasi yang tinggi akibat kenaikan harga minyak, arus modal keluar atau capital outflow, pelemahan nilai tukar rupiah, serta risiko terganggunya rantai pasok nasional.
Tauhid menyampaikan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap harga energi global membuat perekonomian nasional cukup rentan terhadap krisis eksternal, khususnya konflik yang menyentuh sektor energi dan logistik.
“Konflik geopolitik kini tidak lagi bersifat militer semata, tetapi menembus ke ranah ekonomi dan perdagangan,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyarankan agar respons kebijakan nasional ke depan mencakup tiga aspek utama: kebijakan energi yang adaptif, upaya menjaga stabilitas nilai tukar, serta mitigasi atas potensi gangguan rantai pasok logistik.
“Oleh karena itu, respons Indonesia harus mencakup kebijakan energi, kestabilan nilai tukar, dan mitigasi rantai pasok,” tuturnya.
Menyikapi hal tersebut, langkah evaluatif yang dilakukan Pertamina dalam menyesuaikan harga BBM non subsidi menjadi penting agar tetap selaras dengan dinamika pasar global. Di tengah situasi geopolitik yang tidak menentu dan harga minyak dunia yang fluktuatif, fleksibilitas dalam kebijakan energi menjadi kunci untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan fiskal negara, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat.
Namun, publik tetap berharap adanya transparansi dalam setiap penyesuaian harga serta komunikasi yang efektif dari pemerintah maupun badan usaha. Hal ini agar masyarakat dapat memahami dasar dari setiap kebijakan energi, sekaligus menumbuhkan kepercayaan bahwa kebijakan tersebut diambil demi kestabilan dan kepentingan jangka panjang.
Langkah ini juga sekaligus menjadi momentum untuk terus mempercepat transisi energi ke arah yang lebih hijau dan ramah lingkungan. Dengan mendorong penggunaan BBM ramah lingkungan seperti Pertamax Green dan varian energi baru lainnya, pemerintah memiliki peluang untuk menekan ketergantungan pada energi fosil serta memperkuat ketahanan energi nasional di masa depan.