Energi Hijau Dorong Harga Tembaga

Kamis, 10 Juli 2025 | 07:24:12 WIB
Energi Hijau Dorong Harga Tembaga

JAKARTA - Sentimen energi hijau mulai menunjukkan pengaruh signifikan terhadap pergerakan harga komoditas, termasuk tembaga. Di tengah kekhawatiran pasar terhadap kemungkinan pemberlakuan kembali tarif oleh Donald Trump jika terpilih kembali sebagai Presiden AS, harga tembaga justru mendapatkan penopang dari arah kebijakan energi global yang semakin hijau.

Harga tembaga di pasar global sempat menunjukkan penguatan di awal pekan ini. Pada perdagangan harga tembaga untuk kontrak Agustus 2024 di London Metal Exchange (LME) menguat 0,4% ke posisi US$ 9.947 per ton. Ini menandai adanya sentimen positif yang berkelanjutan meski ada tekanan geopolitik dan ekonomi dari Amerika Serikat.

Meskipun menguat, harga tembaga tetap berada di bawah level psikologis US$ 10.000 per ton. "Harga tembaga memang masih volatile, tapi permintaan dari sektor energi hijau dan elektrifikasi kendaraan menjadi faktor pendukung utama," ujar Ibrahim Assuaibi, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka.

Menurut Ibrahim, pasar masih menanti kepastian arah kebijakan perdagangan AS, terutama menjelang Pemilu. Namun, kebijakan pro-lingkungan dari berbagai negara, termasuk program transisi energi di China dan Eropa, ikut menopang permintaan tembaga dalam jangka menengah hingga panjang.

Data dari International Energy Agency (IEA) juga menunjukkan bahwa transisi ke energi hijau, termasuk ekspansi kendaraan listrik, infrastruktur energi terbarukan, dan jaringan pintar, telah meningkatkan konsumsi logam seperti tembaga, nikel, dan aluminium secara signifikan. Tembaga menjadi material vital dalam sistem kelistrikan dan baterai, yang membuat komoditas ini sangat bergantung pada keberlanjutan tren energi hijau.

Namun, penguatan harga tembaga masih harus menghadapi tantangan dari sisi geopolitik. Kemungkinan Trump kembali menjabat menjadi perhatian tersendiri. Dalam pidato kampanye terbarunya, Trump menyinggung soal pengenaan tarif tambahan bagi produk asal China dan Meksiko sebagai bagian dari perlindungan industri dalam negeri. Kebijakan ini dikhawatirkan memicu ketegangan dagang dan menekan aktivitas manufaktur global, yang pada akhirnya berdampak pada permintaan logam industri seperti tembaga.

"Pasar khawatir kalau Trump kembali menjabat, ketegangan dagang bisa meningkat lagi. Ini bisa membatasi pertumbuhan permintaan, terutama dari sektor manufaktur dan konstruksi," kata Ibrahim.

Kendati demikian, pelaku pasar tetap melihat arah jangka panjang industri logam masih ditopang oleh transformasi energi global. Seiring peningkatan proyek elektrifikasi dan pembangunan infrastruktur energi baru terbarukan, tembaga tetap menjadi logam pilihan dengan prospek cerah.

Harga tembaga yang sempat menyentuh level tertinggi US$ 10.208 per ton pada Mei lalu menjadi indikasi bahwa tekanan dari sisi pasokan masih nyata. Ketegangan geopolitik di wilayah penghasil tembaga utama seperti Peru dan Chile juga menjadi pemicu terbatasnya pasokan global.

“Produksi dari tambang besar di Amerika Selatan mengalami gangguan, dan ini berdampak langsung pada pasokan global,” ujar Ibrahim. Ia menambahkan, kombinasi antara terbatasnya pasokan dan meningkatnya permintaan karena proyek energi hijau, membuat harga tembaga berpotensi mengalami lonjakan dalam beberapa bulan ke depan.

Faktor lainnya yang turut diperhitungkan adalah kekuatan dolar AS. Saat ini, penguatan dolar menahan laju kenaikan harga tembaga karena membuat harga logam tersebut menjadi lebih mahal bagi pembeli di luar negeri. Namun, jika The Fed mulai menurunkan suku bunga di semester kedua 2025, ada peluang tekanan dari dolar bisa mereda, dan ini bisa mendukung penguatan harga komoditas, termasuk tembaga.

Di sisi teknikal, menurut Ibrahim, harga tembaga berpeluang menembus kembali ke atas US$ 10.000 per ton jika mampu bertahan di atas support jangka pendek di kisaran US$ 9.800 per ton. “Selama harga tidak turun di bawah US$ 9.500, tren jangka menengahnya masih cenderung positif,” ujarnya.

Dalam jangka panjang, pelaku pasar dan investor juga semakin memperhatikan prinsip ESG (environmental, social, governance) dalam strategi investasinya. Hal ini membuat banyak dana global mulai beralih ke sektor-sektor yang mendukung transisi energi dan dekarbonisasi, yang otomatis meningkatkan permintaan terhadap logam ramah lingkungan seperti tembaga.

“Tren ESG dan dekarbonisasi industri akan menjadi penopang utama logam industri dalam satu dekade ke depan,” ujar Ibrahim.

Bagi investor, kondisi ini memberikan peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, permintaan yang terus tumbuh dari sektor energi hijau memberi potensi cuan dari logam industri. Di sisi lain, fluktuasi jangka pendek akibat ketidakpastian kebijakan dan geopolitik tetap perlu diwaspadai.

Untuk sementara ini, pasar akan terus memantau perkembangan kampanye politik di AS, arah kebijakan moneter The Fed, serta data ekonomi dari China yang menjadi konsumen utama tembaga global. Apabila kebijakan pemerintah-pemerintah utama tetap konsisten pada jalur energi hijau, maka peluang kenaikan harga tembaga tetap terbuka lebar.

Terkini