JAKARTA - Komitmen Pemerintah Aceh dalam mendukung transformasi energi kian menguat, salah satunya melalui pengembangan kerja sama Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) di kawasan Arun, Lhokseumawe. Kawasan yang dahulu menjadi pusat kejayaan industri gas alam cair (LNG) ini kini digadang-gadang sebagai episentrum baru pengembangan teknologi penyimpanan karbon yang ramah lingkungan.
Langkah ini sejalan dengan misi besar Pemerintah Indonesia dalam mempercepat transisi energi serta mencapai target penurunan emisi karbon nasional, sebagaimana tercantum dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC). Di dalamnya, pengembangan CCS/CCUS dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya dekarbonisasi sektor energi, tanpa harus mengorbankan keberlanjutan industri migas yang masih menjadi tumpuan ekonomi.
Peluang itu pula yang dibidik Pemerintah Aceh dengan menggandeng berbagai mitra strategis. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar, dalam kunjungannya beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa fasilitas kilang dan infrastruktur migas eksisting di Arun menjadi potensi besar untuk pengembangan CCS/CCUS di Indonesia, bahkan Asia Tenggara.
“Arun adalah salah satu lokasi paling siap di Indonesia untuk pengembangan CCS dan CCUS. Dengan infrastruktur yang sudah ada dan lokasi strategisnya, kawasan ini bisa menjadi pionir teknologi penyimpanan karbon di Tanah Air,” ujar Arcandra seperti dikutip dalam pertemuan strategis bersama pemerintah daerah.
Di sisi lain, potensi besar tersebut tak lepas dari catatan sejarah panjang Arun sebagai pusat industri migas nasional. Pasca-menurunnya aktivitas produksi LNG, infrastruktur kilang, jaringan pipa, dan terminal ekspor masih relatif utuh dan dapat dimodifikasi untuk mendukung kegiatan penangkapan serta penyimpanan karbon.
Penjabat Gubernur Aceh, Bustami Hamzah, menyatakan bahwa Pemerintah Aceh sangat terbuka terhadap masuknya investasi yang mendukung pengembangan CCS/CCUS, sekaligus mengundang kolaborasi lintas sektor dalam merealisasikan proyek ini.
“Kerja sama di Arun menjadi titik penting bagi Aceh dalam mendorong transisi energi secara berkelanjutan. Kita butuh sinergi kuat antara pemerintah pusat, daerah, dan sektor swasta agar potensi ini tidak sekadar menjadi wacana, tapi nyata dan berdampak,” tegas Bustami.
Menurutnya, pengembangan CCS/CCUS bukan hanya soal teknologi, tapi juga menyangkut visi jangka panjang menuju ekonomi rendah karbon yang tetap inklusif. Dalam konteks Aceh, pendekatan ini penting agar transformasi energi tidak menciptakan kesenjangan sosial baru, melainkan justru membuka lapangan kerja dan meningkatkan kapasitas lokal.
Dari sisi teknis, CCS dan CCUS merupakan dua pendekatan ilmiah yang saling melengkapi. CCS fokus pada proses penangkapan emisi karbon dari sumber industri atau pembangkit listrik, untuk kemudian disimpan ke dalam formasi geologi bawah tanah yang aman. Sementara CCUS menambahkan unsur pemanfaatan kembali karbon yang ditangkap, misalnya untuk injeksi dalam peningkatan produksi minyak (Enhanced Oil Recovery/EOR), atau dijadikan bahan baku industri lain.
Potensi Arun sebagai hub CCS/CCUS juga diperkuat dengan hasil studi awal dari beberapa lembaga riset nasional dan internasional. Studi tersebut mengungkapkan bahwa struktur geologi bawah tanah di sekitar kawasan Arun memiliki daya tampung karbon yang besar dan aman untuk jangka panjang.
Bahkan, perusahaan migas seperti Pertamina dan ExxonMobil telah menjajaki kemungkinan menjadikan Arun sebagai lokasi proyek CCS/CCUS komersial pertama di Indonesia. Kerja sama dengan badan usaha milik negara ini menjadi kunci dalam menggerakkan proyek ke fase implementasi, terutama dari sisi pembiayaan dan transfer teknologi.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Mahdinur, menyampaikan bahwa pihaknya telah menyiapkan kerangka regulasi dan dukungan teknis yang dibutuhkan untuk mempercepat proses pengembangan proyek ini. Salah satunya dengan mendorong penyusunan peraturan daerah (qanun) yang mengatur secara khusus investasi dan tata kelola CCS/CCUS.
“Pemerintah Aceh ingin memastikan bahwa semua proses pengembangan ini berjalan transparan, sesuai prinsip keberlanjutan, dan memberi manfaat maksimal bagi masyarakat sekitar,” jelas Mahdinur.
Dalam hal penguatan kapasitas sumber daya manusia, Pemerintah Aceh juga tengah menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi dan lembaga pelatihan energi untuk mempersiapkan tenaga kerja lokal yang kompeten di bidang teknologi karbon.
Sementara itu, dari sisi dukungan fiskal dan insentif, Pemerintah Pusat disebut-sebut tengah menyiapkan sejumlah kebijakan untuk mendukung percepatan CCS/CCUS. Kebijakan tersebut meliputi insentif pajak, kemudahan perizinan, serta mekanisme pembiayaan yang ramah investor.
Sejumlah analis menilai, keberhasilan proyek CCS/CCUS di Arun akan menjadi katalis penting dalam peta jalan transisi energi nasional. Bukan hanya karena nilai strategisnya secara teknis dan geografis, namun juga karena kemampuannya menginspirasi daerah lain untuk berinvestasi di sektor serupa.
Jika proyek ini berjalan sesuai rencana, Arun bukan hanya akan bangkit sebagai simbol kejayaan industri energi di masa lalu, tetapi juga menjadi model masa depan energi rendah emisi di Indonesia.