Energi untuk Masa Depan Berkeadilan

Jumat, 01 Agustus 2025 | 11:18:41 WIB
Energi untuk Masa Depan Berkeadilan

JAKARTA - Perjalanan Indonesia menuju energi yang lebih bersih tengah memasuki babak penting. Di balik target ambisius pengembangan energi terbarukan, muncul pertanyaan besar: apakah transisi ini cukup adil bagi semua pihak yang terdampak?

Pemerintah telah mencanangkan peta jalan pengembangan energi terbarukan dalam RUPTL 2025 hingga 2034. Targetnya cukup ambisius, yakni menambah kapasitas terpasang energi terbarukan sebesar 42,6 GW hingga 2034. Namun, target besar ini membutuhkan dana besar pula, sekitar US$16 hingga US$40 miliar per tahun. Sayangnya,  investasi sektor ini baru menyentuh angka US$1,47 miliar.

Upaya pemerintah tidak hanya bergantung pada APBN. Pendanaan transisi energi juga terbuka lewat kerja sama dengan lembaga keuangan internasional seperti ADB, World Bank, AIIB, dan melalui skema JETP. Pendekatan ini membuka peluang mempercepat pembangunan infrastruktur energi terbarukan.

Namun di balik semangat pengembangan, muncul tantangan sosial dan lingkungan yang tidak bisa dikesampingkan. Energi terbarukan memang membawa banyak manfaat: memperluas elektrifikasi, membuka lapangan kerja, serta mendukung penurunan emisi. Tapi jika dilakukan tanpa pendekatan yang inklusif, potensi konflik sosial pun mengintai.

Salah satu contoh nyata adalah proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Muara Laboh. Proyek ini mendapat pembiayaan dari berbagai lembaga multilateral dalam skema co-financing dan memberikan dampak ekonomi signifikan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Solok Selatan meningkat 40% dan ratusan ribu rumah tangga mendapat akses listrik.

Namun, masyarakat di sekitar proyek merasakan dampak berbeda. Mereka mengeluhkan penurunan hasil pertanian akibat pencemaran, berkurangnya pasokan air, perubahan bentang lahan, bahkan risiko kesehatan dan penggusuran. Situasi ini memperlihatkan pentingnya pendekatan pembangunan yang lebih adil dan bertanggung jawab.

Mengacu pada pandangan Josimovic, pembangunan industri energi terbarukan juga berpotensi memicu perubahan bentang alam, mempengaruhi ekosistem lokal, hingga menyebabkan konflik sosial akibat alih fungsi lahan yang bersinggungan dengan pemukiman, pertanian, atau wilayah konservasi.

Karena itu, upaya perlindungan sosial dan lingkungan menjadi sangat krusial. Pendekatan yang berkeadilan tidak cukup hanya berfokus pada efisiensi dan keberlanjutan, tapi juga harus menjamin keterlibatan aktif komunitas lokal dalam seluruh proses pembangunan.

Partisipasi bermakna atau meaningful participation menjadi kunci. Dalam konteks ini, keterlibatan masyarakat lokal, komunitas adat, perempuan, buruh, dan kelompok rentan lainnya dalam proses perencanaan, konsultasi, dan pengambilan keputusan sangat penting. Menurut Jenkins dan Liu, partisipasi publik, keterbukaan informasi, dan mekanisme keluhan merupakan tiga indikator utama dari prinsip partisipatif.

Tanpa prosedur yang inklusif, transparan, dan adil, kebijakan transisi energi berpotensi memperkuat ketidakadilan struktural. Seperti dikatakan Schlosberg, proses yang tidak adil justru akan menciptakan ketimpangan baru. Di sinilah negara memainkan peran penting bukan hanya sebagai fasilitator pembangunan, tapi juga sebagai penjaga keadilan melalui regulasi progresif dan sistem pengawasan akuntabel.

Meski Indonesia memiliki regulasi untuk perlindungan lingkungan dan pelibatan publik, implementasinya masih terbatas. Maka dibutuhkan penegakan hukum yang kuat untuk memastikan bahwa prinsip keadilan benar-benar terwujud dalam tata kelola proyek energi.

Dalam hal pembiayaan, masing-masing lembaga donor seperti ADB, World Bank, dan AIIB memiliki mekanisme safeguards atau perlindungan yang menjadi prasyarat dalam pelaksanaan proyek. Safeguards ini mengatur pentingnya partisipasi masyarakat terdampak sepanjang siklus proyek, mulai dari perencanaan hingga evaluasi.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan kesenjangan antara dokumen safeguards dan praktik implementasi. Misalnya, meskipun masyarakat tanpa legalitas tanah terlibat dalam konsultasi, kompensasi hanya diberikan pada mereka yang memiliki sertifikat. Ini menjadi tantangan besar, terutama bagi masyarakat adat yang secara historis memiliki ikatan dengan tanah, tapi belum mendapat pengakuan hukum formal.

Isu lain yang sering muncul adalah penerapan prinsip free, prior, and informed consent (FPIC). Di atas kertas, FPIC dianggap telah terpenuhi jika mendapat dukungan luas komunitas. Namun, sistem pengambilan keputusan di masyarakat adat tidak selalu mengikuti logika mayoritas-minoritas, sebagaimana dalam sistem demokrasi formal. Jika mekanisme pengambilan keputusan tidak disesuaikan dengan nilai-nilai dan budaya lokal, proyek bisa dianggap tidak sah secara sosial meskipun memenuhi syarat administratif.

Mekanisme keluhan juga menjadi bagian penting dari safeguards. Perlindungan terhadap pelapor (whistleblower), inklusivitas gender, serta mekanisme berbasis budaya menjadi hal yang krusial agar suara dari komunitas tidak terpinggirkan.

Peran fasilitator independen dalam proses negosiasi juga dibutuhkan agar tidak terjadi dominasi oleh pihak yang lebih kuat. Sayangnya, keberadaan fasilitator ini belum secara eksplisit tercantum dalam safeguards AIIB. Pendekatan penyelesaian sengketa yang dianut lembaga ini cenderung tidak mengikat, menekankan konsultasi bilateral, sehingga kurang menjamin keadilan bagi pihak lemah.

Meski berbagai prinsip sudah diatur dalam dokumen safeguards, implementasinya masih menemui banyak hambatan di lapangan. Tantangan utama mencakup ketimpangan kekuasaan, kesenjangan antara hukum positif dan praktik sosial, serta pendekatan teknis yang tidak kontekstual terhadap konsultasi publik.

Untuk mewujudkan transisi energi yang adil secara sosial dan lingkungan, negara dan lembaga pendanaan perlu menjamin bahwa semua mekanisme perlindungan benar-benar berjalan secara substantif, bukan hanya administratif. Jika tidak, cita-cita menuju energi bersih berisiko menyisakan ketidakadilan baru bagi kelompok-kelompok rentan yang selama ini kurang mendapat tempat dalam pembangunan.

Terkini