Kereta Api Pernah Suplai Avtur ke Lanud Abdulrachman Saleh

Jumat, 01 Agustus 2025 | 10:25:41 WIB
Kereta Api Pernah Suplai Avtur ke Lanud Abdulrachman Saleh

JAKARTA - Siapa sangka, jalur kereta api yang dulu membentang di Malang memiliki peran penting dalam mendukung pertahanan udara Indonesia. Tak sekadar mengangkut penumpang atau barang umum, kereta api pernah menjadi tulang punggung suplai bahan bakar pesawat TNI Angkatan Udara, khususnya ke Lanud Abdulrachman Saleh. Jalur ini menjadi penghubung vital antara Stasiun Blimbing dan pangkalan militer tersebut, sebuah fakta yang kini mulai terlupakan oleh waktu.

Pangkalan TNI AU Abdulrachman Saleh yang saat ini dikenal luas sebagai salah satu pangkalan udara utama di Indonesia, ternyata memiliki sejarah panjang yang erat kaitannya dengan jalur kereta api. Awalnya, pangkalan ini berada di wilayah Kelurahan Sawojajar, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Namun, sejak 1937, pembangunan pangkalan baru mulai dilakukan atas inisiatif Pemerintah Kolonial Belanda dan rampung sekitar tahun 1940.

Untuk mendukung operasionalnya, Malang Stoomtram Maatschappij (MS) selaku pengelola jalur kereta api waktu itu membangun jalur cabang yang secara khusus menuju ke dalam area pangkalan. Jalur ini bertujuan utama untuk mengangkut avtur atau bahan bakar pesawat dari Depo BBM di kawasan Jagalan, Sukun, Kota Malang, yang terhubung langsung ke Stasiun Blimbing.

Kapten Bambang Supriyatno, Kaur Penpas Lanud Abdulrachman Saleh, menuturkan bahwa jalur tersebut tidak hanya digunakan untuk avtur. “Dulu untuk keperluan avtur pesawat dan logistik,” jelasnya. Bahkan pada masa awalnya, jalur itu sempat juga digunakan untuk mengangkut persenjataan tentara.

Rel yang digunakan membentang sejauh lima kilometer. Titik awalnya berada di percabangan rel dekat Jalan Raya Desa Bugis. Dari sana, rel melintas ke arah utara, mengikuti sisi kiri jalan hingga mencapai tempat penyimpanan bahan bakar dan logistik di dekat Skadron 32. Menariknya, tempat penyimpanan tersebut masih ada sampai saat ini, meski tidak lagi digunakan sebagaimana dulu.

Perubahan zaman tak menghentikan fungsi logistik jalur ini. Bahkan saat masa pendudukan Jepang pada 1942, jalur tersebut tetap beroperasi meski Lanud berubah fungsi menjadi markas tentara Angkatan Darat Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya tahun 1950, fungsi pengangkutan KA di jalur ini difokuskan hanya untuk bahan bakar pesawat.

Dalam praktiknya, pengoperasian kereta menuju ke dalam pangkalan tidak dilakukan dari stasiun besar, melainkan melalui sebuah wesel mandiri yang dioperasikan manual. Jalur ini berada tak jauh dari Halte Bugis, namun halte tersebut tidak digunakan sebagai titik transit. Endiarto Wijaya, seorang penghobi sejarah perkeretaapian, menjelaskan bahwa wesel di jalur menuju Lanud itu dioperasikan langsung oleh kru kereta. "Wesel-nya mandiri dan dioperasikan manual oleh kru KA yang bertugas," ujarnya.

Sistem operasional ini membuat kereta harus berhenti terlebih dahulu sebelum memasuki kawasan Lanud. Posisi wesel diganti dari jalur utama menuju ke jalur masuk Lanud secara manual, lalu kereta kembali berjalan dengan kecepatan lambat.

Jalur utama dari Blimbing ke Tumpang sendiri resmi berhenti beroperasi pada tahun 1968. Namun, hal itu tidak serta merta menghentikan kegiatan pengangkutan avtur ke pangkalan udara. Jalur ke Lanud Abdulrachman Saleh masih tetap digunakan. Penutupan jalur utama tersebut disebabkan oleh banjir besar yang merusak bagian rel di sekitar Stasiun Pakis, tepatnya akibat luapan Sungai Cokro.

Menurut Endiarto, jalur KA untuk suplai avtur tetap beroperasi hingga dekade 1980-an. “Tahun 1989 sampai 1990, KA angkutan avtur diberangkatkan dari jalur 1 Stasiun Blimbing sekarang,” katanya. Pada masa itu, pengangkutan dilakukan dengan lokomotif uap seri C11 yang menarik dua hingga tiga gerbong tertutup seri GR. Gerbong ini berbeda dari gerbong ketel yang biasa digunakan untuk BBM. Avtur dibawa dalam drum-drum besar yang dimuat ke dalam gerbong tersebut.

Alih-alih beroperasi sepanjang hari, KA pengangkut avtur ini hanya berjalan sekali sehari. Jadwalnya fleksibel, bisa berangkat pagi atau siang, dan kembali ke Blimbing pada sore atau petang. Karena menggunakan lokomotif tua, perjalanan berlangsung lambat dan hati-hati.

Saat ini, sebagian besar jalur legendaris tersebut telah lenyap ditelan waktu. Yang tersisa hanyalah potongan-potongan rel di sisi barat jalan masuk ke Bandara Abdulrachman Saleh. Beberapa rel masih terlihat mencuat di permukaan trotoar, sementara lainnya sudah tertimbun tanah. Bagian akhir dari jalur tersebut, yang dulunya mencapai area Skadron 32, kini bahkan sudah tidak bersisa.

Meski demikian, kisah jalur kereta api menuju Lanud Abdulrachman Saleh menjadi saksi penting dari sinergi antara transportasi darat dan pertahanan udara nasional di masa lalu. Sebuah bukti bahwa peran kereta api tak hanya sebatas angkutan sipil, tapi juga memiliki kontribusi strategis dalam sejarah pertahanan Indonesia.

Kini, meski jalur itu tak lagi aktif, semangat kolaborasi antara sistem logistik dan militer tetap menjadi inspirasi untuk pengembangan transportasi nasional ke depan. Warisan infrastruktur seperti ini sepatutnya tetap dikenang dan dihargai sebagai bagian dari sejarah yang turut membentuk negeri ini.

Terkini