Asuransi Makin Kuat Lewat Rencana Penjaminan Polis

Sabtu, 02 Agustus 2025 | 11:15:35 WIB
Asuransi Makin Kuat Lewat Rencana Penjaminan Polis

JAKARTA - Rencana implementasi Program Penjaminan Polis (PPP) yang sedang dirancang pemerintah menjadi momentum penting dalam memperkuat fondasi industri asuransi umum di Indonesia. Seiring target penerapannya pada 2028, skema ini diyakini mampu meningkatkan kepercayaan publik serta memperkuat ketahanan sistem keuangan nasional.

Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) memberikan perhatian serius terhadap inisiatif tersebut. Menurut Ketua Umum AAUI, Budi Herawan, PPP akan memberikan dampak positif jika dijalankan secara akuntabel dan prudent. Hal ini, katanya, bisa meningkatkan keyakinan masyarakat terhadap industri, sekaligus memperkuat perlindungan sosial dan keuangan secara nasional.

"Ditambah, dapat memperkuat peran asuransi sebagai bagian integral dalam sistem perlindungan sosial dan keuangan nasional," ujar Budi.

Dengan kata lain, program ini bukan hanya menjamin hak-hak pemegang polis, tetapi juga menjadi langkah strategis untuk memperkokoh peran industri asuransi dalam mendukung perekonomian negara.

Meski menyambut baik inisiatif tersebut, AAUI juga melihat adanya potensi tantangan teknis dan administratif dalam implementasinya. Tantangan ini berkaitan erat dengan kesiapan industri dalam menyesuaikan diri terhadap struktur biaya baru yang mungkin timbul akibat pelaksanaan PPP.

Namun secara keseluruhan, Budi menegaskan bahwa pembentukan skema penjaminan ini merupakan langkah strategis yang patut didorong. Menurutnya, prinsip dasar PPP selaras dengan semangat membangun sistem perlindungan konsumen yang lebih baik dan memperkuat stabilitas sektor keuangan, terutama dalam menghadapi kondisi ekstrem seperti kegagalan perusahaan asuransi.

Pentingnya merancang PPP dengan tepat juga menjadi perhatian AAUI. Budi menyampaikan bahwa desain mekanisme program perlu mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan terhadap nasabah dan keberlanjutan operasional dari perusahaan asuransi itu sendiri.

Dalam pandangannya, pembatasan manfaat (limit of coverage) bisa menjadi mekanisme pengendali moral hazard yang efektif. Namun, ia mengingatkan bahwa batasan manfaat itu harus disusun secara cermat, dengan mempertimbangkan profil risiko serta kapasitas fiskal lembaga penjamin.

"Namun, besarannya tentu perlu dikaji secara matang dan proporsional terhadap profil risiko, serta kapasitas fiskal lembaga penjamin," jelasnya.

Selain itu, besaran iuran atau premi penjaminan juga masih dalam tahap pembahasan awal. Budi menilai perlunya pendekatan yang adil dan berkelanjutan agar seluruh pelaku industri dapat terlibat secara aktif tanpa merasa terbebani.

AAUI sendiri telah terlibat dalam sejumlah diskusi bersama regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Keterlibatan ini diharapkan mampu menghasilkan kerangka kebijakan yang aplikatif dan tidak memberatkan industri, sekaligus memperkuat perlindungan bagi konsumen.

Budi menyampaikan harapannya agar proses penyusunan regulasi tetap terbuka dan inklusif, sehingga semua pelaku industri punya ruang untuk menyampaikan masukan konstruktif.

"Proses penyusunan regulasinya diharapkan tetap bersifat terbuka dan partisipatif agar seluruh pelaku industri dapat memberikan masukan konstruktif demi terciptanya skema PPP yang efektif, kredibel, dan berpihak pada perlindungan konsumen tanpa membebani industri secara berlebihan," imbuhnya.

Program Penjaminan Polis sendiri merupakan mandat dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Dalam kerangka ini, LPS akan mengambil peran sebagai pelaksana program penjaminan.

Ada sejumlah ketentuan yang akan menjadi acuan dalam skema PPP. Salah satunya adalah syarat tingkat kesehatan perusahaan asuransi untuk bisa menjadi peserta program. Indikator utama yang digunakan adalah Risk Based Capital (RBC), sebagai tolok ukur kelayakan kepesertaan.

Selain itu, tidak semua produk asuransi akan dijamin dalam PPP. LPS menjelaskan bahwa program ini hanya akan mencakup produk asuransi komersial dengan unsur proteksi. Produk yang mengandung komponen investasi seperti unitlink, serta asuransi sosial dan asuransi wajib (BPJS), tidak termasuk dalam cakupan jaminan.

"Kalau ada produk unitlink, kami (LPS) tak menjamin unsur investasinya. Selain itu, asuransi sosial dan asuransi wajib (BPJS) juga dikecualikan dari PPP," terang Direktur Eksekutif Manajemen Strategis dan Perumusan Kebijakan LPS, Ridwan Nasution.

Dalam pelaksanaannya nanti, perusahaan asuransi peserta PPP akan diwajibkan membayar iuran dua kali dalam setahun, yakni pada Januari dan Juli. Mekanisme ini dirancang serupa dengan skema iuran pada industri perbankan yang sudah lebih dulu berjalan.

Meski demikian, saat ini pemerintah dan regulator masih menggodok berbagai rincian teknis termasuk besaran iuran dan mekanisme pembayarannya. Termasuk pula pembahasan mengenai batas maksimum manfaat atau pertanggungan yang bisa dibayarkan kepada pemegang polis, sebagai upaya menjaga prinsip kehati-hatian dan mencegah potensi penyalahgunaan.

Keseluruhan proses ini menunjukkan keseriusan semua pihak dalam merancang sistem penjaminan yang tak hanya melindungi konsumen, tetapi juga memperkuat fondasi industri asuransi nasional.

Dengan keterlibatan aktif asosiasi, regulator, dan pelaku usaha, PPP diharapkan menjadi pilar penting dalam ekosistem keuangan Indonesia ke depan.

Terkini