Finansial Inklusif Butuh Perlindungan Rekening yang Jelas

Minggu, 03 Agustus 2025 | 09:29:05 WIB
Finansial Inklusif Butuh Perlindungan Rekening yang Jelas

JAKARTA - Upaya menjaga integritas sistem keuangan nasional tentu menjadi prioritas bersama. Namun dalam menjaganya, setiap kebijakan yang diterapkan semestinya tetap berpijak pada prinsip keadilan dan menghormati hak-hak finansial masyarakat luas. Kebijakan pemblokiran rekening tidak aktif atau dormant oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menjadi sorotan karena menimbulkan pertanyaan serius dari publik tentang batas perlindungan dan penghormatan terhadap hak individu dalam ekosistem keuangan.

PPATK menjelaskan bahwa kebijakan tersebut merupakan bagian dari strategi penguatan sistem keuangan nasional guna mencegah praktik pencucian uang dan kejahatan keuangan lain yang bisa mengancam stabilitas. Dalam konteks ini, tindakan preventif seperti pemblokiran rekening yang tidak menunjukkan aktivitas selama beberapa waktu dapat dipahami sebagai langkah kehati-hatian.

Namun, sejumlah kalangan menilai bahwa kebijakan ini menyimpan potensi pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara. Salah satunya datang dari lembaga riset The PRAKARSA. Menurut mereka, pemblokiran terhadap rekening yang tidak aktif selama tiga bulan tanpa indikasi pelanggaran hukum dinilai melampaui batas kewajaran, karena menyentuh langsung hak atas akses ke sistem finansial yang semestinya menjadi milik semua warga.

Perdebatan ini membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai pengertian keadilan dalam pengelolaan sistem keuangan. Hak untuk menyimpan uang, mengakses rekening, atau menggunakan layanan keuangan digital adalah bagian dari hak ekonomi yang melekat pada setiap individu. Rekening bank tidak sekadar menjadi alat transaksi, melainkan juga simbol inklusi keuangan dan jaminan bagi masyarakat untuk terhubung dengan sistem yang lebih luas.

Masalah muncul ketika parameter teknis semata seperti tidak adanya transaksi selama tiga bulan digunakan sebagai tolok ukur untuk menentukan status aktif atau tidaknya suatu rekening. Dalam praktiknya, banyak warga yang memang menggunakan rekening secara musiman atau hanya untuk keperluan tertentu. Lansia, pensiunan, pekerja informal, hingga warga di desa yang belum terbiasa dengan transaksi digital harian adalah contoh kelompok yang bisa terdampak secara langsung oleh kebijakan ini.

Bukan tidak mungkin rekening seorang petani yang hanya aktif saat musim panen berisiko diblokir karena tidak memenuhi frekuensi transaksi yang ditentukan. Begitu pula dengan rekening seorang ibu rumah tangga yang menyimpan uang arisan tahunan sebagai bentuk tabungan keluarga, bisa saja masuk dalam kategori dormant. Padahal, tidak ada niat untuk menyalahgunakan rekening tersebut, dan tidak pula terdapat aktivitas mencurigakan.

Dari sini terlihat bahwa pendekatan kebijakan yang bersifat hitam-putih dalam sistem keuangan memiliki keterbatasan jika tidak disertai pemahaman terhadap konteks sosial masyarakat. Alih-alih memberikan perlindungan, kebijakan seperti ini dapat berujung pada eksklusi keuangan bagi kelompok-kelompok rentan yang justru seharusnya dilindungi.

Isu ini menunjukkan perlunya sinkronisasi antara kebijakan keamanan finansial dan prinsip inklusi keuangan. Tujuan membangun sistem yang aman dan tahan terhadap kejahatan keuangan tetap penting, tetapi semestinya tidak mengorbankan aksesibilitas masyarakat terhadap layanan keuangan yang sah. Sistem pengawasan yang cermat tetap bisa dilakukan dengan pendekatan berbasis risiko dan analisis yang mendalam, bukan semata dari keaktifan administrasi dalam jangka pendek.

Transparansi dan komunikasi yang baik dari otoritas terkait juga menjadi kunci. Warga perlu memahami alasan dan mekanisme di balik setiap tindakan yang menyentuh langsung rekening mereka. Prosedur yang jelas dan adanya mekanisme keberatan atau klarifikasi akan memperkuat kepercayaan publik dan menjamin bahwa setiap individu tetap memiliki ruang untuk menyampaikan situasi dan kebutuhan mereka.

Selain itu, edukasi keuangan yang masif sangat penting untuk membantu masyarakat memahami cara menjaga status aktif rekening serta memanfaatkan layanan keuangan dengan lebih optimal. Literasi finansial bukan hanya soal memahami produk investasi atau bunga simpanan, tetapi juga tentang mengetahui hak dan tanggung jawab sebagai nasabah di era digital ini.

Dengan keseimbangan antara keamanan dan hak finansial, sistem keuangan Indonesia dapat menjadi lebih kuat sekaligus inklusif. Bukan hanya aman dari kejahatan keuangan, tetapi juga mampu menjangkau setiap warga, dari kota hingga desa, dari generasi muda hingga lansia, dari profesional hingga pekerja informal. Setiap rekening adalah pintu masuk menuju kesejahteraan ekonomi, dan semestinya dijaga tanpa mengorbankan hak-hak dasar pemiliknya.

Menilik kembali kebijakan pemblokiran rekening tidak aktif ini, menjadi penting untuk memperkuat prinsip proporsionalitas dan akuntabilitas dalam setiap langkah yang diambil otoritas keuangan. Dialog terbuka dan evaluasi kebijakan berbasis dampak nyata di masyarakat perlu dilakukan agar tujuan pengamanan sistem tidak justru menghambat hak finansial warga negara yang sah.

Terkini