MSCI Kurangi Bobot Saham Indonesia, IHSG Tertekan: Apa Penyebabnya?

Kamis, 20 Februari 2025 | 13:20:43 WIB
MSCI Kurangi Bobot Saham Indonesia, IHSG Tertekan: Apa Penyebabnya?

JAKARTA - Penurunan bobot saham Indonesia dalam indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI) telah menjadi salah satu faktor signifikan yang mempengaruhi penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang tahun 2025. IHSG terpantau mengalami penurunan sebesar 4,03% dan terhenti di level 6.794,87 pada penutupan perdagangan Rabu, 19 Februari 2025. Kondisi ini diperparah dengan kaburnya investor asing dari pasar saham Indonesia.

Sebagai salah satu penyedia indeks global terkemuka, MSCI secara berangsur-angsur telah mengurangi bobot saham Indonesia dari 2,2% pada 2024 menjadi hanya 1,5%. Dampak penurunan ini memicu terjadinya arus keluar modal dari pasar saham dalam negeri, mengindikasikan bahwa investor asing yang mengikuti indeks MSCI mengalami penurunan minat terhadap saham-saham Indonesia.

Dalam laporan terbaru, jumlah perusahaan Indonesia yang tercatat dalam MSCI Global Standards mengalami penurunan drastis, dari 28 perusahaan pada puncaknya di tahun 2019, kini hanya tersisa 17 perusahaan pada periode efektif Maret 2025. Pada rebalancing pertama di tahun ini, MSCI tidak menambahkan saham baru namun mengeluarkan tiga saham dari kategori large cap, yaitu PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP), PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR). INKP dan MDKA kemudian bergeser ke kategori small cap, sementara UNVR keluar dari MSCI sama sekali.

Mengurangi bobot saham-saham Indonesia bukanlah keputusan yang diambil MSCI tanpa alasan. Berikut adalah beberapa penyebab utama penurunan kepercayaan MSCI terhadap pasar saham Indonesia:

1. Ketidakpastian Regulasi dan Free Float yang Kecil

Ketidakpastian regulasi yang sering terjadi di Indonesia memperburuk sentimen investor asing. Beberapa perubahan peraturan yang signifikan dapat mengganggu pasar dan menimbulkan ketidakpastian. Ditambah lagi, masalah free float yang kecil pada sejumlah saham menjadi penghalang bagi investor asing. Saham dengan free float kecil cenderung mengalami volatilitas tinggi, likuiditas terbatas, dan bid-ask spread yang lebih luas, karena ketersediaan lembar saham untuk diperdagangkan yang minimal. Mayoritas saham dimiliki oleh pemegang saham besar, mempersulit transaksi dalam jumlah besar bagi investor asing.

Menurut seorang analis pasar modal, "Ketidakpastian regulasi membuat investor berhati-hati dalam memilih saham untuk diinvestasikan. Masalah free float juga menghambat likuiditas sehingga menyulitkan investor besar untuk masuk."

2. Krisis Likuiditas

Banyak saham di indeks MSCI awalnya memiliki likuiditas tinggi. Namun, dengan beranjaknya waktu, beberapa saham mengalami penyusutan likuiditas akibat keluarnya investor besar dari saham tersebut, yang mengakibatkan volume perdagangan menurun drastis. Kondisi ini menyebabkan MSCI semakin meragukan stabilitas likuiditas saham-saham Indonesia.

Seorang pelaku pasar menyatakan, "Likuiditas merupakan salah satu faktor kunci bagi investor. Ketika likuiditas rendah, risiko menjadi lebih tinggi dan ini adalah sesuatu yang dihindari oleh investor."

3. Manipulasi MSCI

Ada dugaan bahwa beberapa emiten di Indonesia sengaja menaikkan harga dan volume perdagangan sahamnya sebelum review MSCI agar dapat tercatat dalam indeks. Setelah berhasil, pemegang saham besar justru melepaskan kepemilikan saham mereka dengan cepat untuk mencari keuntungan singkat, yang pada akhirnya mengakibatkan penurunan likuiditas. MSCI semakin menyadari pola ini, sehingga lebih selektif dalam memasukkan anggota baru.

"Pola manipulasi seperti ini menyebabkan MSCI menjadi lebih selektif dan berhati-hati dalam memasukkan saham ke dalam indeks mereka," kata seorang pengamat industri.

4. Dominasi Sektor Komoditas

Saham di Indonesia sebagian besar didominasi oleh sektor komoditas seperti batubara, timah, sawit, dan nikel. Sementara tren investasi global telah bergeser ke arah saham teknologi seperti AI. Ketika harga komoditas tidak dalam kondisi booming, sektor ini menjadi kurang menarik bagi investor asing.

Menurut seorang analis industri, "Investor global kini lebih tertarik pada sektor yang bertumbuh seperti teknologi dan AI. Dengan dominasi komoditas, pasar Indonesia dinilai kurang atraktif saat kondisi komoditas tidak mendukung."

Meski MSCI mengurangi bobot saham Indonesia, harapan tetap ada bagi pasar saham dalam negeri untuk bangkit. Peningkatan transparansi, stabilitas regulasi, peningkatan likuiditas, serta diversifikasi sektor akan menjadi kunci untuk menarik kembali minat investor asing. Perbaikan secara terus-menerus dalam aspek ini diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan investor global, sehingga mendukung penguatan IHSG ke depannya.

Terkini