Kolaborasi BPJS Kesehatan dan Asuransi Swasta Memiliki Solusi di Tengah Defisit Keuangan

Minggu, 09 Maret 2025 | 13:03:46 WIB
Kolaborasi BPJS Kesehatan dan Asuransi Swasta Memiliki Solusi di Tengah Defisit Keuangan

JAKARTA - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin pada Januari 2025 mengeluarkan pernyataan yang menghebohkan publik terkait Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Ia menyatakan bahwa BPJS Kesehatan tidak dapat menanggung seluruh penyakit masyarakat, sehingga disarankan untuk melengkapi perlindungan kesehatan dengan asuransi swasta. Pernyataan ini memicu spekulasi bahwa masyarakat akan diwajibkan memiliki asuransi kesehatan swasta.

Menkes menjelaskan bahwa beberapa penyakit kritis membutuhkan biaya yang sangat besar, sementara iuran peserta BPJS Kesehatan masih relatif kecil dan bervariasi. Saat ini, besaran iuran BPJS Kesehatan ditetapkan berdasarkan kelas layanan, yakni Rp42.000 per bulan untuk kelas 3, Rp100.000 per bulan untuk kelas 2, dan Rp150.000 per bulan untuk kelas 1. Meskipun skema kelas ini akan dihapus, dampaknya terhadap total iuran yang terkumpul dinilai tidak signifikan.

Defisit BPJS Kesehatan

Sejak 2023, BPJS Kesehatan kembali mengalami defisit rasio beban jaminan kesehatan. Padahal, pada 2022, lembaga ini mencatatkan surplus sebesar Rp30,57 triliun. Namun, pada 2023, BPJS Kesehatan mencatat pendapatan iuran sebesar Rp151,7 triliun, sementara beban jaminan kesehatan mencapai Rp158,85 triliun, dengan rasio beban mencapai 104,72 persen.

Pada 2025, kondisi ini semakin memburuk dengan rasio beban meningkat menjadi 105,78 persen. BPJS Kesehatan diproyeksikan memiliki pendapatan iuran sebesar Rp165,34 triliun, sedangkan beban jaminan kesehatan mencapai Rp174,90 triliun. Defisit ini menjadi alasan utama pernyataan Menkes tentang pentingnya kolaborasi antara BPJS Kesehatan dan asuransi swasta.

Kondisi Industri Asuransi Kesehatan

Di sisi lain, industri asuransi kesehatan swasta juga menghadapi tantangan besar. Data dari Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mencatat bahwa per kuartal III 2024, rasio klaim asuransi kesehatan mencapai 85,5 persen. Jika ditambah dengan biaya administrasi pihak ketiga (Third Party Administrator/TPA), maka rasio klaim bisa mencapai 143 persen. Lembaga Riset Media Asuransi (LRMA) juga mencatat bahwa tingginya rasio klaim ini telah terjadi selama lima tahun terakhir.

Asuransi kesehatan sebenarnya merupakan produk yang paling diminati masyarakat dibandingkan dengan asuransi jiwa, asuransi kendaraan, asuransi pendidikan, dan asuransi properti. Namun, tingginya rasio klaim membuat bisnis ini kurang menguntungkan bagi perusahaan asuransi swasta.

Peran Coordination of Benefits (CoB)

Saat ini, BPJS Kesehatan dan asuransi swasta masih berjalan secara terpisah, meskipun skema Coordination of Benefits (CoB) sudah diperkenalkan. Namun, skema ini belum berjalan secara optimal, sehingga masing-masing pihak masih menanggung beban klaim secara mandiri.

Dalam klarifikasi di hadapan anggota parlemen pada Februari 2025, Menkes Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa keterlibatan asuransi swasta dalam sistem jaminan kesehatan nasional bukanlah sebagai entitas mandiri (standalone), tetapi dalam skema CoB bersama BPJS Kesehatan. Selain itu, aturan ini hanya berlaku bagi masyarakat yang mampu atau kaya.

“Design yang sedang kami buat dalam kerangka CoB adalah setiap orang yang mengambil asuransi swasta harus memiliki porsi premi yang dibayarkan ke BPJS Kesehatan,” ujar Menkes.

Mekanisme klaim dalam skema ini juga akan dibagi sesuai proporsi tertentu. BPJS Kesehatan akan menanggung 70 persen dari plafon yang ditetapkan, sementara asuransi swasta akan menanggung sisa total tagihan. Sebagai contoh, jika total biaya pengobatan seseorang mencapai Rp10 juta dan plafon BPJS Kesehatan adalah Rp2 juta, maka BPJS Kesehatan akan menanggung Rp1,4 juta (70 persen dari plafon), sedangkan asuransi swasta akan menanggung sisanya sebesar Rp8,6 juta.

“Untung asuransi swastanya, BPJS-nya untung karena bayarnya lebih sedikit. Pasiennya untung karena bisa mendapatkan kelas layanan lebih baik dengan satu kali pembayaran. Rumah sakit pun untung karena settlement atau rekonsiliasi pembayaran menjadi lebih sederhana,” jelas Menkes.

Peluang dan Tantangan Kolaborasi

Kolaborasi antara BPJS Kesehatan dan asuransi swasta menjadi suatu keharusan agar sistem jaminan kesehatan nasional tetap berkelanjutan. Dengan model CoB yang lebih matang, diharapkan bisa mengurangi beban klaim BPJS Kesehatan sekaligus membantu industri asuransi swasta tetap bertahan.

Namun, ada beberapa tantangan yang harus diatasi dalam implementasi model ini, seperti:

  1. Regulasi yang Jelas, Pemerintah perlu menetapkan regulasi yang mengatur porsi kontribusi asuransi swasta ke BPJS Kesehatan dan memastikan transparansi dalam mekanisme klaim.
  2. Koordinasi dengan Penyedia Layanan Kesehatan, Rumah sakit dan penyedia layanan kesehatan harus memahami mekanisme pembayaran baru agar tidak terjadi penolakan pasien.
  3. Edukasi kepada Masyarakat, Perlu sosialisasi yang luas agar masyarakat memahami manfaat dan cara kerja skema CoB.

Dengan kolaborasi yang baik, diharapkan industri asuransi kesehatan bisa tetap bertahan dan masyarakat mendapatkan perlindungan kesehatan yang lebih optimal. Semua pemangku kepentingan harus duduk bersama untuk mencari solusi terbaik agar sistem ini bisa berjalan secara efektif dan berkelanjutan.

Terkini