JAKARTA – Peringatan Hari Perempuan Internasional (HPI) 2025 di Kalimantan Tengah (Kalteng) menjadi momentum bagi berbagai organisasi masyarakat sipil untuk menyoroti dua isu krusial yang masih dihadapi perempuan, yaitu ruang aman dari kekerasan dan pelecehan serta kedaulatan atas sumber daya alam.
Acara yang berlangsung di Palangka Raya ini mengusung tema “Wujudkan Kedaulatan Perempuan”. Tema ini diangkat untuk menegaskan bahwa perempuan masih menghadapi diskriminasi, terutama dalam aspek keamanan dan hak atas sumber daya alam.
Perempuan Belum Memiliki Ruang Aman
Koordinator kegiatan, Priska, menekankan bahwa perempuan di Kalteng masih menghadapi tantangan besar dalam memperoleh ruang aman di berbagai aspek kehidupan. Kekerasan seksual dan diskriminasi masih kerap terjadi di tempat kerja, kampus, dan sekolah.
“Perempuan masih belum berdaulat atas ruang aman di lingkungan kerja, kampus, sekolah, yang mana masih banyak terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan. Bahkan, terjadi juga di lingkungan pendidikan,” ujar Priska.
Diskriminasi terhadap perempuan juga mencakup hak-hak pekerja perempuan, termasuk hak cuti yang seharusnya penuh, seperti cuti melahirkan dan cuti haid. Hal ini terutama dialami oleh pekerja perempuan di sektor pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.
“Apalagi perempuan-perempuan buruh, baik pertambangan maupun perkebunan sawit, juga masih belum mendapatkan hak normatifnya,” tambahnya.
Senada dengan Priska, Debora Agnesia, mahasiswa sekaligus aktivis perempuan dari Pangkalan Bun, menyoroti minimnya ruang aman bagi perempuan, baik secara fisik maupun psikologis. Menurutnya, angka kekerasan seksual terhadap perempuan sudah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.
“Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, ada 457 ribu kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan keluarga, pekerjaan, media sosial, dan bahkan kekerasan oleh negara,” ujar Debora.
Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 menunjukkan bahwa 1 dari 4 perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik maupun mental. Namun, angka tersebut diyakini hanya merupakan fenomena gunung es, di mana lebih banyak kasus tidak dilaporkan dibandingkan yang tercatat.
Debora menegaskan pentingnya komitmen bersama dalam menciptakan ruang aman bagi perempuan.
“Ruang aman untuk perempuan adalah ruang di mana perempuan mendapat jaminan bahwa tidak ada siapapun yang berlaku keras kepadanya, bukan hanya dalam bentuk fisik tetapi juga secara perspektif, pola pikir, atau paradigma. Perempuan harus lebih dihargai pendapatnya dan tidak dipandang lebih rendah,” jelasnya.
Kedaulatan Perempuan atas Sumber Daya Alam Masih Terhambat
Selain isu ruang aman, HPI 2025 di Kalteng juga menyoroti permasalahan kedaulatan perempuan atas sumber daya alam. Sejumlah kebijakan pemerintah, termasuk proyek strategis nasional (PSN) seperti program cetak sawah dan food estate, dinilai justru menghilangkan nilai-nilai tradisional masyarakat lokal yang selama ini melibatkan peran perempuan dalam pengelolaan pangan keluarga.
Dosen Sosiologi dari Universitas Palangka Raya, Yuliana, menilai bahwa keberadaan PSN di Kalteng justru semakin memperlebar jurang ketimpangan dalam hal kedaulatan perempuan terhadap sumber daya alam.
“Justru, itu menambah jurang pemisah terkait bagaimana perempuan berdaulat atas pangan, mereka justru semakin terpisah dengan pengelolaan sumber daya alamnya sendiri,” tuturnya.
Yuliana menambahkan bahwa proyek food estate yang dilaksanakan sejak 2020 belum terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kalteng menunjukkan bahwa angka kemiskinan di provinsi ini pada September 2024 mencapai 5,26 persen atau 149,24 ribu jiwa. Angka ini meningkat dibandingkan Maret 2024, yang tercatat sebanyak 145,63 ribu jiwa.
“Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa food estate sejak 2020 tidak memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat, termasuk perempuan,” tambahnya.
Menurut Yuliana, perempuan dikatakan berdaulat apabila mereka memiliki kontrol dan akses terhadap sumber daya alam di sekitar mereka.
“Perempuan yang berdaulat adalah perempuan yang bebas mengakses dan mengontrol sumber daya alamnya sendiri. Mereka harus memiliki hak untuk mengelola lahan dan memutuskan sendiri bagaimana menggunakannya. Dua hal ini sangat penting ketika berbicara tentang kedaulatan perempuan, khususnya di pedesaan,” tegasnya.
Perjuangan Kedaulatan Perempuan Masih Panjang
Kebijakan seperti food estate dan program cetak sawah justru menghilangkan hak dan akses perempuan terhadap tanah yang seharusnya bisa mereka kelola sesuai dengan cara dan budaya mereka. Hal ini semakin menghambat upaya perempuan untuk memperoleh kedaulatan penuh atas sumber daya alam.
Dalam peringatan HPI 2025, para aktivis perempuan di Kalteng menegaskan bahwa perjuangan untuk mewujudkan ruang aman serta kedaulatan atas sumber daya alam masih panjang dan membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat.
Peringatan HPI 2025 di Kalteng menjadi refleksi bahwa hingga saat ini, perempuan masih menghadapi berbagai tantangan dalam mendapatkan hak-hak mereka. Komitmen bersama diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan memberikan perempuan akses penuh terhadap sumber daya alam yang seharusnya menjadi hak mereka.