Pertambangan

Gubernur NTT Undang Bupati Bahas Proyek Geotermal di Tengah Penolakan Warga dan Gereja

Gubernur NTT Undang Bupati Bahas Proyek Geotermal di Tengah Penolakan Warga dan Gereja
Gubernur NTT Undang Bupati Bahas Proyek Geotermal di Tengah Penolakan Warga dan Gereja

JAKARTA - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bergerak cepat merespons berbagai hambatan dan penolakan masyarakat terhadap sejumlah proyek geotermal dan pertambangan mineral bukan logam serta batuan yang direncanakan di sejumlah wilayah. Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena, dijadwalkan menggelar rapat koordinasi dengan seluruh bupati dan wali kota se-NTT dalam upaya mencari solusi atas dinamika tersebut.

Rapat yang akan dilangsungkan di Ruang Rapat Gubernur, Kantor Gubernur NTT, ini merupakan bentuk komunikasi dan kolaborasi lintas pemangku kepentingan guna memastikan pelaksanaan proyek tetap berjalan secara berkelanjutan, ramah lingkungan, dan tidak menimbulkan konflik sosial di tengah masyarakat.

Surat resmi yang ditandatangani Sekretaris Daerah Provinsi NTT, Kosmas Damianus Lana, menegaskan bahwa proyek pengembangan geotermal merupakan bagian dari agenda nasional dalam mendukung ketahanan energi dan dekarbonisasi. Namun, proyek tersebut mendapat penolakan dari masyarakat di berbagai titik lokasi, termasuk Wae Sano (Manggarai Barat), Poco Leok (Manggarai), Mataloko (Ngada), Sokoria (Ende), dan Atadei (Lembata).

“Pengembangan menghadapi sejumlah tantangan termasuk penolakan dari sebagian masyarakat, sejumlah organisasi kemasyarakatan dan pernyataan keberatan dari pihak gereja. Hal ini menyebabkan pengembangan mengalami hambatan,” tulis Kosmas dalam surat undangan tersebut.

Kosmas juga menyoroti adanya ketidaksesuaian antara proyek pertambangan mineral bukan logam dan batuan dengan sejumlah Peraturan Daerah (Perda) mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Ketidaksesuaian ini menjadi salah satu pemicu penolakan dari masyarakat setempat.

Ia menjelaskan, proyek-proyek tersebut tidak hanya bertujuan mendukung transisi energi menuju sumber daya terbarukan, tetapi juga merupakan wujud pemenuhan komitmen Indonesia dalam dekarbonisasi global. Namun, Kosmas mengakui bahwa tanpa dukungan masyarakat lokal, pembangunan tersebut akan sulit diwujudkan.

“Oleh karena itu, berdasarkan kondisi yang terjadi di lapangan, Pemerintah Provinsi NTT memandang perlu membangun komunikasi dan kolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan agar program pengembangan geotermal dan eksplorasi penambangan mineral bukan logam dan batuan dapat berjalan lancar dan memberi manfaat bagi masyarakat dan ramah lingkungan dengan mengedepankan mitigasi risiko,” tegas Kosmas.

Rencana pertemuan ini muncul setelah Gubernur Melki secara langsung bertemu dengan Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD, untuk mendengarkan aspirasi masyarakat yang disampaikan melalui gereja. Dalam pertemuan tersebut, Gubernur menyatakan akan menghentikan sementara proyek geotermal yang sedang berjalan dan menunda proyek yang belum dimulai.

Langkah ini merupakan tindak lanjut atas pernyataan sikap para uskup dari wilayah Nusa Tenggara dan Bali yang secara tegas menolak proyek geotermal di Flores. Penolakan tersebut disampaikan dalam surat pernyataan bersama yang diteken dalam pertemuan para uskup di Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, Maumere.

Uskup Budi dalam pertemuan itu menyampaikan, “Sikap Gereja sudah jelas, menolak proyek geotermal berdasarkan aspirasi yang diterima dari masyarakat lokal.” Ia juga menegaskan bahwa Gereja Katolik akan terus mendampingi masyarakat dan memastikan agar pembangunan di wilayah NTT tidak menimbulkan kerugian sosial, ekonomi, maupun ekologis.

Penolakan masyarakat dan gereja terhadap proyek geotermal di Flores berakar pada kekhawatiran terhadap dampak lingkungan dan sosial, serta minimnya pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Flores sendiri merupakan daerah dengan potensi panas bumi mencapai 902 Megawatt, atau sekitar 65 persen dari total kapasitas panas bumi di seluruh NTT. Potensi ini yang kemudian mendorong pemerintah menetapkan Flores sebagai “Pulau Panas Bumi” sejak 2017.

Namun, berbagai studi dan pengalaman lokal menunjukkan bahwa eksplorasi panas bumi bukan tanpa risiko. Selain potensi kerusakan lingkungan, ada pula risiko disrupsi terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat adat yang selama ini menggantungkan hidup pada tanah, air, dan kawasan hutan di sekitar wilayah proyek.

Merespons kondisi ini, banyak kalangan menilai langkah Gubernur Melki mengundang seluruh kepala daerah merupakan bentuk niat baik untuk menata ulang pendekatan terhadap proyek-proyek strategis nasional di NTT. Rapat koordinasi tersebut diharapkan tidak hanya menjadi ajang sosialisasi, tetapi juga forum dialog terbuka yang mengakomodasi suara masyarakat dan memastikan pembangunan berorientasi pada keadilan ekologis dan keberlanjutan.

Sejumlah tokoh masyarakat dan pegiat lingkungan turut menyambut baik langkah Gubernur tersebut. Mereka menilai bahwa komitmen untuk sementara menghentikan proyek geotermal perlu diikuti dengan kajian lingkungan strategis, audit sosial, serta penyusunan kebijakan partisipatif yang menjamin keterlibatan penuh masyarakat lokal.

Salah satu tokoh masyarakat di Manggarai, John Hendrik, menyampaikan harapannya agar forum yang akan digelar benar-benar melibatkan masyarakat akar rumput. “Kami berharap ini bukan sekadar forum formalitas. Suara masyarakat harus menjadi pijakan utama dalam setiap keputusan pembangunan,” tegasnya.

Kini, publik NTT menanti hasil konkret dari pertemuan yang akan digelar tersebut. Apakah pemerintah akan melakukan revisi kebijakan, memperketat regulasi eksplorasi sumber daya alam, atau membuka peluang partisipasi publik yang lebih luas, menjadi poin-poin yang dinantikan.

Rapat koordinasi ini menjadi momentum penting dalam menguji komitmen pemerintah daerah terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan. Di tengah sorotan nasional dan tekanan dari berbagai elemen masyarakat, Gubernur NTT dituntut untuk menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur energi di NTT tidak boleh mengorbankan nilai-nilai ekologis, hak masyarakat adat, dan keberlangsungan hidup generasi mendatang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index