JAKARTA – Keputusan TransJakarta yang memberikan hak penamaan (naming rights) pada Halte Petukangan Utara dengan nama baru Petukangan D'Masiv telah mencuri perhatian publik. Keputusan ini tidak hanya memperkenalkan branding baru untuk halte yang terletak di Jakarta Selatan, tetapi juga membuka peluang besar dalam mengembangkan pendapatan non-tiket dalam sektor transportasi publik. Menanggapi hal ini, Ketua Komisi C DPRD Surabaya, Eri Irawan, menilai bahwa langkah tersebut dapat menjadi inspirasi berharga dalam pengelolaan transportasi publik di Surabaya, yang berpotensi meningkatkan pendapatan dan keberlanjutan operasional.
Pendapatan Non Tiket adalah Solusi Finansial Transportasi Publik
Eri Irawan menegaskan bahwa inovasi dalam pengembangan transportasi publik menjadi hal yang sangat diperlukan di Surabaya. Salah satu cara untuk meningkatkan keberlanjutan operasional transportasi publik adalah dengan memaksimalkan pendapatan non-tiket atau non-fare box. Pendapatan non-tiket ini, menurut Eri, masih sangat kurang dimanfaatkan di banyak daerah, termasuk Surabaya.
"Kita butuh inovasi dalam pengembangan transportasi publik. Pendapatan non-tiket bisa menjadi solusi untuk menopang operasional dan mengurangi ketergantungan pada APBD maupun tiket. Ini penting agar transportasi publik tetap berkelanjutan di tengah tantangan fiskal yang dihadapi banyak daerah, termasuk Surabaya," ungkap Eri.
Eri menambahkan bahwa sektor transportasi publik harus beradaptasi dengan perkembangan zaman dan mencari alternatif sumber pendapatan selain tiket. Hal ini bisa membantu mengurangi ketergantungan pada dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) yang terbatas. Pendapatan non-tiket ini juga dapat menjadi alat untuk menstabilkan operasional transportasi publik, yang sering kali mengalami defisit.
Mekanisme Pendapatan Non Tiket yang Bisa Diterapkan di Surabaya
Eri Irawan kemudian mengusulkan beberapa langkah strategis yang dapat diterapkan di Surabaya untuk mengembangkan pendapatan non-tiket. Salah satunya adalah dengan menawarkan hak penamaan halte, terminal, hingga jembatan penyeberangan orang (JPO) kepada pihak sponsor. Skema ini sudah terbukti berhasil di berbagai kota besar, termasuk Jakarta melalui TransJakarta dan MRT Jakarta.
Salah satu contoh nyata yang bisa diadaptasi adalah pemberian hak penamaan halte kepada perusahaan atau merek tertentu. "Pemkot Surabaya bisa menawarkan hak penamaan halte, terminal, hingga JPO kepada sponsor, seperti yang dilakukan TransJakarta dan MRT Jakarta," jelas Eri.
Selain itu, Eri juga menyarankan untuk memaksimalkan iklan di armada transportasi, seperti Suroboyo Bus dan Wira-Wiri. Baik dalam bentuk iklan konvensional maupun digital, sektor ini dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan transportasi publik.
"Selama ini, iklan di armada transportasi publik seperti Suroboyo Bus dan Wira-Wiri dapat dimaksimalkan lebih lanjut. Kita bisa menggandeng sponsor untuk menampilkan iklan digital maupun tradisional yang dapat menarik pendapatan tambahan," kata Eri.
Eri juga mengusulkan adanya kemitraan dengan dunia usaha, yang dapat dilakukan melalui skema merchant partnership. Misalnya, pengguna transportasi publik bisa mendapatkan diskon khusus atau fasilitas menarik lainnya ketika bekerja sama dengan brand tertentu. Hal ini, menurut Eri, bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi pengguna transportasi umum di Surabaya.
Peluang Kolaborasi dengan Dunia Usaha dan Keberlanjutan Transportasi Publik Surabaya
Menurut Eri, dengan adanya pergerakan penumpang yang cukup besar, seperti 2 juta penumpang per tahun untuk Suroboyo Bus dan 1,42 juta penumpang untuk Wira-Wiri, peluang untuk berkolaborasi dengan dunia usaha sangat terbuka lebar. Hal ini, kata Eri, bisa menarik perhatian berbagai perusahaan untuk berinvestasi dalam sektor transportasi publik Surabaya. Selain itu, dengan 73 halte dan 838 bus stop yang tersebar di seluruh kota, Surabaya memiliki potensi besar untuk mengimplementasikan skema hak penamaan halte, yang dapat memberikan keuntungan finansial tambahan.
"Misalnya, halte yang melayani puluhan ribu pengguna per tahun bisa dimonetisasi untuk mendukung operasional. Skema seperti ini sudah terbukti berhasil di banyak kota besar, termasuk Jakarta dan luar negeri," ujar Eri. Halte-halte yang ramai pengunjung bisa dimanfaatkan untuk menarik sponsor dan menciptakan pendapatan tambahan untuk kota.
Lebih lanjut, Eri juga memberikan contoh keberhasilan penggunaan skema hak penamaan yang telah diterapkan di Jakarta. Beberapa halte di TransJakarta, seperti Bundaran HI yang disponsori oleh Astra, Senayan oleh Bank DKI, dan Widya Chandra yang disponsori Telkomsel, menunjukkan bahwa kolaborasi antara transportasi publik dan perusahaan besar dapat berjalan dengan sangat baik. Hal serupa juga terjadi di stasiun MRT Jakarta, yang telah menjalin kerja sama dengan berbagai merek ternama seperti Kopi Tuku di Cipete Raya dan Indomaret di Fatmawati.
Menggandeng Talenta Lokal untuk Meningkatkan Daya Tarik Transportasi Publik
Sebagai langkah awal yang menarik, Eri juga mengusulkan agar Surabaya mencoba menggandeng penyanyi muda asal Surabaya, Bernadya, untuk bekerja sama dalam mempromosikan transportasi publik di kota tersebut. Eri mengusulkan agar pemkot Surabaya memberikan hak penamaan halte tertentu kepada Bernadya, serta menjadikannya sebagai duta transportasi publik Surabaya.
"Mungkin kita bisa memberikan hak penamaan halte tertentu kepada Bernadya, sekaligus menjadikannya duta transportasi publik Surabaya. Ini bisa menjadi langkah strategis untuk menarik perhatian masyarakat, khususnya anak muda," kata Eri. Dengan menggandeng tokoh lokal yang dikenal luas, diharapkan dapat menciptakan kedekatan emosional antara masyarakat dengan transportasi publik, sekaligus meningkatkan minat mereka untuk menggunakan layanan tersebut.
Mengembangkan Ekosistem Transportasi Publik yang Berkelanjutan
Namun, lebih dari sekadar monetisasi, Eri menekankan bahwa tujuan utama dari pendapatan non-tiket adalah untuk memperkuat ekosistem transportasi publik di Surabaya. "Bukan hanya soal uang, tetapi bagaimana mengolaborasikan semua pihak agar transportasi publik di Surabaya semakin diminati dan berkembang secara berkelanjutan," ujar Eri.
Pendapatan non-tiket diharapkan tidak hanya membantu aspek finansial, tetapi juga memperbaiki kualitas layanan dan memperkuat ekosistem transportasi publik, yang pada gilirannya dapat membawa manfaat jangka panjang bagi masyarakat Surabaya.
Dengan peluang besar yang dimiliki Surabaya dalam pengembangan pendapatan non-tiket, langkah-langkah seperti ini bisa menjadi solusi kreatif untuk meningkatkan daya saing transportasi publik Surabaya dan menciptakan sistem transportasi yang lebih modern, efisien, dan berkelanjutan.