Nikel

Nikel Hijau Jadi Solusi Rendah Emisi untuk Transisi Energi

Nikel Hijau Jadi Solusi Rendah Emisi untuk Transisi Energi
Nikel Hijau Jadi Solusi Rendah Emisi untuk Transisi Energi

JAKARTA — Nikel menjadi salah satu elemen penting dalam upaya transisi energi global menuju sistem yang lebih bersih dan rendah emisi. Namun, ironisnya, proses produksi logam ini justru menyumbang emisi karbon dalam jumlah besar. Menjawab tantangan ini, para peneliti dari Max Planck Institute for Sustainable Materials (MPI-SusMat) mengembangkan teknologi ekstraksi nikel rendah emisi yang mampu memangkas jejak karbon secara signifikan.

Dalam laporan resmi yang dipublikasikan di jurnal ilmiah Nature pada 30 April 2025, tim MPI-SusMat memperkenalkan metode ekstraksi nikel yang menggunakan plasma hidrogen alih-alih proses berbasis karbon konvensional. Pendekatan ini diklaim mampu mengurangi emisi karbon hingga 84 persen, serta lebih hemat energi hingga 18 persen jika menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan dan hidrogen hijau.

“Jika kita terus memproduksi nikel dengan cara konvensional dan menggunakannya untuk elektrifikasi, kita hanya mengalihkan masalah alih-alih menyelesaikannya,” ujar Ubaid Manzoor, peneliti utama dari MPI SusMat.

Tantangan Produksi Nikel

Meski berperan vital dalam pembuatan baterai kendaraan listrik dan baja tahan karat, produksi nikel menimbulkan dampak lingkungan yang besar. Berdasarkan laporan studi dari University of Queensland (UQ) yang dipublikasikan di Nature Communications, emisi dari lahan tambang nikel bisa mencapai 4 hingga 500 kali lebih tinggi dari data yang selama ini dilaporkan.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa peningkatan elektrifikasi justru menggeser beban lingkungan dari sektor transportasi ke industri metalurgi. Data menunjukkan bahwa untuk setiap satu ton nikel yang diproduksi, dilepaskan sekitar 20 ton karbon dioksida ke atmosfer.

Posisi Strategis Indonesia

Mengutip data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia menyimpan 72 juta ton cadangan nikel, atau sekitar 52 persen dari total cadangan nikel global sebesar 139,4 juta ton. Cadangan tersebut sebagian besar tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara—daerah-daerah yang termasuk dalam zona Wallacea, sebuah kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi dan komunitas masyarakat adat.

Namun, keberadaan tambang nikel di wilayah ini telah memicu sejumlah persoalan serius, termasuk deforestasi dan konflik sosial. Studi yang dilakukan oleh Michaela GY Lo dari Durrell Institute of Conservation and Ecology (DICE), University of Kent, bersama timnya yang termasuk Sonny Mumbunan dari Universitas Indonesia, mencatat peningkatan deforestasi hampir dua kali lipat di desa-desa penambangan nikel antara tahun 2011 dan 2018.

”Kami mendesak para pembuat kebijakan dan perusahaan penambangan nikel untuk menerapkan peraturan dan praktik yang mengurangi kerusakan lingkungan,” tulis Lo dan tim dalam jurnal One Earth edisi November 2024.

Solusi dari Max Planck: Ekstraksi Hijau Nikel

Terobosan yang dilakukan MPI-SusMat menjadi titik terang dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan industri dengan kelestarian lingkungan. Teknologi yang dikembangkan memungkinkan ekstraksi nikel dari bijih berkadar rendah dalam satu tahap, menggunakan plasma hidrogen di tungku busur listrik. Berbeda dengan metode konvensional yang melibatkan berbagai tahap seperti kalsinasi, peleburan, reduksi, dan pemurnian, pendekatan ini lebih efisien dan ramah lingkungan.

Dengan mengontrol proses termodinamika di dalam tungku, struktur kompleks mineral dalam bijih nikel kadar rendah dapat dipecah menjadi spesies ionik sederhana tanpa perlu menggunakan katalis.

“Dengan menggunakan plasma hidrogen dan mengendalikan proses termodinamika di dalam tungku busur listrik, kami dapat memecah struktur kompleks mineral dalam bijih nikel kadar rendah menjadi spesies ionik yang lebih sederhana, bahkan tanpa menggunakan katalis,” jelas Isnaldi Souza Filho, Kepala Kelompok "Sintesis Material Berkelanjutan" di MPI-SusMat.

Lebih dari sekadar efisiensi, metode ini juga memperluas cakupan bijih nikel yang dapat digunakan dalam industri, termasuk 60 persen cadangan nikel dunia yang selama ini tidak dimanfaatkan karena komposisi kimia yang rumit.

Potensi Industri dan Keberlanjutan

Langkah selanjutnya dari tim Max Planck adalah meningkatkan skala metode ini untuk aplikasi industri. Hal ini dinilai penting agar teknologi ekstraksi rendah karbon bisa segera diterapkan secara luas di sektor pertambangan nikel global, termasuk di Indonesia.

“Pengurangan bijih nikel menjadi spesies ionik yang lebih sederhana hanya terjadi di antarmuka reaksi, bukan di seluruh lelehan. Dalam sistem yang ditingkatkan skalanya, sangat penting untuk memastikan bahwa lelehan yang tidak direduksi terus-menerus mencapai antarmuka reaksi,” jelas Manzoor.

Teknologi ini juga dinilai kompatibel dengan teknik industri yang telah ada, sehingga integrasinya ke dalam rantai produksi saat ini tidak akan memerlukan perubahan radikal.

Lebih jauh, paduan nikel hasil ekstraksi dengan metode baru ini dapat langsung digunakan dalam produksi baja tahan karat, dan dengan penyempurnaan tambahan, sebagai bahan baku elektroda baterai kendaraan listrik. Bahkan, limbah berupa terak yang dihasilkan selama proses ini dapat dimanfaatkan di sektor konstruksi untuk membuat batu bata dan semen, menambah nilai ekonomis serta memperkuat prinsip ekonomi sirkular.

Masa Depan Nikel di Indonesia

Dengan cadangan nikel yang sangat besar, Indonesia memiliki peran sentral dalam masa depan energi dunia. Namun, pilihan teknologi yang digunakan dalam menambang dan mengekstraksi logam ini akan menentukan apakah negeri ini bisa menjadi pemimpin transisi energi berkelanjutan atau justru terjebak dalam konflik lingkungan dan sosial yang berkepanjangan.

Pertanyaannya kini bukan lagi soal kemampuan teknologi, melainkan soal kemauan politik dan keberpihakan industri. Apakah Indonesia siap mengadopsi teknologi ekstraksi yang lebih hijau dan berkelanjutan?

Selain soal emisi karbon, tantangan lain dalam industri nikel adalah pencemaran tanah, air, dan udara, ancaman bencana alam, serta persoalan sosial dan ketenagakerjaan. Jika tidak ditangani secara menyeluruh, cita-cita menjadikan nikel sebagai pilar energi bersih dunia bisa berubah menjadi bencana lingkungan dan sosial di dalam negeri.

Dalam konteks ini, solusi ekstraksi nikel rendah emisi dari MPI-SusMat memberikan arah baru yang menjanjikan. Namun, keberhasilan implementasinya sangat bergantung pada kesediaan pemerintah dan pelaku industri untuk berinvestasi pada masa depan yang berkelanjutan, bukan sekadar keuntungan jangka pendek.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index