JAKARTA — Upaya rehabilitasi lingkungan kembali diperkuat di Kalimantan Selatan melalui kolaborasi antara PT Freeport Indonesia dan sejumlah pihak strategis. Sebanyak 500 hektare ekosistem mangrove yang mengalami kerusakan berhasil direhabilitasi di dua kabupaten di provinsi tersebut, yakni Kabupaten Tanah Laut dan Kabupaten Kotabaru. Kegiatan rehabilitasi ini menjadi bagian dari inisiatif besar PT Freeport Indonesia dalam menargetkan rehabilitasi 2.000 hektare lahan mangrove di Kalimantan hingga tahun 2041.
Penanaman bibit mangrove secara simbolis dilakukan pada Senin, 2 Juni 2025, bertepatan dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup yang digelar di Kampus Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Kota Banjarbaru. Kegiatan ini menggandeng berbagai pihak mulai dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Pengendali Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan, Universitas Lambung Mangkurat (ULM), hingga masyarakat setempat.
Deputi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Rasio Ridho Sani, menyatakan bahwa rehabilitasi mangrove ini meliputi area seluas 400 hektare di Kabupaten Tanah Laut dan 100 hektare di Kabupaten Kotabaru. Menurutnya, keberadaan mangrove sangat penting untuk menghadapi berbagai ancaman ekologis, termasuk dampak perubahan iklim dan pencemaran lingkungan.
“Kita perlu menata ekosistem mangrove dan juga mengurangi dampak pencemaran sampah plastik terhadap lingkungan,” ujar Rasio Ridho Sani saat memberikan sambutan dalam seminar nasional Hari Lingkungan Hidup.
Lebih lanjut, Rasio menegaskan bahwa kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia semakin parah akibat berbagai faktor seperti alih fungsi lahan, penebangan liar, polusi limbah industri dan plastik, pencemaran air laut, serta lemahnya penegakan hukum lingkungan.
Ia mengungkapkan bahwa selama periode 2010 hingga 2020, Indonesia telah kehilangan tutupan mangrove seluas 195.014 hektare, atau setara dengan 19.501 hektare per tahun.
“Itu sebabnya, kami terus mendorong mitigasi dan pemulihan ekosistem mangrove melalui upaya remediasi, rehabilitasi, dan restorasi,” jelas Rasio.
Mangrove Sebagai Pelindung Alami dan Penopang Ekonomi
Ekosistem mangrove dikenal sebagai salah satu benteng alami dalam menahan abrasi, gelombang tsunami, serta menjaga kestabilan garis pantai. Tidak hanya itu, hutan mangrove juga berfungsi sebagai penyerap karbon alami dan mendukung keberlangsungan ekosistem laut, terutama perikanan dan pariwisata pesisir.
Namun, ancaman pencemaran lingkungan terutama dari sampah plastik menjadi momok serius. Rasio mengingatkan bahwa polusi plastik telah menyebabkan kerusakan yang luas terhadap ekosistem laut.
“Dampak buruk sampah laut adalah merusak ekosistem laut dan pantai, mengancam kesehatan manusia, membahayakan keselamatan pelayaran, merusak estetika pantai, serta menurunkan daya saing destinasi wisata pantai,” ucapnya.
Dari segi ekonomi, polusi sampah laut meningkatkan biaya pengelolaan limbah, operasional pelayaran, dan perikanan tangkap. Hal ini turut berdampak pada pendapatan nelayan yang menurun akibat menurunnya jumlah tangkapan ikan.
Mengutip hasil riset dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rasio menambahkan bahwa mikroplastik telah ditemukan di hampir seluruh perairan Indonesia, terutama di Teluk Jakarta dan wilayah perairan Sulawesi Selatan.
“Mikroplastik ditemukan dalam pencemaran 58 hingga 89 persen ikan teri, ini menunjukkan betapa gentingnya kondisi laut kita,” tegasnya.
Komitmen Freeport Indonesia Pulihkan Ribuan Hektare Mangrove
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Tony Wenas, menjelaskan bahwa rehabilitasi mangrove di Kalimantan merupakan bagian dari target besar perusahaan, yaitu merehabilitasi 10.000 hektare hutan mangrove hingga tahun 2041. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2.000 hektare ditargetkan berada di Kalimantan, dan sisanya di wilayah Papua, khususnya Kabupaten Mimika.
“Sebanyak 8 ribu hektare kami targetkan di Mimika dan 2 ribu hektare di Kalimantan. Sekarang sudah terealisasi lebih dari 1.200 hektare. (Untuk Kalimantan) yang tertanam masih di bawah 100 hektare karena baru dimulai dekat IKN,” ujar Tony Wenas.
Di Kalimantan Selatan, Freeport telah merehabilitasi 500 hektare lahan mangrove secara bertahap dengan menggandeng Universitas Lambung Mangkurat. Tony juga menekankan pentingnya upaya ini karena Indonesia merupakan negara dengan ekosistem mangrove terbesar di dunia, menguasai sekitar 23 persen total luasan mangrove global.
“Indonesia punya 1,5 juta hektare mangrove di Papua saja, dan Kabupaten Mimika menyumbang 150 ribu hektare. Maka dari itu, komitmen kami sangat kuat untuk terus menjaga dan memulihkan ekosistem penting ini,” imbuh Tony.
Dalam hal pengelolaan limbah plastik, Tony juga menegaskan bahwa Freeport Indonesia telah melakukan berbagai langkah konkret, salah satunya dengan mengurangi penggunaan botol plastik hingga 3 juta botol.
“Bukan plastik itu jelek, tapi sampah plastik itu yang jelek. Plastik jangan dijadikan sampah, harus dipakai berulang-ulang dan didaur ulang,” ujar Tony dengan tegas.
Kampus ULM Turut Ambil Bagian
Rektor Universitas Lambung Mangkurat, Ahmad Alim Bahri, turut menegaskan bahwa pihaknya berkomitmen penuh dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup, terutama melalui kegiatan riset dan edukasi masyarakat sekitar kawasan mangrove.
Ahmad menyebut bahwa ULM memiliki lahan mangrove seluas 600 hektare, yang tidak hanya dijadikan tempat konservasi, tetapi juga dimanfaatkan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat lokal.
“Kita terus berupaya meningkatkan nilai tambah kawasan mangrove melalui penelitian dan inovasi, termasuk dalam pengolahan sampah plastik,” kata Ahmad Alim Bahri. “Semoga bisa memberikan solusi jangka panjang pengelolaan sampah plastik.”
Kolaborasi Jadi Kunci Pemulihan Ekosistem
Langkah rehabilitasi mangrove yang dilakukan oleh Freeport Indonesia dan para pemangku kepentingan di Kalimantan Selatan menjadi contoh kolaborasi konkret untuk pemulihan lingkungan. Dengan target jangka panjang yang jelas dan keterlibatan multisektor, inisiatif ini diharapkan dapat mengembalikan fungsi ekosistem mangrove sebagai pelindung alami dan penguat ekonomi pesisir.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga ekosistem laut dan pesisir. Rehabilitasi mangrove, pengelolaan limbah plastik, dan penguatan kesadaran publik menjadi elemen krusial dalam mewujudkan keberlanjutan lingkungan di masa depan.