JAKARTA — Peta jalan transisi energi yang tengah dijalankan Pemerintah Indonesia dinilai belum mampu menjawab tantangan krisis iklim secara menyeluruh. Dalam berbagai forum, para pengamat dan pegiat lingkungan mempertanyakan komitmen pemerintah dalam mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil, seperti batu bara dan gas, yang tetap diakomodir dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) hingga tahun 2060.
Kritik tajam terhadap peta jalan energi ini mengemuka dalam diskusi bertajuk “Krisis Iklim vs Peta Jalan Transisi Energi” yang diselenggarakan oleh Kanopi Hijau Indonesia. Dalam forum tersebut, berbagai narasumber dari kalangan lembaga swadaya masyarakat hingga akademisi menyoroti bahwa roadmap yang ada tidak sepenuhnya mengarah pada solusi jangka panjang yang adil dan berkelanjutan.
Salah satu sorotan utama datang dari Novita Indri Pratiwi, perwakilan Trend Asia. Ia mengungkapkan bahwa dokumen transisi energi Indonesia masih belum memiliki arah yang tegas, baik dalam hal pemilihan energi prioritas maupun kebijakan pendukungnya. “Penggunaan bioenergi sebagai salah satu solusi transisi energi justru merupakan solusi palsu karena berisiko menimbulkan deforestasi atau pembabatan hutan,” kata Novita.
Novita juga mengkritisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang tetap memasukkan batu bara dan gas dalam proyeksi energi hingga tahun 2060. Meskipun secara proporsi disebutkan akan menurun, fakta bahwa energi fosil tetap menjadi bagian dari kebijakan nasional menunjukkan lemahnya komitmen terhadap pengurangan emisi karbon. “Penggunaan energi fosil dalam peta jalan transisi energi dipertanyakan, apalagi saat ini produksi energi terbarukan sudah jauh lebih mudah dan harganya lebih murah,” tegasnya.
Sementara itu, Catharine K Wijaya dari Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia menjelaskan bahwa JETP dibentuk untuk mendanai proses transisi energi yang adil dan berkelanjutan. Hingga saat ini, dana sebesar USD 19,6 miliar telah dijanjikan untuk mendukung upaya transisi energi di Indonesia. Enam fokus area investasi (Investment Focus Area/IFA) telah ditetapkan, termasuk pembangunan energi panas bumi (geothermal).
Namun, pendanaan dari JETP ini juga tidak lepas dari kritik. Ali Akbar, Konsolidator Sumatera Terang untuk Energi Bersih, menyoroti bahwa hingga kini skema pembiayaan dari JETP masih mendukung penggunaan energi fosil, khususnya batu bara. “Agenda JETP yang masih mendukung penggunaan energi batu bara jelas tidak selaras dengan upaya menekan emisi karbon,” kata Ali.
Ali menambahkan, aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara memberikan kontribusi signifikan terhadap krisis iklim serta berdampak langsung pada masyarakat yang tinggal di sekitarnya, mulai dari masalah kesehatan, ekonomi hingga sosial. Salah satu contoh adalah PLTU Teluk Sepang di Bengkulu, yang disebutnya harus menjadi perhatian khusus.
“Seminar ini menjadi bahan bacaan dalam rangka menjalankan kampanye melawan krisis iklim, salah satunya dengan memperketat operasionalisasi PLTU batu bara Teluk Sepang, Bengkulu, sehingga mampu menekan emisi yang ditimbulkan,” ujar Ali. Ia menekankan pentingnya pelaksanaan kewajiban lingkungan oleh perusahaan pembangkit agar tidak merugikan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Ali juga menegaskan bahwa belum ditemukan korelasi yang signifikan antara agenda penurunan emisi karbon dengan agenda pembiayaan dari JETP. “Seharusnya ini juga menjadi agenda JETP, mengingat hingga saat ini operasionalisasi PLTU batu bara terus menimbulkan dampak buruk bagi manusia dan lingkungan,” katanya lagi.
Lebih jauh, Raditya Yudha W, perwakilan dari Institute for Essential Services Reform (IESR), menambahkan bahwa meskipun Indonesia telah merancang dua dokumen strategis menuju Net Zero Emission (NZE) tahun 2060, namun upaya yang ditunjukkan belum selaras dengan target global.
Menurut Raditya, terdapat sejumlah tantangan besar dalam transisi energi Indonesia, antara lain terbatasnya infrastruktur fisik, belum matangnya kerangka kebijakan, dan tekanan dari kondisi perekonomian nasional. Ia juga menyoroti soal subsidi dan kompensasi pemerintah yang, menurutnya, justru memperkuat konsumsi bahan bakar fosil. “Kritik terhadap subsidi dan kompensasi yang diberikan pemerintah kepada masyarakat miskin justru mendorong konsumsi bahan bakar, yang seharusnya dialihkan ke energi yang lebih bersih,” ungkap Raditya.
Diskusi ini juga menyinggung dampak nyata krisis iklim di wilayah Indonesia, khususnya di pantai barat Pulau Sumatera. Masyarakat di sana kini menghadapi laju abrasi pantai yang semakin cepat, kerusakan muara sungai, hingga pendangkalan pelabuhan akibat naiknya permukaan air laut dan aktivitas PLTU yang masih beroperasi tanpa penegakan standar lingkungan yang ketat.
Para pembicara dalam diskusi sepakat bahwa agenda transisi energi Indonesia harus dikaji ulang agar lebih berpihak pada energi bersih dan masyarakat terdampak krisis iklim. Perlu adanya komitmen politik yang kuat, pembiayaan yang transparan, serta pelibatan masyarakat sipil dalam pengawasan implementasi kebijakan.
Dengan berbagai catatan tersebut, para aktivis dan lembaga pemantau lingkungan menyerukan revisi menyeluruh terhadap roadmap transisi energi nasional. Mereka menuntut agar seluruh kebijakan diarahkan secara tegas pada pemutusan ketergantungan terhadap energi fosil serta mempercepat pembangunan infrastruktur energi terbarukan yang ramah lingkungan, berkeadilan, dan inklusif.
“Yang kita perlukan bukan sekadar roadmap yang terlihat ambisius di atas kertas, melainkan implementasi nyata di lapangan yang berdampak langsung terhadap penurunan emisi dan kesejahteraan masyarakat,” pungkas Novita dari Trend Asia.
Meskipun Indonesia telah menyiapkan kerangka transisi energi melalui berbagai skema seperti KEN dan JETP, namun masih terdapat gap besar antara rencana dan implementasi. Ketergantungan pada energi fosil dan kebijakan yang tidak berpihak pada energi bersih dinilai sebagai hambatan utama dalam menjawab tantangan krisis iklim yang semakin nyata dampaknya. Pemerintah didorong untuk mempercepat transformasi menuju energi bersih demi masa depan yang berkelanjutan.