JAKARTA — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) melakukan pengawasan intensif terhadap empat perusahaan tambang nikel yang beroperasi di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya, menyusul temuan dugaan pelanggaran serius terhadap ketentuan lingkungan dan tata ruang kawasan hutan.
Empat perusahaan tambang nikel tersebut adalah PT Gag Nikel (PT GN), PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM), PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP), dan PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP). Langkah pengawasan dilakukan langsung oleh tim dari Deputi Bidang Penegakan Hukum Lingkungan Hidup KLH, yang turun ke lapangan.
Langkah ini menjadi respons tegas pemerintah terhadap kekhawatiran masyarakat akan kerusakan lingkungan yang mengancam keberlanjutan kawasan Raja Ampat, yang dikenal sebagai salah satu destinasi wisata bahari unggulan dunia.
“Kegiatan pertambangan bukanlah prioritas di pulau kecil, khususnya di Raja Ampat. Hal ini diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023,” tegas Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq, dalam keterangan resmi, Kamis (5/6/2025).
Hanya Tiga Perusahaan Kantongi Izin Kawasan Hutan
Meski keempat perusahaan telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP), hanya tiga yang memiliki Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), yaitu PT ASP, PT GN, dan PT KSM. PT MRP belum tercatat memiliki PPKH, yang berarti operasionalnya dalam kawasan hutan menjadi perhatian khusus KLHK.
Dari hasil pengawasan lapangan, KLHK menemukan bahwa dua perusahaan—PT ASP dan PT GN—melakukan kegiatan tambang di dua pulau kecil, yakni Pulau Manuran dan Pulau Gag. Sesuai ketentuan perundangan, aktivitas pertambangan di pulau kecil sangat dibatasi bahkan dilarang, karena bertentangan dengan prinsip pemanfaatan ruang secara berkelanjutan.
“PT ASP, perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) asal Tiongkok, beroperasi di Pulau Manuran seluas sekitar 746 hektare. Sedangkan PT GN menambang di Pulau Gag dengan luasan konsesi mencapai 6.030,53 hektare,” ungkap Hanif.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, pulau kecil dan perairan sekitarnya harus diprioritaskan untuk kegiatan non-pertambangan seperti konservasi, pendidikan, perikanan, dan pariwisata berkelanjutan. Oleh karena itu, operasi kedua perusahaan tersebut dapat dianggap bertentangan dengan hukum, terutama jika tidak mematuhi aturan dan tidak memiliki mitigasi dampak lingkungan yang memadai.
Pelanggaran PT ASP: Tak Miliki Sistem Pengelolaan Lingkungan
KLHK menemukan sejumlah pelanggaran berat yang dilakukan PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP). Perusahaan tersebut disebut tidak memiliki sistem manajemen lingkungan yang memadai dan tidak melakukan pengelolaan limbah larian secara benar.
“PT ASP terbukti tidak menerapkan sistem manajemen lingkungan dan tidak mengelola limbah larian. Ini merupakan pelanggaran serius terhadap ketentuan yang berlaku,” ujar Hanif.
Sebagai langkah awal, KLHK menghentikan sementara aktivitas pertambangan PT ASP di lapangan dan memasang plang peringatan resmi sebagai bentuk sanksi administratif awal sambil menunggu hasil evaluasi lebih lanjut.
“KLH/BPLH akan mengevaluasi Persetujuan Lingkungan yang dimiliki PT GN dan PT ASP. Jika terbukti bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, maka izin tersebut akan dicabut,” tegasnya.
Ancaman terhadap Ekosistem Raja Ampat
Keberadaan perusahaan tambang di wilayah sensitif seperti Raja Ampat menimbulkan kekhawatiran luas dari berbagai pihak, termasuk aktivis lingkungan, akademisi, dan masyarakat lokal. Raja Ampat merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia dan telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi prioritas nasional dan internasional.
Kegiatan tambang di pulau-pulau kecil seperti Pulau Manuran dan Pulau Gag berpotensi besar merusak ekosistem darat dan laut yang sangat rapuh. Selain itu, aktivitas pertambangan dapat mengganggu mata pencaharian masyarakat setempat yang menggantungkan hidup dari pariwisata dan perikanan berkelanjutan.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 menegaskan bahwa pulau kecil harus dilindungi dari aktivitas ekstraktif yang dapat mengubah struktur lingkungan dan fungsi ekologisnya.
“Berdasarkan Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya harus diprioritaskan untuk konservasi dan kegiatan ramah lingkungan lainnya,” kata Hanif.
Potensi Evaluasi Izin dan Penindakan Lanjutan
Langkah KLHK dengan mengirim tim pengawasan ini merupakan bagian dari strategi penguatan penegakan hukum lingkungan hidup, khususnya dalam konteks pengelolaan kawasan pesisir dan pulau kecil. Jika ditemukan bukti pelanggaran hukum yang sistematis, maka pemerintah tidak akan segan mencabut izin lingkungan maupun IUP yang telah dikeluarkan.
“Kami tidak akan ragu mengambil langkah tegas, termasuk pencabutan izin, jika perusahaan terbukti melanggar ketentuan lingkungan yang berlaku,” ujar Hanif dengan tegas.
Evaluasi menyeluruh atas dokumen lingkungan, pelaksanaan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), dan kepatuhan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan akan dilakukan dalam waktu dekat.
Dengan pengawasan intensif ini, KLHK berharap dapat memulihkan fungsi ekologi kawasan Raja Ampat sekaligus memastikan bahwa investasi di sektor pertambangan berjalan sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pemerintah juga mengajak seluruh pelaku usaha untuk lebih patuh terhadap regulasi, terlebih jika kegiatan bisnisnya berada di kawasan sensitif seperti pulau kecil.
Kawasan Raja Ampat yang kaya akan biodiversitas dan bernilai tinggi sebagai destinasi wisata internasional tidak boleh dikorbankan demi kepentingan jangka pendek. Langkah KLHK dalam mengawasi perusahaan tambang nikel ini menjadi sinyal kuat bahwa kelestarian lingkungan tetap menjadi prioritas nasional.