JAKARTA — Di tengah gencarnya kampanye global menuju energi bersih dan transisi hijau, masyarakat adat di Raja Ampat, Papua Barat Daya, justru menghadapi ancaman serius. Tambang nikel yang terus meluas di wilayah tersebut menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah serta mengoyak hak-hak masyarakat adat. Ironisnya, semua ini dilakukan atas nama "pembangunan berkelanjutan" dan energi masa depan.
Raja Ampat dikenal sebagai salah satu pusat biodiversitas laut dunia. Kawasan ini bukan hanya memiliki nilai ekologis tinggi, tapi juga menjadi rumah bagi komunitas adat yang hidup harmonis dengan alam selama ratusan tahun. Namun, kini wilayah tersebut menghadapi luka ekologis yang dalam akibat ekspansi tambang nikel yang tidak terkendali.
“Kita perlu menyuarakan bahwa apa yang sedang terjadi di Raja Ampat bukan hanya pelanggaran terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan, tetapi juga pengkhianatan terhadap nilai-nilai keadilan ekologis dan sosial,” tegas salah satu aktivis mahasiswa dalam pernyataannya, menggarisbawahi betapa gentingnya situasi yang dihadapi masyarakat adat di wilayah itu.
Konsesi di Atas Tanah Ulayat
Berbagai proyek industri, terutama tambang nikel, terus menyasar tanah ulayat milik masyarakat adat Papua. Konsesi tambang diberikan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, tanpa melalui mekanisme yang transparan dan adil. Banyak izin dikeluarkan tanpa adanya Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) atau persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan secara lengkap dari masyarakat adat sebagai pihak yang paling terdampak.
“Negara tidak bisa terus bersembunyi di balik dalih legalitas izin. Legalitas tidak selalu berarti legitimasi,” kata seorang perwakilan dari gerakan mahasiswa yang menentang tambang di kawasan konservasi. Ia menambahkan bahwa prinsip FPIC merupakan syarat utama yang diakui oleh hukum internasional dan konstitusi Indonesia dalam perlindungan masyarakat adat.
Ekosistem Terancam, Kehidupan Terenggut
Raja Ampat yang selama ini menjadi ikon pariwisata bahari Indonesia, perlahan berubah menjadi ladang tambang. Limbah pertambangan mencemari laut yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat lokal, terutama nelayan. Kerusakan ekosistem laut pun dikhawatirkan akan berdampak jangka panjang, tidak hanya secara lingkungan, tetapi juga sosial dan ekonomi.
Perusahaan-perusahaan tambang nikel kini menjadikan wilayah Papua sebagai basis produksi karena tingginya permintaan global, terutama untuk kebutuhan baterai kendaraan listrik. Negara-negara maju di dunia yang gencar mendorong transisi energi turut menjadi konsumen utama nikel dari Indonesia, tanpa memperhatikan dampak destruktif yang terjadi di lapangan.
"Tidak bisa disebut ‘energi bersih’ jika prosesnya mengorbankan masyarakat lokal dan merusak lingkungan,” ungkap aktivis yang menekankan pentingnya keadilan dalam proses transisi energi. Menurutnya, transisi ini tidak boleh hanya dilihat sebagai perpindahan sumber energi dari fosil ke energi baru, tetapi juga sebagai perubahan dalam cara kita memperlakukan alam dan sesama manusia.
Negara Harus Hadir
Pemerintah diminta untuk lebih tegas dalam melindungi kawasan sensitif seperti Raja Ampat. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta lembaga terkait lainnya diminta segera melakukan evaluasi terhadap seluruh perizinan yang telah diberikan di wilayah tersebut.
Tak hanya itu, peran DPR RI dan aparat penegak hukum juga diharapkan tidak tinggal diam. Pengawasan terhadap alokasi dana CSR, audit analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), hingga potensi korupsi dalam proses perizinan harus dijalankan secara terbuka dan transparan.
“Negara semestinya hadir untuk melindungi, bukan memfasilitasi eksploitasi,” ujar perwakilan gerakan mahasiswa yang menekankan pentingnya reformasi tata kelola tambang, terutama di wilayah dengan status konservasi.
Tuntutan Moratorium dan Evaluasi Hilirisasi
Gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil menyerukan moratorium terhadap seluruh izin tambang di kawasan konservasi seperti Raja Ampat. Selain itu, mereka juga menuntut adanya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan hilirisasi nikel yang dianggap eksploitatif dan tidak berpihak pada masyarakat lokal.
-Beberapa tuntutan yang disampaikan antara lain:
-Moratorium terhadap semua izin tambang di wilayah konservasi seperti Raja Ampat;
-Evaluasi ulang terhadap kebijakan hilirisasi yang eksploitatif;
-Perlindungan nyata terhadap masyarakat adat sebagai penjaga bumi;
-Keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam pengawasan proyek transisi energi.
Menurut para aktivis, kebijakan transisi energi saat ini cenderung mengabaikan aspek keadilan ekologis dan sosial. Mereka menilai bahwa apabila masyarakat adat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan tidak dihormati hak atas tanah dan sumber daya alamnya, maka transisi energi itu hanyalah reproduksi dari kolonialisme dalam bentuk baru.
Energi Masa Depan Tak Bisa Berdiri di Atas Luka
“Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau nan eksotis. Ia adalah rumah bagi ribuan spesies dan komunitas adat yang hidup selaras dengan alam. Tidak ada masa depan energi yang benar-benar berkelanjutan jika dibangun di atas kehancuran rumah mereka,” tegas pernyataan resmi dari perwakilan mahasiswa.
Mereka berkomitmen untuk terus berdiri bersama masyarakat adat yang suaranya diredam, tanahnya dirampas, dan lautnya diracuni. Dalam pandangan mereka, keadilan dalam transisi energi bukan sekadar slogan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berakar pada kemanusiaan, keberlanjutan, dan etika lingkungan.
Di balik semangat transisi energi dan revolusi kendaraan listrik, tersembunyi luka-luka ekologis yang belum sembuh. Raja Ampat menjadi simbol dari paradoks ini surga biodiversitas yang perlahan dihancurkan demi komoditas masa depan. Tanpa keterlibatan aktif masyarakat adat dan perlindungan nyata dari negara, transisi ini hanya akan meninggalkan jejak penderitaan.
Transisi energi yang sejati adalah yang berpihak pada lingkungan dan rakyat, bukan sekadar mengejar keuntungan jangka pendek atau memenuhi permintaan pasar global. Karena itu, semua pihak baik pemerintah, industri, maupun masyarakat internasional—harus memastikan bahwa energi masa depan tidak dihasilkan dari kehancuran rumah orang lain.