JAKARTA – Rencana Undang-Undang (RUU) pajak dan belanja terbaru yang diusulkan oleh mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memicu kekhawatiran global terkait masa depan energi terbarukan. Berdasarkan laporan terbaru dari Bloomberg New Energy Finance (BNEF), dampak kebijakan ini diperkirakan akan menghambat pengembangan energi surya, angin, dan sistem penyimpanan energi di AS, dengan proyeksi penurunan kapasitas sebesar 10% hingga tahun 2035.
Dalam dokumen tersebut, BNEF menjabarkan bahwa penghapusan dan pembatasan kredit pajak terhadap proyek energi bersih akan menyebabkan penyusutan kapasitas baru dalam berbagai sektor energi terbarukan. Dampak terbesar diperkirakan akan menimpa sektor tenaga angin, dengan potensi penurunan kapasitas hingga 35% pada 2035 dan ketiadaan proyek angin lepas pantai setelah tahun 2028.
Energi Angin Paling Terdampak
BNEF mencatat bahwa jika RUU yang dikenal dengan julukan “One Big Beautiful Bill” ini disahkan menjadi undang-undang, dampak langsungnya adalah penyusutan investasi dan pembangunan proyek tenaga angin, baik onshore maupun offshore. Hal ini berpotensi menghambat kontribusi signifikan tenaga angin dalam bauran energi AS. “Kapasitas baru untuk tenaga angin akan menyusut sebesar 35% dan tidak ada penambahan tenaga angin lepas pantai setelah tahun 2028,” ungkap laporan BNEF.
Dampak Emisi dan Sektor Listrik
Tak hanya berdampak pada kapasitas energi, RUU tersebut juga diperkirakan akan memperburuk emisi karbon AS. Berdasarkan simulasi yang dilakukan Bloomberg NEF, kebijakan ini akan menyebabkan lonjakan emisi karbon dari sektor kelistrikan hingga 3,8 juta ton pada 2050.
RUU ini menjadi ancaman langsung terhadap kemajuan yang telah dicapai melalui Undang-Undang Pengurangan Inflasi (Inflation Reduction Act) yang digagas oleh mantan Presiden Joe Biden, yang sebelumnya memberikan insentif besar bagi energi terbarukan.
Penurunan Kredit Pajak dan Tenggat Ketat
Salah satu poin utama dari RUU ini adalah pemangkasan atau penghapusan kredit pajak bagi proyek energi terbarukan. Dalam versi final DPR, kredit pajak untuk proyek tenaga bersih non-nuklir hanya tersedia jika proyek tersebut mulai dibangun dalam waktu 60 hari setelah undang-undang diberlakukan dan beroperasi sebelum akhir tahun 2028.
Selain itu, kredit pajak sebesar 30% untuk proyek tenaga surya perumahan juga akan dihentikan pada akhir tahun ini. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dari pelaku industri karena akan meningkatkan biaya pembangunan proyek energi bersih dan menurunkan daya tarik investasi di sektor ini.
Dampak pada Sistem Kelistrikan dan Harga Energi
Derrick Flakoll, Senior Policy Associate di Bloomberg NEF, menyatakan bahwa langkah ini akan membawa dampak besar pada sistem kelistrikan nasional AS. “Membangun lebih sedikit energi bersih baru akan berdampak negatif pada sistem kelistrikan. Di sebagian besar pasar tenaga listrik regional, energi terbarukan dapat ditambahkan ke sistem lebih cepat daripada sumber pembangkitan lain seperti pembangkit listrik berbahan bakar gas,” jelas Flakoll, dikutip Bloomberg.
Ia juga menyoroti bahwa pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar gas sebagai alternatif pun menghadapi kendala besar, seperti kelangkaan turbin dan perizinan yang rumit. “Selain itu, sangat sulit untuk sekadar membangun pembangkit gas baru mengingat pasar kekurangan turbin,” tambahnya.
Tak hanya itu, Flakoll juga memperingatkan bahwa penghapusan kredit pajak akan meningkatkan biaya modal yang harus dikeluarkan oleh perusahaan utilitas, yang pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen. “Jika Anda menyingkirkan keringanan pajak, Anda meningkatkan biaya modal yang harus dibayarkan oleh perusahaan listrik untuk mendapatkan listrik baru. Itu akan dibebankan kepada konsumen, yang akan memiliki tarif yang lebih tinggi,” tuturnya.
Proyeksi Jangka Panjang Masih Menjanjikan
Meskipun proyeksi jangka pendek terlihat suram, Bloomberg NEF memperkirakan bahwa permintaan energi bersih akan kembali meningkat dalam jangka panjang. Menjelang tahun 2050, kapasitas baru tenaga surya dan angin secara kolektif diperkirakan hanya turun sekitar 1% dibandingkan skenario dasar.
Faktor utama pemulihan ini adalah meningkatnya permintaan listrik dari pusat data dan kendaraan listrik (EV) yang terus tumbuh pesat. Kebutuhan akan pasokan energi berkelanjutan untuk menunjang transformasi digital dan elektrifikasi transportasi akan tetap mendorong investasi di sektor energi hijau, meskipun insentif pajak dikurangi.
Reaksi Pelaku Industri dan Pemerintah
Kebijakan ini mendapat tanggapan beragam dari pelaku industri energi dan pengamat lingkungan. Banyak yang menilai bahwa RUU tersebut bertolak belakang dengan tren global dalam transisi energi dan bisa menjauhkan AS dari target emisi nol bersih (net zero emission).
Organisasi lingkungan, asosiasi energi terbarukan, dan pelaku bisnis di sektor energi bersih telah mengajukan keberatan mereka, dengan menyatakan bahwa ketidakpastian regulasi dan insentif akan menimbulkan efek jera bagi investor domestik dan asing.
Sementara itu, proses legislasi masih berlangsung. Setelah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), RUU saat ini berada di tangan Senat AS, di mana masih ada peluang untuk dilakukan revisi dan amandemen. “One Big Beautiful Bill yang disahkan oleh DPR bulan lalu kini telah diserahkan ke Senat, di mana perubahan diharapkan terjadi,” kata Derrick Flakoll.
RUU pajak dan belanja yang diusulkan oleh Donald Trump dapat menghambat pertumbuhan energi terbarukan di AS, menurunkan kapasitas energi surya, angin, dan penyimpanan hingga 10% pada 2035, serta meningkatkan emisi karbon jutaan ton pada 2050. Dampaknya juga bisa dirasakan langsung oleh masyarakat lewat lonjakan tarif listrik akibat naiknya biaya investasi energi.
Namun, kebutuhan jangka panjang terhadap energi bersih masih akan tumbuh, seiring peningkatan penggunaan data dan kendaraan listrik. Dengan posisi RUU yang masih dibahas di Senat, banyak pihak berharap agar kebijakan tersebut bisa direvisi demi memastikan keberlanjutan energi bersih dan ketahanan energi nasional.