JAKARTA – Sorotan terhadap proyek hilirisasi nikel kembali mencuat, seiring dengan rencana penambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Kawasan yang dikenal sebagai salah satu wilayah dengan kekayaan biodiversitas laut tertinggi di dunia itu kini menghadapi ancaman nyata dari ekspansi tambang, yang memantik kekhawatiran publik soal arah hilirisasi dan kedaulatan energi nasional.
Di tengah euforia transisi energi global, Indonesia yang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia justru dihadapkan pada dilema: apakah proyek hilirisasi ini benar-benar menguntungkan bangsa, atau justru menjebak Indonesia dalam ketergantungan baru terhadap kekuatan asing?
Rifqi Nuril Huda, Direktur Eksekutif Institute of Energy and Development Studies (IEDS), menyoroti dengan tajam arah kebijakan hilirisasi yang dianggap belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan nasional.
“Saya termasuk yang menaruh harapan sekaligus kewaspadaan. Harapan karena hilirisasi memang membuka peluang besar untuk keluar dari jebakan negara eksportir bahan mentah. Tapi waspada, karena tanpa arah dan tata kelola yang benar, hilirisasi bisa berubah menjadi jebakan sumber daya yang baru serta membuat kita makin jauh dari kedaulatan energi dan keadilan sosial yang sejati,” ujar Rifqi dalam pernyataannya di Jakarta.
Nikel dan Transisi Energi: Simbol atau Ilusi?
Nikel merupakan bahan utama dalam produksi baterai kendaraan listrik, yang menjadi jantung dari transisi energi bersih dunia. Indonesia, sebagai penghasil nikel utama, seharusnya berada di posisi strategis dalam peta energi global. Namun, keterlibatan dominan investor asing terutama dari Tiongkok dalam proyek hilirisasi menimbulkan pertanyaan serius.
“Apakah kita benar-benar mengendalikan kartu itu? Atau kita justru kembali menjadi penonton dalam panggung besar industrialisasi global yang dikendalikan oleh negara-negara industri?” ungkap Rifqi dengan nada mempertanyakan arah hilirisasi yang tampak dikuasai pihak luar.
Kekhawatiran ini beralasan, mengingat banyak proyek hilirisasi di Indonesia yang dibangun dengan struktur kepemilikan asing yang kuat, sementara kontribusi riil terhadap kedaulatan energi dalam negeri masih minim.
Raja Ampat: Ujian Ekologis dan Konstitusional
Kasus eksploitasi nikel di Raja Ampat menjadi simbol kuat dari bagaimana hilirisasi dijalankan dengan mengabaikan prinsip ekologis dan konstitusi. Wilayah ini bukan hanya kaya akan ekosistem laut yang langka, tapi juga merupakan kawasan warisan dunia yang seharusnya dilindungi.
Menurut Rifqi, langkah penambangan di wilayah seunik Raja Ampat tidak hanya mencederai nilai ekologis, tetapi juga melanggar semangat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menekankan bahwa sumber daya alam harus dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
“Penambangan nikel di kawasan seunik Raja Ampat bukan hanya bentuk pengabaian terhadap keanekaragaman hayati, tetapi juga pengkhianatan terhadap amanat konstitusi. Hak menguasai negara bukan berarti izin menjual atau merusak, tetapi tanggung jawab mengelola dengan akal sehat, keadilan, dan visi jangka panjang,” tegas Rifqi.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 85/PUU-XI/2013 dan No. 3/PUU-VIII/2010 juga menegaskan pentingnya pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan, termasuk perlindungan terhadap wilayah pesisir dan sumber daya air, yang kerap terdampak oleh aktivitas tambang.
Luka Sosial di Tengah Smelter Megah
Proyek hilirisasi yang digadang-gadang sebagai penggerak ekonomi justru sering kali meninggalkan luka sosial di daerah penghasil nikel. Masyarakat lokal di wilayah seperti Morowali, Halmahera, Konawe, dan Pulau Obi mengalami berbagai persoalan sosial dan lingkungan, mulai dari konflik lahan, krisis air bersih, hingga pencemaran dan ketimpangan sosial-ekonomi.
“Ironisnya, semua ini terjadi atas nama hilirisasi. Padahal, esensi hilirisasi semestinya untuk kesejahteraan rakyat, bukan memperluas ketimpangan dan derita sosial,” ujar Rifqi.
Situasi ini menandakan bahwa manfaat hilirisasi belum benar-benar menyentuh masyarakat lokal yang menjadi pihak paling terdampak dari aktivitas tambang dan pembangunan smelter.
Geopolitik dan Tantangan Baru Hilirisasi
Tantangan hilirisasi kian rumit ketika memasuki ranah geopolitik global. Persaingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok dalam penguasaan rantai pasok mineral kritis membawa dampak langsung bagi Indonesia. Produk nikel dari Indonesia yang bermitra erat dengan investor Tiongkok berisiko tidak diakui di pasar AS karena terkena kategori Foreign Entity of Concern (FEOC) berdasarkan aturan Inflation Reduction Act (IRA).
“Hilirisasi hari ini bukan sekadar urusan tambang dan ekspor, tapi sudah masuk ke ranah pertarungan geopolitik global. Pertanyaannya, apakah kita punya strategi nasional yang utuh untuk menghadapi hal ini?” tutur Rifqi.
Jika Indonesia tidak membangun strategi nasional yang kuat, maka upaya hilirisasi justru bisa melemahkan posisi Indonesia dalam pasar global dan membuat ketergantungan terhadap satu negara semakin besar.
Empat Jalan Menuju Tata Kelola Berkeadilan
Untuk memastikan hilirisasi benar-benar berkontribusi terhadap kedaulatan energi dan kesejahteraan nasional, Rifqi menyarankan empat langkah utama yang harus diambil pemerintah:
-Letakkan hilirisasi dalam kerangka transisi energi nasional. Fokus pada penguasaan teknologi dan penguatan industri dalam negeri yang berpihak pada keadilan iklim antar generasi.
-Bangun diplomasi ekonomi cerdas. Perlu adanya perjanjian dagang strategis agar produk nikel Indonesia dapat diterima di pasar global tanpa diskriminasi geopolitik.
-Prioritaskan perlindungan lingkungan dan sosial. Perkuat regulasi, penegakan hukum, serta perlindungan terhadap masyarakat lokal dan adat.
-Perkuat kelembagaan nasional. Optimalisasi peran lembaga strategis seperti Indonesia Battery Corporation (IBC) dan Danantara sebagai pengelola ekspor nikel nasional.
Dari Eksploitasi Menuju Inovasi
Bagi Rifqi, hilirisasi seharusnya bukan sekadar perpanjangan dari eksploitasi sumber daya, tetapi harus menjadi langkah transformatif menuju energi nasional yang berdaulat dan adil.
“Sering kali kita terjebak pada anggapan bahwa hilirisasi adalah tujuan akhir. Padahal, hilirisasi hanyalah jalan. Tujuan akhirnya adalah kedaulatan energi, kemandirian industri, dan kesejahteraan rakyat,” tegasnya.
Menutup pernyataannya, Rifqi mengutip Bung Karno, mengingatkan kembali pentingnya visi ekonomi berdikari dan kedaulatan bangsa:
“Tegakkan keadilan sosial, bangun kekuatan produksi nasional, dan rebut kedaulatan ekonomi bangsa.”
Dengan posisi strategis sebagai pemilik cadangan nikel terbesar dunia, Indonesia punya peluang besar menjadi pemimpin dalam transisi energi global. Namun, tanpa arah kebijakan yang jelas, perlindungan ekologis yang kuat, dan kepemilikan nasional atas rantai industri, hilirisasi hanya akan menjadi ilusi yang memperpanjang ketergantungan, bukan mengantarkan pada kedaulatan energi yang sejati.
Transformasi menuju energi nasional yang adil harus menempatkan rakyat sebagai subjek utama, bukan hanya menjadi korban dari proyek industrialisasi tanpa arah. Momentum ini harus dimanfaatkan untuk membangun masa depan energi yang inklusif, berkelanjutan, dan benar-benar berdaulat.