Pertambangan

Ekspansi Pertambangan Nikel Ancam Ekosistem Papua, Raja Ampat Terancam

Ekspansi Pertambangan Nikel Ancam Ekosistem Papua, Raja Ampat Terancam
Ekspansi Pertambangan Nikel Ancam Ekosistem Papua, Raja Ampat Terancam

JAKARTA — Isu kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan nikel kembali menjadi sorotan publik. Setelah eksploitasi besar-besaran terjadi di Sulawesi dan Maluku, kini giliran tanah Papua yang menghadapi ancaman serupa. Aktivitas pertambangan yang masif mulai menjalar ke kawasan kaya ekologi dan keanekaragaman hayati di Papua, termasuk wilayah Raja Ampat, Papua Barat, yang selama ini dikenal sebagai surga ekowisata dunia.

Kekhawatiran tersebut memuncak setelah laporan dan aksi protes publik mengungkapkan bahwa kawasan Raja Ampat yang memiliki reputasi global sebagai salah satu destinasi wisata laut terbaik di dunia mulai dibidik untuk kepentingan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan nikel. Situasi ini memicu kecaman dari berbagai elemen masyarakat, termasuk aktivis lingkungan, organisasi non-pemerintah, dan warga lokal.

Papua Jadi Target Baru Eksploitasi Nikel

Kebijakan hilirisasi tambang yang dicanangkan pemerintah sejak masa kepemimpinan sebelumnya memang telah memperkuat industrialisasi nikel di sejumlah wilayah Indonesia. Wilayah seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara sudah lama menjadi basis industri pengolahan nikel. Namun, kondisi tersebut tidak cukup bagi para pelaku industri. Kini Papua, yang memiliki cadangan nikel cukup besar, ikut menjadi target eksplorasi dan produksi nikel.

Menurut sejumlah data geologi, wilayah Papua menyimpan deposit nikel yang berpotensi untuk dieksploitasi secara besar-besaran. Hal ini membuat kawasan tersebut menjadi magnet bagi investor tambang, terutama setelah pemerintah membuka ruang investasi di sektor pertambangan secara lebih luas.

Namun, ekspansi ini tidak disambut baik oleh semua pihak. Penolakan keras datang dari kelompok masyarakat adat Papua, aktivis lingkungan, serta organisasi internasional seperti Greenpeace. Mereka menilai aktivitas pertambangan di Papua, khususnya di wilayah kepulauan Raja Ampat, berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis yang tidak dapat dipulihkan.

Aksi Penolakan di Konferensi Mineral Nasional

Penolakan terhadap pertambangan nikel di Papua memuncak saat pelaksanaan Indonesia Minerals Conference 2025 yang digelar di Hotel Pullman, Jakarta. Dalam forum yang dihadiri para pelaku industri pertambangan nasional dan internasional itu, sekelompok aktivis dari Greenpeace bersama empat pemuda Papua melakukan aksi demonstrasi damai untuk menyuarakan penolakan atas eksploitasi alam Papua.

Dalam aksinya, mereka membentangkan spanduk dan menyerukan pesan-pesan yang menolak ekspansi tambang nikel di tanah Papua. Aksi tersebut menjadi simbol perlawanan masyarakat terhadap praktik industri ekstraktif yang dinilai merusak lingkungan dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat.

“Papua bukan wilayah kosong yang bisa dengan mudah dijadikan target pertambangan. Kami tinggal di sana, kami punya hutan, laut, dan kehidupan yang selama ini dijaga turun-temurun,” ujar salah satu pemuda Papua yang turut serta dalam aksi, seperti dikutip dalam pernyataan Greenpeace Indonesia.

Greenpeace menilai, eksploitasi nikel di Papua tidak hanya merusak alam, tetapi juga mengancam kehidupan sosial dan budaya masyarakat adat. “Pemerintah dan perusahaan harus menghentikan rencana pertambangan di wilayah Papua. Hutan dan laut di sana adalah bagian dari kehidupan masyarakat yang tak tergantikan,” tegas perwakilan Greenpeace dalam siaran pers resminya.

Ancaman Serius Terhadap Ekowisata dan Ekologi

Raja Ampat, yang dikenal dengan keanekaragaman hayati lautnya, termasuk 75% spesies karang dunia, kini berada di garis depan ancaman pertambangan nikel. Padahal, wilayah ini selama ini menjadi andalan ekowisata Indonesia dan mendatangkan devisa dari sektor pariwisata berkelanjutan.

Aktivitas pertambangan di sekitar kawasan pesisir dan laut bisa menimbulkan sedimentasi, polusi logam berat, serta kerusakan terumbu karang. Jika hal ini terjadi, maka kerusakan lingkungan akan berdampak jangka panjang, tidak hanya bagi alam, tetapi juga bagi masyarakat lokal yang menggantungkan hidup dari pariwisata dan hasil laut.

Menurut para ahli lingkungan, pertambangan di wilayah dengan ekosistem sensitif seperti Papua berisiko tinggi menimbulkan bencana ekologis. Bahkan dengan teknologi yang paling modern sekalipun, risiko kerusakan lingkungan tetap tinggi.

“Sekali ekosistem rusak, butuh puluhan bahkan ratusan tahun untuk bisa kembali seperti semula. Itu pun belum tentu berhasil,” kata seorang peneliti ekologi kelautan yang tak ingin disebutkan namanya.

Regulasi Longgar dan Minimnya Konsultasi Publik

Salah satu persoalan yang disoroti dalam ekspansi pertambangan di Papua adalah minimnya keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Sejumlah izin usaha pertambangan (IUP) diduga diterbitkan tanpa adanya konsultasi publik yang transparan. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan hak masyarakat adat.

“Masalah utama dalam pertambangan di Papua adalah tidak adanya penghormatan terhadap masyarakat lokal. Mereka tidak dilibatkan, padahal merekalah yang akan paling terdampak,” ujar aktivis lingkungan dari Papua, Samuel Worabay.

Ia menambahkan bahwa sistem perizinan yang longgar dan tumpang tindih semakin memperbesar potensi konflik sosial dan kerusakan lingkungan. “Pertambangan bukan hanya soal ekonomi. Ini soal masa depan lingkungan dan manusia yang hidup di sekitarnya,” tegasnya.

Mendesak Evaluasi dan Moratorium Tambang di Papua

Sejumlah organisasi lingkungan dan akademisi mendesak pemerintah untuk segera melakukan evaluasi terhadap seluruh izin pertambangan yang telah dikeluarkan di Papua, khususnya di kawasan sensitif seperti Raja Ampat. Bahkan, sebagian besar pihak mendorong diberlakukannya moratorium atau penghentian sementara terhadap seluruh aktivitas tambang di wilayah tersebut hingga ada kajian lingkungan yang menyeluruh.

“Moratorium adalah langkah mendesak yang harus dilakukan jika pemerintah serius menjaga ekosistem Papua dan menghormati hak masyarakat adat,” ujar juru kampanye Greenpeace, Afdillah, dalam pernyataannya.

Ia juga menambahkan bahwa kebijakan hilirisasi tidak boleh menabrak prinsip kelestarian lingkungan. “Tidak ada gunanya meningkatkan nilai tambah nikel jika harga yang dibayar adalah hancurnya ekosistem dan kehidupan masyarakat lokal,” ungkapnya.

Kontroversi pertambangan di Papua menunjukkan dilema antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Sementara pemerintah berupaya meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi, banyak pihak mengingatkan bahwa Papua bukan hanya sumber daya tambang, tapi juga rumah bagi jutaan makhluk hidup dan masyarakat adat.

Pertambangan nikel yang masif tanpa kendali berisiko menimbulkan kerusakan permanen, terutama di wilayah-wilayah ekosistem tinggi seperti Raja Ampat. Pemerintah diharapkan segera mengambil langkah konkret agar Papua tidak menjadi korban berikutnya dari eksploitasi industri ekstraktif yang tidak berkelanjutan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index