Petani

Petani Dihantam Cuaca Ekstrem, Pemerintah Diminta Tidak Lepas Tangan

Petani Dihantam Cuaca Ekstrem, Pemerintah Diminta Tidak Lepas Tangan
Petani Dihantam Cuaca Ekstrem, Pemerintah Diminta Tidak Lepas Tangan

JAKARTA — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi hujan lebat masih akan mengguyur sejumlah wilayah di Indonesia hingga akhir Juni 2025. Fenomena cuaca ekstrem ini menjadi kekhawatiran besar bagi sektor pertanian. Sebab, para petani yang menjadi ujung tombak ketahanan pangan nasional kembali harus menghadapi tantangan alam yang berat.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, hujan lebat kali ini dipicu oleh lima faktor atmosfer yang saling berinteraksi. Di antaranya gelombang atmosfer tropis seperti Gelombang Kelvin, Low Frequency, dan Equatorial Rossby, serta keberadaan bibit siklon tropis 92W dan sirkulasi siklonik yang memicu terbentuknya awan-awan konvektif di wilayah Indonesia.

“Situasi ini menambah potensi curah hujan tinggi di berbagai daerah, terutama wilayah yang berada di selatan ekuator,” ujar Dwikorita dalam keterangan resminya.

Bagi masyarakat umum, kabar ini mungkin terdengar biasa. Namun bagi petani, ini menjadi ancaman serius terhadap kelangsungan musim tanam. Hujan yang turun terus-menerus dapat menyebabkan tanaman rusak, gagal panen, bahkan mati akibat kelebihan air dan minimnya sinar matahari.

Seorang petani dari Indramayu, Jajat Sudrajat, mengeluhkan dampak hujan berkepanjangan yang membuatnya tidak bisa menanam padi sesuai jadwal. “Biasanya awal Juni saya sudah tanam, tapi sekarang lahan masih tergenang air. Bibit pun rusak karena terlalu lama direndam,” katanya.

Fenomena cuaca seperti ini menjadi pengingat pentingnya dukungan sistemik terhadap petani. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, diimbau untuk tidak membiarkan petani berjalan sendiri menghadapi tantangan iklim yang semakin tidak menentu.

Kementerian Pertanian bersama pemerintah daerah diminta aktif memberikan bimbingan teknis dan pendampingan lapangan agar petani bisa beradaptasi dengan perubahan iklim. Kerja sama lintas sektor, terutama dengan BMKG, sangat dibutuhkan untuk menyebarluaskan informasi cuaca secara akurat dan tepat waktu kepada para petani.

“Petani harus mendapatkan akses informasi iklim dan teknologi adaptif agar mereka mampu mengambil langkah antisipasi. Jangan biarkan petani berjalan sendiri menghadapi perubahan iklim,” tegas pengamat pertanian dari IPB University, Dr. Iwan Taruna.

Salah satu langkah konkret yang bisa diambil adalah mendorong petani menanam varietas tanaman yang lebih tahan terhadap cuaca ekstrem. Beberapa jenis tanaman seperti brokoli, kaktus, jagung, selada, terong, dan cabai diketahui sangat sensitif terhadap kelembapan tinggi. Menanamnya di musim hujan berkepanjangan akan meningkatkan risiko gagal panen.

Sebagai alternatif, petani bisa diperkenalkan pada varietas tanaman tahan banjir atau varietas genjah yang bisa dipanen dalam waktu singkat. Selain itu, penting juga memastikan sistem drainase dan irigasi berfungsi optimal agar air tidak menggenangi lahan terlalu lama.

Menurut Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Dr. Andi Nur Alamsyah, ketahanan sektor pertanian harus dibangun melalui pendekatan berbasis teknologi dan edukasi. “Kami sedang memperluas pelatihan sistem pertanian adaptif agar petani lebih siap menghadapi tantangan iklim seperti curah hujan tidak menentu, kekeringan, dan suhu ekstrem,” katanya.

Sistem pertanian adaptif yang dimaksud meliputi pengelolaan lahan secara presisi, pemanfaatan varietas unggul tahan iklim, serta penggunaan teknologi prediksi cuaca berbasis aplikasi digital. Edukasi kepada petani tentang pola tanam yang fleksibel dan efisiensi penggunaan air menjadi bagian penting dari strategi jangka panjang.

Selain itu, pemerintah perlu memperkuat sistem peringatan dini berbasis wilayah, sehingga petani bisa segera mengambil langkah antisipasi begitu ada potensi cuaca ekstrem. Hal ini dapat dilakukan melalui sinergi antara BMKG, dinas pertanian daerah, dan kelompok tani.

“Informasi prakiraan cuaca harus sampai ke petani paling lambat 3 hari sebelum kejadian. Jadi mereka bisa menunda penanaman atau memanen lebih awal,” ujar Dwikorita.

Dari sisi pendampingan, penyuluh pertanian lapangan (PPL) harus dibekali pemahaman iklim yang cukup agar bisa menjadi jembatan informasi antara pemerintah dan petani. Pemerintah daerah pun harus memperkuat keberadaan pos-pos PPL di setiap kecamatan, terutama di sentra produksi pangan.

Petani juga didorong untuk menerapkan pertanian berkelanjutan yang lebih tahan terhadap tekanan iklim. Konsep agroekologi seperti rotasi tanaman, penggunaan pupuk organik, dan konservasi tanah dapat meningkatkan resilien pertanian terhadap cuaca buruk.

Untuk jangka panjang, pemerintah disarankan mengalokasikan anggaran khusus untuk membangun infrastruktur pertanian tahan iklim, seperti embung, sumur resapan, dan kanal air hujan. Hal ini penting guna memastikan ketersediaan air pada musim kering dan menghindari banjir saat musim hujan.

Selain itu, asuransi pertanian berbasis indeks iklim bisa menjadi solusi bagi petani untuk meminimalisir kerugian akibat gagal panen. Saat ini, program asuransi pertanian masih belum menjangkau semua petani, terutama di daerah terpencil.

“Kami berharap dukungan anggaran dari pemerintah pusat bisa memperluas jangkauan asuransi ini. Petani tidak boleh lagi menanggung kerugian sendirian,” ujar Dr. Iwan Taruna.

Dengan kompleksitas tantangan yang dihadapi sektor pertanian saat ini, sinergi antara berbagai pihak menjadi sangat penting. Pemerintah, lembaga riset, penyuluh, dan petani harus bersatu dalam sistem pertanian yang lebih adaptif dan berkelanjutan.

Pesan utamanya jelas: jangan biarkan petani berjalan sendiri. Di tengah perubahan iklim yang kian ekstrem, petani membutuhkan dukungan nyata dan terus-menerus agar tetap bisa memproduksi pangan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index