JAKARTA — Peluang kerja sama strategis antara Indonesia dan China dalam sektor energi terbarukan semakin terbuka lebar. Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai kedua negara memiliki kepentingan dan potensi yang saling melengkapi, khususnya dalam pengembangan ekosistem teknologi energi surya. Oleh karena itu, IESR mengusulkan sebuah inisiatif penting bernama China-Indonesia Solar Partnership sebagai bentuk kemitraan yang konkret dan terarah di sektor energi hijau.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menegaskan bahwa kemitraan ini akan menjadi langkah strategis yang saling menguntungkan. “Kemitraan ini diharapkan menjadi bagian rencana kemitraan baru kedua negara dan dapat segera diresmikan pada tahun ini,” ujar Fabby dalam acara High-Level Dialogue: Advancing Indonesia-China Cooperation on Clean Energy and Green Development yang digelar di Beijing.
Inisiatif ini, menurut Fabby, akan menggabungkan kekuatan teknologi China dalam produksi sel surya dengan potensi geografis dan kebutuhan energi Indonesia, terutama dalam membangun industri teknologi hijau yang berkelanjutan. Ia menyebut, pengembangan sektor ini tidak hanya penting untuk mempercepat transisi energi nasional, tetapi juga berpeluang menjadi motor ekonomi baru melalui pengembangan manufaktur energi bersih dan peningkatan ekspor teknologi energi terbarukan.
Ekosistem Energi Surya sebagai Poros Kerja Sama
Dalam paparannya, Fabby merinci komponen utama dari inisiatif China-Indonesia Solar Partnership, antara lain:
-Produksi teknologi sel dan modul surya generasi terbaru.
-Elektrifikasi kawasan kepulauan Indonesia melalui pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan sistem penyimpanan energi (Battery Energy Storage System/BESS).
-Penggantian pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dengan energi bersih di wilayah-wilayah terpencil.
-Riset gabungan pengembangan teknologi PLTS yang sesuai dengan iklim tropis Indonesia.
-Pendanaan hijau untuk manufaktur dan rantai pasok PLTS.
-Kolaborasi dalam perdagangan karbon dari proyek PLTS skala besar.
IESR meyakini bahwa pemanfaatan energi surya secara luas, jika dibarengi dengan peningkatan penggunaan sistem penyimpanan energi dan modernisasi jaringan listrik, merupakan solusi paling efisien dan terjangkau untuk mendekarbonisasi sektor kelistrikan nasional. “IESR percaya bahwa pemanfaatan potensi energi surya secara besar-besaran, dibarengi dengan penggunaan penyimpanan energi (energy storage) dan modernisasi jaringan listrik, merupakan jalur dekarbonisasi sektor kelistrikan yang paling cepat dan hemat biaya (cost-effective),” tegas Fabby.
Kolaborasi Dua Negara Besar untuk Masa Depan Hijau
Fabby juga menekankan pentingnya posisi strategis Indonesia dan China sebagai dua kekuatan ekonomi besar dunia dan sekaligus pengemisi karbon yang signifikan. Menurutnya, kedua negara memegang tanggung jawab moral untuk mengambil peran sebagai pemimpin global dalam mitigasi krisis iklim dan percepatan transisi energi.
“Sebagai pemimpin global dalam pengembangan energi terbarukan, China dapat membantu Indonesia dalam hal investasi infrastruktur dan pembangunan industri teknologi energi terbarukan, pengembangan kapasitas kelembagaan, dan mendukung dekarbonisasi industri pengolahan mineral dan hilirisasi,” katanya.
Acara dialog tingkat tinggi ini diselenggarakan oleh IESR dengan dukungan dari Kedutaan Besar RI di China, BRI Green Development Coalition (BRIGC), World Resources Institute (WRI) China, dan Chinese Renewable Energy Industries Association (CREIA).
Peluang Investasi dan Penguatan Industri Hijau
Wakil Kepala Perwakilan RI di Beijing, Parulian Silalahi, juga memberikan pernyataan penting dalam forum tersebut. Ia menilai bahwa transisi energi tidak semata tentang pengurangan emisi karbon, tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru, termasuk lapangan kerja dan investasi asing.
“Transisi energi ini bukan hanya untuk mengurangi emisi, tapi juga menciptakan banyak lapangan kerja baru dan peluang investasi,” ujarnya.
Ia menyebut bahwa beberapa perusahaan internasional telah menaruh kepercayaan pada sektor energi terbarukan Indonesia. Di antaranya adalah Trina Solar dari China dan SEG Solar dari Amerika Serikat, yang telah membangun fasilitas manufaktur panel surya di Jawa Tengah.
Parulian menambahkan bahwa kemampuan teknologi dan skala produksi China memberi negara tersebut peluang untuk lebih dari sekadar pemasok. “China dengan kemampuan teknologi dan produksinya di bidang energi terbarukan, memiliki peluang besar. Bukan hanya sebagai pemasok suku cadang, tetapi juga untuk membangun rantai pasok terintegrasi di Indonesia,” ucapnya. Ia yakin bahwa langkah ini akan mempercepat transisi energi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di kawasan Asia Tenggara secara keseluruhan.
Peran Perusahaan China dalam Kolaborasi Energi
Dukungan terhadap kerja sama strategis ini juga datang dari Direktur Eksekutif BRI Green Development Institute, Zhang Jianyu, yang menyampaikan bahwa krisis iklim adalah ancaman global yang paling nyata, dan negara berkembang cenderung menanggung beban paling berat.
“Indonesia dan China dapat bersatu dalam kerja sama energi terbarukan untuk mitigasi krisis iklim, dan terbuka terhadap kolaborasi global tanpa pengecualian,” ujar Zhang.
Ia menyoroti peran vital perusahaan-perusahaan energi terbarukan dari China seperti JA Solar, Trina Solar, dan Jinko Solar dalam menyediakan panel surya dan keahlian teknis yang sangat dibutuhkan dalam pengembangan proyek-proyek energi bersih di Indonesia.
Energi sebagai Poros Strategis Masa Depan
Inisiatif China-Indonesia Solar Partnership menjadi salah satu tonggak penting dalam penguatan hubungan bilateral kedua negara, sekaligus mendorong percepatan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Dengan target netral karbon dan kebutuhan besar akan penggantian energi fosil, kerja sama ini menjadi sinyal positif bagi pertumbuhan ekonomi hijau dan investasi berkelanjutan.
IESR menilai bahwa kemitraan ini bukan hanya tentang transfer teknologi, tetapi juga menyangkut pembangunan kapasitas SDM, peningkatan tata kelola energi, hingga integrasi sektor energi dengan sektor industri dan ekonomi lokal. Oleh karena itu, percepatan realisasi inisiatif ini dinilai sangat strategis untuk menjawab tantangan masa depan sekaligus memperkuat posisi Indonesia di tengah peta energi global yang kian kompetitif.
Sebagaimana ditegaskan Fabby Tumiwa, “Kerja sama strategis kedua negara harus diarahkan untuk mempercepat transisi energi, pengembangan ekonomi hijau dan mengatasi tantangan iklim global.”
Dengan dukungan dari berbagai lembaga dan pihak swasta, inisiatif ini diharapkan segera direalisasikan sebagai bagian dari langkah nyata memperkuat ketahanan energi nasional, menciptakan iklim investasi hijau, dan mempercepat terwujudnya Indonesia yang lebih berkelanjutan. Energi bersih bukan lagi sekadar opsi, melainkan kebutuhan mutlak di tengah perubahan iklim dan tuntutan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.