JAKARTA – Pemerintahan mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menunjukkan arah kebijakan energinya yang pro-fosil. Dalam langkah terbarunya, Gedung Putih dikabarkan tengah berupaya mengubah prioritas kerja Kantor Program Pinjaman Departemen Energi AS (Loan Programs Office/LPO) agar lebih memfokuskan pembiayaannya pada proyek minyak dan gas bumi.
Langkah ini diungkapkan secara langsung oleh Jarrod Agen, penasihat utama Trump sekaligus Wakil Asisten Presiden dan Direktur Eksekutif Dewan Dominasi Energi Nasional, dalam konferensi energi yang diselenggarakan oleh Politico.
“Salah satu masalah besar adalah, di masa lalu kantor program pinjaman telah digunakan untuk banyak proyek energi terbarukan ini,” ujar Agen, menyinggung dominasi energi hijau dalam portofolio LPO selama pemerintahan Presiden Joe Biden.
Fokus Baru: Energi Fosil dan Nuklir
Menurut Agen, arah kebijakan LPO seharusnya berubah secara signifikan. Kantor ini, yang dalam beberapa tahun terakhir tumbuh pesat dan memegang kapasitas pinjaman serta jaminan ratusan miliar dolar, seharusnya menjadi instrumen strategis bagi ekspansi energi fosil AS, bukan sekadar pembiayaan proyek-proyek terbarukan.
“Kami ingin berinvestasi lebih banyak dan memprioritaskan proyek-proyek yang terkait dengan minyak dan gas, serta proyek terkait nuklir,” tegas Agen.
LPO awalnya dirancang untuk membiayai proyek-proyek energi inovatif dan berdampak besar yang kesulitan mendapatkan akses pendanaan dari lembaga keuangan konvensional, terutama proyek-proyek yang dianggap terlalu berisiko atau terlalu baru dari sisi teknologi.
Namun, di bawah bayang-bayang kebijakan energi Trump, fungsi ini akan digeser untuk memperkuat dominasi energi fosil AS, yang selama pemerintahan sebelumnya menjadi pilar utama pembangunan ekonomi nasional.
Strategi Dominasi Energi Trump
Dewan Dominasi Energi Nasional adalah institusi baru yang dibentuk kembali oleh kubu Trump sebagai bagian dari strategi kampanyenya menjelang pemilihan presiden 2024. Dewan ini secara eksplisit bertujuan meningkatkan kapasitas produksi minyak dan gas AS ke tingkat tertinggi, sembari memangkas berbagai regulasi yang selama ini membatasi aktivitas industri bahan bakar fosil.
“Trump memprioritaskan kemandirian energi nasional sebagai isu utama. Strategi ini mencakup dukungan penuh terhadap sektor minyak dan gas, termasuk revisi kebijakan pinjaman pemerintah,” ujar analis energi dari Washington Institute, Rebecca Miles, dalam wawancara terpisah.
Di bawah pemerintahan Trump sebelumnya, AS sempat mencatat rekor produksi minyak dan gas domestik, didorong oleh deregulasi besar-besaran serta insentif fiskal bagi pelaku industri migas. Kembalinya strategi tersebut diyakini akan memperkuat posisi AS di pasar energi global.
Kontras dengan Kebijakan Biden
Langkah yang diusulkan ini menciptakan kontras tajam dengan pendekatan pemerintahan Biden yang menjadikan transisi energi hijau sebagai agenda utama. Di bawah Biden, LPO telah menjadi salah satu alat utama untuk mendorong proyek energi bersih, termasuk kendaraan listrik, tenaga surya, angin, serta teknologi penyimpanan energi dan hidrogen.
Selama masa jabatan Biden, LPO telah memainkan peran penting dalam membiayai berbagai proyek inovatif seperti pabrik baterai EV (electric vehicle), pengembangan teknologi hidrogen hijau, dan bahkan penangkapan karbon (carbon capture) dari pembangkit listrik berbasis batu bara.
Namun dengan usulan Trump yang ingin merombak prioritas lembaga ini, maka dukungan finansial terhadap proyek energi bersih terancam dikurangi secara signifikan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor energi hijau dan aktivis lingkungan.
Dampak terhadap Industri dan Iklim
Jika rencana perubahan kebijakan ini terealisasi, proyek-proyek minyak dan gas akan memiliki akses pendanaan federal yang lebih luas dan cepat. Hal ini bisa mempercepat pembangunan infrastruktur migas seperti kilang, pipa, dan fasilitas LNG (gas alam cair).
Namun di sisi lain, pengalihan dana publik ke sektor bahan bakar fosil juga bisa memperbesar jejak karbon nasional AS dan memperlambat upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Kebijakan ini bertentangan dengan komitmen iklim yang disepakati AS dalam Perjanjian Paris.
Analis dari Lembaga Energi Bersih AS, David Linwood, menilai bahwa perubahan kebijakan ini akan mengirimkan sinyal negatif kepada pasar energi bersih. “Jika LPO digunakan untuk mendanai proyek migas, itu akan mengalihkan dana yang semestinya mendukung inovasi hijau,” ujarnya.
Perubahan di Tengah Kompetisi Global
Kebijakan energi tidak hanya berdampak domestik, tetapi juga mempengaruhi posisi AS dalam kompetisi geopolitik energi global. Sementara Eropa dan China mempercepat investasi di energi terbarukan, perubahan haluan ke arah energi fosil justru bisa memperlemah kepemimpinan AS dalam transisi energi global.
Namun, bagi kelompok pendukung energi fosil dan sebagian pelaku industri migas, arah kebijakan ini justru dipandang sebagai strategi realistis untuk memperkuat ketahanan energi nasional.
“Tidak semua negara siap sepenuhnya beralih ke energi terbarukan dalam waktu dekat. Mengamankan pasokan minyak dan gas domestik tetap penting bagi stabilitas ekonomi dan nasional,” ujar CEO perusahaan migas independen di Texas, Harvey Dean, dalam pernyataan persnya.
Dengan pernyataan resmi dari Jarrod Agen, langkah pemerintahan Trump untuk mengarahkan ulang LPO menjadi alat pendukung industri energi fosil tampak semakin nyata. Pergeseran kebijakan ini menunjukkan betapa tajamnya perbedaan visi antara pemerintahan sebelumnya dengan administrasi Biden dalam hal arah energi masa depan.
Pertarungan politik menjelang pemilihan presiden mendatang dipastikan akan kembali menjadikan kebijakan energi sebagai salah satu isu utama, dengan pilihan antara transisi energi bersih dan kelanjutan eksploitasi energi fosil sebagai dua kutub yang semakin berseberangan.