JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Komisi VII yang membidangi energi dan sumber daya mineral menyatakan dukungan penuh terhadap langkah tegas pemerintah dalam mencabut empat izin usaha tambang di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya. Langkah ini dinilai sebagai bentuk keberpihakan negara terhadap perlindungan lingkungan dan penegakan hukum di sektor sumber daya alam.
Pemerintah melalui Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) resmi mencabut izin usaha pertambangan (IUP) milik empat perusahaan tambang yang beroperasi di Raja Ampat, yakni PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham. Hanya satu perusahaan, PT Gag Nikel, yang masih diizinkan melanjutkan operasi karena lokasi tambangnya disebut tidak berada dalam kawasan Geopark Raja Ampat.
Ketua Komisi VII DPR RI, Bambang Patijaya, menyatakan bahwa keputusan pemerintah mencabut empat IUP tersebut patut diapresiasi. Ia menilai pemerintah telah menempuh proses yang sesuai aturan dan merespons keresahan masyarakat secara cepat.
“Kami memberikan apresiasi kepada pemerintah yang sudah melakukan tahapan-tahapan sesuai dengan regulasi yang berlaku,” ujar Bambang saat ditemui di kompleks parlemen, Jakarta Pusat.
Lebih lanjut, Bambang menegaskan bahwa pencabutan izin usaha tambang tidak boleh berhenti hanya pada penghentian aktivitas. Ia menuntut agar perusahaan-perusahaan yang izinnya telah dicabut tetap wajib menjalankan tanggung jawab pemulihan lingkungan akibat aktivitas tambangnya selama ini.
“Tidak hanya sebentar-sebentar dicabut, kemudian kabur gitu loh. Tetapi dia harus melakukan pemulihan,” tegasnya.
Politikus Partai Golkar itu menambahkan bahwa lokasi bekas tambang harus segera direhabilitasi dan dihijaukan kembali. Selain itu, kerusakan infrastruktur lingkungan, seperti jebolnya bendungan penampungan limbah tambang, harus diperbaiki sesegera mungkin agar tidak menimbulkan dampak lebih besar bagi ekosistem di sekitarnya.
Perlu Kajian Serius dan Tata Kelola yang Lebih Ketat
Anggota Komisi VII DPR lainnya, Ratna Juwita Sari dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), juga menyoroti pentingnya pembenahan menyeluruh dalam tata kelola sektor pertambangan nasional. Menurutnya, pencabutan izin di Raja Ampat seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk lebih berhati-hati dan memperketat prosedur penerbitan izin tambang, terutama di wilayah-wilayah yang memiliki nilai ekologis tinggi.
“Pemerintah tidak boleh gegabah dalam menerbitkan izin tambang. Setiap izin harus melalui kajian mendalam, baik dari aspek lingkungan, sosial, maupun ekonomi," ujar Ratna dalam pernyataan resminya.
Ia menegaskan bahwa pengambilan keputusan di sektor ini harus mempertimbangkan dampak jangka panjang. Tanpa kajian yang matang, potensi kerusakan permanen terhadap ekosistem bisa sangat besar. Ia juga mendorong pemerintah meningkatkan transparansi serta membuka ruang partisipasi publik dalam proses penerbitan izin tambang.
“Serta memperkuat pengawasan terhadap kegiatan tambang yang sudah berjalan agar tidak terjadi pelanggaran di lapangan,” tambah Ratna.
Alasan Pencabutan Izin: Pelanggaran Lingkungan dan Lokasi dalam Kawasan Geopark
Keputusan pencabutan empat IUP tersebut diumumkan secara langsung oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, di Istana Kepresidenan, Jakarta. Ia menjelaskan bahwa pencabutan dilakukan karena ditemukan pelanggaran terhadap aturan lingkungan hidup dan karena lokasi tambang berada di dalam kawasan Geopark Raja Ampat, yang seharusnya dilindungi.
“Alasan pencabutan atas penyelidikan LHK karena melanggar aturan lingkungan. Yang kedua, kawasan perusahaan ini kita masuk kawasan geopark,” kata Bahlil.
Tekanan dari Masyarakat Sipil dan Aktivis Lingkungan
Isu tambang di Raja Ampat menjadi sorotan luas setelah muncul protes keras dari Greenpeace Indonesia dan Aliansi Jaga Alam Raja Ampat. Kedua organisasi ini menuding adanya pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang secara tegas melarang adanya kegiatan pertambangan di pulau kecil dengan ekosistem yang sensitif.
Dalam laporan dan video yang dirilis oleh Greenpeace, terlihat aktivitas pembukaan lahan secara masif di tengah pulau yang diduga menjadi lokasi tambang aktif. Analisis mereka menunjukkan lebih dari 500 hektare hutan telah mengalami kerusakan akibat kegiatan tambang. Selain deforestasi, aktivitas ini juga menyebabkan sedimentasi yang membahayakan terumbu karang serta kehidupan laut di sekitarnya.
“Tambang di wilayah sensitif seperti Raja Ampat ini bukan hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengancam sumber penghidupan masyarakat lokal yang bergantung pada laut dan hutan,” ujar juru kampanye lingkungan Greenpeace Indonesia dalam pernyataan tertulisnya.
Greenpeace juga menyuarakan kekhawatiran bahwa meskipun izin telah dicabut, pemerintah bisa saja kembali menerbitkan izin baru di masa mendatang. Oleh karena itu, mereka mendesak agar wilayah-wilayah bernilai ekologis tinggi seperti Raja Ampat dikecualikan secara permanen dari perizinan tambang.
Harapan Pemulihan dan Reformasi Sektor Pertambangan
Langkah tegas pemerintah dan desakan dari DPR untuk memulihkan kerusakan lingkungan membuka peluang untuk reformasi mendalam dalam tata kelola pertambangan nasional. Pemerintah didorong untuk menetapkan batas-batas yang jelas antara wilayah konservasi dan area eksploitasi ekonomi, serta memastikan bahwa seluruh proses izin dilandasi prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan.
Selain itu, tanggung jawab lingkungan perusahaan tambang perlu ditegaskan melalui kewajiban reklamasi dan pasca-tambang yang wajib dijalankan meski izinnya telah dicabut. Pengawasan independen, keterlibatan masyarakat lokal, serta ketegasan dalam penegakan hukum harus menjadi pilar utama dalam menjaga lingkungan dari dampak destruktif eksploitasi sumber daya alam.
Raja Ampat yang dikenal sebagai salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia kini kembali dihadapkan pada ujian. Keputusan pemerintah dan tekanan publik yang terus menguat menjadi harapan bahwa ekosistem unik ini bisa diselamatkan dan tidak menjadi korban kerakusan industri tambang.
Dengan fokus pada perusahaan tambang, tata kelola yang bertanggung jawab, dan pentingnya perlindungan lingkungan, kasus di Raja Ampat diharapkan menjadi preseden penting bagi seluruh kegiatan pertambangan di Indonesia ke depan.