Pendidikan

Omnibus Law RUU Pendidikan, Peluang Perbaikan atau Ancaman Baru bagi Masa Depan Pendidikan Nasional?

Omnibus Law RUU Pendidikan, Peluang Perbaikan atau Ancaman Baru bagi Masa Depan Pendidikan Nasional?
Omnibus Law RUU Pendidikan, Peluang Perbaikan atau Ancaman Baru bagi Masa Depan Pendidikan Nasional?

JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) kembali mengangkat isu strategis yang menimbulkan perdebatan luas: penyusunan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan. Wacana ini disampaikan Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen), Atip Patipulhayat, yang menyatakan bahwa rancangan undang-undang tersebut akan menggabungkan sejumlah regulasi utama pendidikan menjadi satu kerangka hukum terpadu.

“Penyatuan ini akan menggabungkan sejumlah undang-undang terkait pendidikan mulai dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, UU Guru dan Dosen, UU Pendidikan Tinggi, dan UU Pesantren,” ujar Atip saat menghadiri rapat di Gedung Parlemen.

Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya menyederhanakan regulasi yang selama ini dianggap terfragmentasi dan tumpang tindih. Namun, niat baik pemerintah ini disambut dengan kritik tajam dari para akademisi, praktisi pendidikan, hingga organisasi profesi guru.

Kritik terhadap Konsep dan Implementasi Omnibus Law Pendidikan

Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) sekaligus Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), Prof. M. Solehuddin, mengingatkan bahwa penyusunan Omnibus Law harus sangat hati-hati agar tidak merusak sistem yang sudah ada.

“Ada beberapa kelemahan dalam wacana ini, salah satunya adalah konsep dan fungsi pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) yang tidak diatur secara jelas. Hal ini berpotensi membuat tujuan, konten kurikulum, pembelajaran, dan profil lulusan dilepasliarkan begitu saja kepada penyusun kurikulum,” tegas Solehuddin.

Lebih lanjut, ia menilai bahwa sistem pendidikan nasional saat ini kurang responsif terhadap dinamika global dan kemajuan teknologi. “Kurikulum kita masih terlalu terstruktur dan fokus pada kompetensi yang statis, bukan pada pembentukan kapabilitas dan kapasitas belajar sepanjang hayat,” tambahnya.

Pemisahan jalur pendidikan yang terpisah-pisah, seperti pendidikan formal, nonformal, dan pesantren, juga menjadi kendala tersendiri dalam membangun model pendidikan yang holistik.

Inkonsistensi Kebijakan: Masalah Lama yang Tak Kunjung Usai

Isu penting lainnya dalam wacana penyusunan Omnibus Law Pendidikan adalah konsistensi arah dan kebijakan pendidikan nasional. Hingga kini, perubahan pemerintahan hampir selalu diiringi dengan pergantian kurikulum, yang kerap kali membingungkan tenaga pendidik dan peserta didik.

Hal ini tercermin dari skor Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia yang masih berada di peringkat ke-69 dari 80 negara pada tahun 2022. Di tingkat ASEAN, Indonesia hanya berada di posisi ke-6 dari 8 negara, tertinggal jauh dari Vietnam yang menempati posisi ke-2.

“Kegagalan menaikkan skor PISA mencerminkan inkonsistensi kebijakan kurikulum. Kurikulum tidak seharusnya diubah karena pergantian menteri, tapi karena evaluasi komprehensif,” ungkap Prof. Solehuddin.

Pendidikan yang ideal membutuhkan keberlanjutan, bukan sekadar kebijakan politis. Oleh karena itu, Omnibus Law Pendidikan perlu dirancang dengan fondasi evaluatif, bukan reaktif.

Perlindungan Hukum dan Kesejahteraan Guru Masih Terabaikan

Salah satu titik krusial dalam wacana revisi UU Pendidikan melalui Omnibus Law adalah jaminan perlindungan hukum dan kesejahteraan guru. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus kriminalisasi terhadap guru meningkat.

Beberapa kasus tragis menjadi sorotan publik, seperti Akbar Santosa, guru agama di SMKN 1 Taliwang, yang harus menghadapi tuntutan ganti rugi Rp50 juta karena menghukum murid yang tidak shalat. Ada pula Sularno, guru honorer di SDN Naik, Musi Rawas, yang divonis enam bulan penjara dan didenda Rp60 juta karena menegur murid yang tidak mengerjakan tugas. Di Bengkulu, guru SMA 7 Rejang Lebong, Zaharman, bahkan menjadi korban kekerasan fisik oleh orang tua murid setelah menindak pelajar yang merokok di lingkungan sekolah.

Kondisi ini memperlihatkan betapa rentannya posisi guru dalam sistem hukum kita saat ini. Perlindungan hukum terhadap tenaga pendidik harus dimasukkan secara eksplisit dalam revisi UU Pendidikan.

Di sisi lain, kesejahteraan guru di Indonesia juga masih jauh dari layak. Dibandingkan negara ASEAN lain, gaji guru di Indonesia tergolong rendah. Guru di Singapura bisa menerima Rp560 juta hingga Rp1,1 miliar per tahun, sementara guru di Indonesia hanya mendapatkan Rp34,56 juta hingga Rp70 juta per tahun.

“Kita sungguh miris melihat masih banyak guru yang hidup jauh dari standar kelayakan hidup. Ada guru yang harus nyambi ojek, berjualan, bahkan memulung demi bertahan hidup,” kata Prof. Solehuddin.

Situasi ini diperparah oleh kompleksitas status guru: ada guru PNS/ASN, guru PPPK, hingga guru honorer. Negara-negara maju tidak membeda-bedakan status guru. Mereka menggunakan istilah tunggal: “guru”. Klasifikasi seperti ini tidak hanya memperkeruh birokrasi, tapi juga menciptakan kesenjangan kesejahteraan.

Peran LPTK dan Upaya Meningkatkan Kualitas Guru

Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai penghasil tenaga pendidik juga menjadi sorotan. Fungsi LPTK saat ini dinilai semakin tidak jelas, dan sebagian besar guru baru tidak lagi dilahirkan dari institusi ini.

“Fungsi LPTK sebagai lembaga yang melahirkan guru harus dikembalikan. Kita butuh proses pendidikan guru yang terstandar dan sesuai kebutuhan nasional,” ujar Solehuddin.

Dalam kerangka ini, pemerintah perlu menyusun program peningkatan kompetensi guru secara periodik di semua jenjang pendidikan. Pembenahan ini juga mencakup pemetaan kebutuhan guru secara nasional agar distribusi dan kualitas pengajar dapat lebih merata.

Momentum Strategis dalam Perbaikan Pendidikan Nasional

Wacana Omnibus Law RUU Pendidikan sejatinya dapat menjadi momentum penting untuk mereformasi sistem pendidikan nasional secara menyeluruh. Namun, keberhasilan inisiatif ini sangat bergantung pada partisipasi publik, transparansi proses penyusunan, dan keberanian pemerintah untuk menempatkan kepentingan jangka panjang di atas kepentingan politik sesaat.

Pendidikan bukan sekadar soal regulasi, tetapi fondasi utama pembangunan sumber daya manusia. Tanpa arah yang jelas, perlindungan terhadap guru, dan konsistensi kebijakan, kualitas pendidikan nasional akan terus tertinggal.

“Tidak ada jalan lain. Kita harus punya keberanian untuk memperbaiki pendidikan nasional. Dan saat inilah momentum yang tepat, dalam revisi UU Sistem Pendidikan Nasional,” tegas Prof. Solehuddin.

Dengan berbagai persoalan mendasar yang menyelimuti sektor pendidikan saat ini, publik berharap Omnibus Law RUU Pendidikan tidak hanya menjadi tumpukan pasal baru, tetapi menjadi tonggak perbaikan yang nyata dan berpihak kepada masa depan bangsa. Karena nasib generasi mendatang sangat ditentukan oleh keberanian kita membenahi pendidikan hari ini.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index