Minyak

Minyak Jelantah Bekas Program MBG Dipertanyakan, Publik Desak Transparansi Dana

Minyak Jelantah Bekas Program MBG Dipertanyakan, Publik Desak Transparansi Dana
Minyak Jelantah Bekas Program MBG Dipertanyakan, Publik Desak Transparansi Dana

JAKARTA — Sorotan terhadap pemanfaatan minyak jelantah dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali mencuat, menyusul pernyataan dari Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, yang mengungkapkan adanya proses penjualan minyak goreng bekas pakai dari dapur-dapur program tersebut.

Pertanyaan besar pun mengemuka: ke mana uang hasil penjualan minyak jelantah itu mengalir? Apakah benar dimanfaatkan kembali untuk kepentingan peningkatan gizi anak-anak penerima program MBG, atau justru dana itu tidak terpantau jelas penggunaannya?

Isu ini pertama kali mencuat setelah pemberitaan di media nasional, seperti Kompas, serta reaksi dari sejumlah anggota DPR yang meminta kejelasan atas pengelolaan dana dari penjualan limbah minyak bekas tersebut. Pasalnya, skala penggunaan minyak goreng dalam program MBG sangat masif.

Menurut data dari Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), rata-rata konsumsi minyak goreng dalam satu bulan mencapai 800 liter per satuan pelayanan. Dari jumlah itu, sekitar 550 liter dihasilkan sebagai minyak jelantah, atau minyak goreng bekas yang tidak lagi layak konsumsi.

Jika dihitung secara ekonomis, dengan asumsi harga jual Rp7.000 per liter, maka satu SPPG saja dapat memperoleh hingga Rp3,85 juta per bulan hanya dari penjualan minyak jelantah. Ini tentu bukan angka kecil, apalagi bila dikalikan dengan jumlah dapur MBG yang tersebar secara nasional.

Sorotan DPR dan Tuntutan Transparansi

Merespons situasi tersebut, anggota DPR RI Nurhadi menekankan pentingnya pelaporan terbuka dalam pengelolaan hasil penjualan minyak bekas tersebut. Ia mengingatkan bahwa dana dari hasil pengolahan limbah program negara seperti MBG harus benar-benar bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. "Kami tidak ingin uang ini masuk ke kantong yang salah. Harus jelas, untuk apa dan siapa yang mengelola," ujar Nurhadi sebagaimana diberitakan Kompas.

Pernyataan ini mencerminkan kekhawatiran bahwa program MBG yang dirancang untuk meningkatkan gizi anak-anak Indonesia, justru bisa disalahgunakan jika tidak diikuti dengan sistem transparansi yang baik.

Minyak Jelantah Punya Nilai Ekonomi

Meski secara kesehatan minyak jelantah tidak disarankan untuk dikonsumsi kembali, limbah ini ternyata menyimpan potensi ekonomi. Minyak jelantah banyak diburu pelaku industri untuk diolah kembali menjadi produk lain, mulai dari biodiesel, lilin, sabun, hingga pelumas industri.

Tak sedikit perusahaan atau pengumpul minyak jelantah yang membentuk rantai bisnis limbah minyak dengan skema yang terstruktur, bahkan bekerja sama dengan pelaku UMKM dan lembaga sosial.

Artinya, bila dikelola dengan akuntabilitas tinggi, minyak bekas dari dapur MBG justru bisa menjadi sumber pendapatan tambahan untuk menunjang keberlangsungan program, selama dana hasil penjualannya digunakan secara bertanggung jawab.

Risiko Kesehatan Bila Disalahgunakan

Namun di sisi lain, minyak jelantah juga membawa dampak negatif bila digunakan tidak semestinya. Penggunaan minyak goreng berulang kali berisiko menimbulkan senyawa berbahaya seperti akrolein dan radikal bebas, yang berpotensi memicu berbagai penyakit, termasuk gangguan pencernaan hingga kanker.

Bahkan, sejumlah studi menyebutkan bahwa konsumsi minyak bekas pakai yang sudah terdegradasi secara kimiawi bisa menyebabkan penumpukan plak pada pembuluh darah, serta berkontribusi terhadap meningkatnya kolesterol jahat (LDL).

Oleh karena itu, distribusi dan pemanfaatan minyak jelantah dari dapur MBG perlu dikontrol ketat agar tidak sampai disalahgunakan untuk konsumsi ulang, khususnya oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab di lapangan.

Desakan untuk Audit dan Mekanisme Pengawasan

Melihat potensi ekonomi sekaligus risiko kesehatan dari minyak jelantah, publik menuntut adanya audit menyeluruh terhadap pengelolaan limbah minyak goreng dari program MBG.

Mekanisme pengawasan dinilai perlu dibangun sejak dari proses pengumpulan, distribusi, hingga penjualan minyak jelantah, termasuk sistem pencatatan yang bisa diakses oleh lembaga pengawas dan masyarakat.

Langkah ini penting agar program MBG tidak hanya menjadi program unggulan di atas kertas, tetapi juga benar-benar menunjukkan komitmen akuntabilitas dan transparansi dalam seluruh rangkaian operasionalnya.

Apakah Dana Penjualan Dikembalikan ke Program?

Sampai saat ini, pihak Badan Gizi Nasional belum menjelaskan secara rinci ke mana dana hasil penjualan minyak bekas disalurkan. Pernyataan Dadan Hindayana hanya menyebutkan bahwa pihaknya menyadari potensi ekonomi dari minyak jelantah, namun tidak memberikan gambaran utuh tentang mekanisme pengelolaannya.

Ketiadaan informasi detail inilah yang kemudian memantik pertanyaan lebih luas, termasuk dari kalangan legislatif dan media.

Padahal, jika dana hasil penjualan dapat digunakan kembali untuk mendukung pengadaan bahan makanan tambahan, perbaikan fasilitas dapur, atau pelatihan bagi pengelola dapur, maka keberlanjutan program MBG akan makin kuat dan berdaya guna.

Kisah minyak jelantah bekas program MBG ini menjadi pengingat bahwa pengelolaan limbah dari program besar pemerintah harus dilakukan secara profesional, terbuka, dan akuntabel.

Minyak bekas bukan hanya soal limbah, tetapi juga menyangkut potensi ekonomi dan tanggung jawab publik. Tanpa pengawasan dan pelaporan yang jelas, manfaat yang diharapkan dari program seperti MBG bisa tergelincir oleh celah-celah ketidakjelasan yang bisa berujung pada penyalahgunaan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index