JAKARTA — Prospek peningkatan pasokan global kian menekan harga minyak mentah dunia. Sentimen pasar kini mulai bergeser, dari sebelumnya fokus pada ketegangan geopolitik, menjadi kekhawatiran terhadap lonjakan produksi dari negara-negara penghasil utama, khususnya OPEC+ dan Amerika Serikat.
Kontrak minyak mentah jenis Brent untuk pengiriman Agustus yang habis masa berlakunya pada Senin ditutup turun 16 sen atau 0,2% ke level US$67,61 per barel. Sementara kontrak Brent yang lebih aktif untuk September diperdagangkan di level US$66,74. Adapun harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) milik Amerika Serikat turut terkoreksi 41 sen atau 0,6% menjadi US$65,11 per barel, seperti dilansir Reuters.
Meski begitu, secara bulanan baik Brent maupun WTI tetap mencatat penguatan. Harga Brent naik sekitar 6% dan WTI melonjak 7% dibandingkan bulan sebelumnya. Namun, penurunan tajam yang terjadi pekan lalu menjadikannya periode terburuk sejak Maret 2023.
Salah satu faktor utama yang memicu pelemahan harga adalah stabilitas situasi di Timur Tengah. Ketegangan antara Israel dan Iran yang sempat mendongkrak harga minyak di atas US$80 per barel pada pertengahan Juni kini mereda setelah tercapainya gencatan senjata.
“Gencatan senjata yang dengan cepat direkayasa tampaknya cukup stabil, sehingga premi risiko pasokan yang sempat terbentuk terus terkikis dengan cepat,” ujar John Kilduff, mitra di Again Capital.
Seiring meredanya konflik, pasar kini memfokuskan perhatian pada pasokan. Data dari Badan Informasi Energi AS (EIA) mengungkapkan bahwa produksi minyak mentah di Amerika Serikat mencetak rekor tertinggi baru sebesar 13,47 juta barel per hari (bph) pada April 2025, meningkat tipis dari 13,45 juta bph pada Maret.
Kilduff menilai bahwa lonjakan produksi dari AS ikut memberi tekanan pada harga minyak di awal pekan. Ketersediaan pasokan global yang meningkat menimbulkan kekhawatiran akan potensi kelebihan pasokan dalam beberapa bulan ke depan.
Dari sisi lain, kelompok negara produsen minyak OPEC+ juga dikabarkan akan meningkatkan produksinya. Empat sumber internal OPEC+ yang dikutip Reuters menyebutkan bahwa aliansi tersebut berencana menambah pasokan sebesar 411.000 bph pada Agustus, setelah sebelumnya meningkatkan kuota bertahap sepanjang Mei hingga Juli.
Jika terealisasi, tambahan pasokan dari OPEC+ sepanjang tahun ini akan mencapai sekitar 1,78 juta bph atau lebih dari 1,5% dari total permintaan minyak global saat ini.
“Saya melihat tekanan pasokan ini masih belum sepenuhnya dihargai oleh pasar, sehingga membuat harga minyak mentah rentan terhadap pelemahan lebih lanjut,” kata Ole Hansen, Kepala Strategi Komoditas di Saxo Bank.
OPEC+ dijadwalkan akan mengadakan pertemuan lanjutan pada 6 Juli untuk merumuskan arah kebijakan pasokan jangka pendek, termasuk menilai kembali respons pasar terhadap peningkatan kuota.
Meskipun sejumlah negara OPEC telah mendapatkan izin peningkatan produksi, pelaksanaannya tidak sepenuhnya maksimal. Beberapa analis menyatakan bahwa produksi aktual tetap terbatas karena beberapa anggota kunci seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab hanya menaikkan produksi secara moderat, bahkan masih di bawah kuota yang diizinkan.
“Beberapa negara memang tidak segera menyerap seluruh kapasitas kuota tambahan mereka, jadi pasar masih melihat pasokan relatif ketat,” ungkap Giovanni Staunovo, analis dari UBS.
Data dari survei Reuters terhadap produksi OPEC menunjukkan bahwa kenaikan produksi di bulan Mei tetap terbatas karena adanya penyesuaian dari negara-negara yang sebelumnya melebihi batas kuota. Dengan kata lain, peningkatan pasokan tidak serta-merta berarti terjadi lonjakan besar di pasar, karena sebagian negara justru melakukan pemangkasan untuk menyeimbangkan kuota sebelumnya.
Selain itu, Kazakhstan juga diperkirakan akan mencatatkan produksi minyak yang melampaui target tahunannya sekitar 2%, berkat peningkatan output dari ladang minyak di Laut Kaspia. Estimasi tersebut mengacu pada laporan dari perusahaan energi milik negara, KazMunayGaz.
Dalam jangka menengah, ekspektasi terhadap harga minyak juga mengalami penyesuaian. Survei terhadap 40 ekonom dan analis yang dilakukan oleh Reuters pada bulan Juni memperkirakan rata-rata harga Brent sepanjang tahun 2025 akan berada di kisaran US$67,86 per barel, sedikit lebih tinggi dari proyeksi bulan sebelumnya sebesar US$66,98.
Sementara itu, rata-rata harga minyak WTI diperkirakan mencapai US$64,51 per barel pada 2025, meningkat dari estimasi bulan Mei sebesar US$63,35.
Meskipun fluktuasi harga terjadi dalam jangka pendek, pelaku pasar tetap mewaspadai arah kebijakan produsen besar seperti OPEC+ dan tingkat produksi di AS yang dapat mempengaruhi keseimbangan pasar global dalam waktu dekat.