Energi

Energi Dunia Tertekan, Pelayaran Nasional Dihantam Dampaknya

Energi Dunia Tertekan, Pelayaran Nasional Dihantam Dampaknya
Energi Dunia Tertekan, Pelayaran Nasional Dihantam Dampaknya

JAKARTA – Ketegangan geopolitik yang meluas di berbagai kawasan global kini menjalar ke sektor energi dan logistik, memberikan tekanan besar pada pelaku pelayaran nasional. Konflik yang terjadi bukan hanya menimbulkan lonjakan biaya, tapi juga mengancam efisiensi dan keberlanjutan rute distribusi energi dunia.

Mulai dari perang Rusia Ukraina, ketegangan antara Iran dan Israel, hingga rivalitas Amerika Serikat dan China, semua memberi dampak langsung pada jalur-jalur strategis pelayaran. Marcellus Hakeng, pengamat maritim dari Ikatan Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC), menegaskan bahwa gangguan di jalur penting seperti Selat Hormuz dan Laut Hitam telah menyebabkan lonjakan biaya logistik global.

“Selat Hormuz dan Laut Hitam adalah jalur utama perdagangan global. Ketika dua kawasan ini terganggu, dampaknya langsung terasa pada biaya logistik global. Kapal harus memutar rute, premi asuransi naik, dan harga bahan bakar kapal (bunker fuel) melonjak. Akibatnya, biaya pelayaran bisa naik 20% hingga 30%,” ungkapnya.

Volume angkutan minyak mentah dari Laut Hitam tercatat menurun lebih dari 40% sejak invasi Rusia ke Ukraina. Penurunan juga terjadi di Selat Hormuz, yang mengangkut sekitar 30% ekspor minyak dunia, dengan trafik kapal tanker energi menurun hingga 20% pada kuartal II-2025.

Sebagai negara net importir energi, Indonesia turut terkena imbas. Harga minyak yang tetap tinggi memaksa pemerintah menambah subsidi agar stabilitas dalam negeri tetap terjaga.

“Jika harga minyak bertahan di atas US$110 per barel, potensi pembengkakan subsidi bisa mencapai Rp75 triliun. Distribusi logistik ke wilayah timur Indonesia juga terganggu karena biaya pelayaran naik,” ujar Marcellus.

Di lapangan, operator kapal kecil dan menengah mulai mengurangi frekuensi atau menghentikan rute-rute yang dinilai tidak lagi ekonomis. Premi asuransi yang tinggi dan risiko di jalur konflik membuat kondisi ini semakin berat bagi pelaku kecil.

Namun, di tengah tekanan ini, peluang juga terbuka. Perusahaan logistik global mulai melirik jalur alternatif di Asia Tenggara dan Samudra Hindia. Posisi geografis Indonesia dinilai strategis, asal diikuti percepatan reformasi pelabuhan dan infrastruktur logistik.

“Pelabuhan seperti Patimban dan Kuala Tanjung bisa menjadi simpul logistik baru. Tapi tanpa efisiensi bongkar muat dan digitalisasi, kita bisa tertinggal dari Singapura atau Port Klang,” tegas Marcellus.

Marcellus menambahkan, intervensi fiskal dan kebijakan perlu dilakukan untuk mendukung pelayaran nasional, termasuk subsidi terbatas bagi kapal rakyat serta akses pembiayaan yang lebih efisien. Di level internasional, koordinasi di bawah IMO dan IEA penting untuk menjaga keamanan jalur pelayaran.

“Sistem peringatan dini dan kerja sama maritim regional juga harus diperkuat. Indonesia bisa mengambil peran aktif di ASEAN atau kerja sama Indo-Pasifik untuk menjaga stabilitas laut,” katanya.

Beberapa pelaku usaha justru melihat potensi pertumbuhan. Pek Swan Layanto dari Wintermar Offshore menyebut naiknya investasi hulu migas mendorong permintaan terhadap armada kapal subsea. Sementara Bani M. Mulia, Direktur Utama PT Samudera Indonesia Tbk, menyatakan bahwa meski penuh tantangan, perdagangan global tetap tumbuh.

“Penutupan Selat Hormuz secara teknis sangat sulit dilakukan. Fakta menunjukkan bahwa volume perdagangan sepanjang 2025 justru meningkat. Kami juga sudah mengantisipasi risiko geopolitik dengan strategi mitigasi operasional,” ujar Bani.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index