Bank Indonesia

Bank Indonesia dan Dinamika Sejarah Ekonomi Nasional

Bank Indonesia dan Dinamika Sejarah Ekonomi Nasional
Bank Indonesia dan Dinamika Sejarah Ekonomi Nasional

JAKARTA – Perjalanan panjang Bank Indonesia (BI) mencerminkan dinamika politik dan ekonomi nasional yang terus berkembang dari masa ke masa. Sebelum akhirnya berdiri sebagai bank sentral yang independen, BI telah melalui berbagai fase transformasi sejak awal berdirinya pada era pascakemerdekaan.

Dorongan kuat untuk memiliki bank sentral sendiri muncul dua tahun setelah Indonesia merdeka. Tepatnya pada tahun 1951, desakan publik untuk melepaskan ketergantungan dari sistem keuangan kolonial semakin menguat. Pemerintah menindaklanjuti hal itu dengan membentuk Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank (DJB).

Langkah konkret segera diambil. Negara secara bertahap membeli saham DJB hingga mencapai 97 persen kepemilikan. Proses itu dikukuhkan dengan lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia yang secara resmi menggantikan DJB Wet 1922. Sejak saat itu, Bank Indonesia resmi menjalankan peran sebagai bank sentral nasional mengakhiri warisan kolonial dalam sistem keuangan.

Namun, tanggung jawab BI pada masa awal tidak hanya terbatas pada urusan moneter. Ia berperan ganda: menjalankan fungsi bank komersial, menyalurkan kredit, dan menjadi bank sirkulasi. Sementara kebijakan moneter masih ditentukan oleh Dewan Moneter yang dipimpin Menteri Keuangan dan diikuti oleh Gubernur BI serta Menteri Perdagangan. BI hanya menjalankan keputusan tersebut.

Fungsi Berubah di Era Demokrasi Terpimpin

Memasuki era Demokrasi Terpimpin, peran Bank Indonesia berubah drastis. Presiden Soekarno menerapkan sistem Ekonomi Terpimpin yang turut memengaruhi struktur kelembagaan BI. Gubernur BI tidak lagi hanya menjadi pejabat teknis, melainkan duduk di kabinet sebagai Menteri Urusan Bank Sentral. Dewan Moneter dibubarkan, dan BI menjadi bagian dari struktur kekuasaan eksekutif.

Tahun 1965 menandai langkah ekstrem lain dalam sejarah BI dengan lahirnya konsep “Bank Berdjoang”. Seluruh bank milik negara dilebur ke dalam Bank Negara Indonesia (BNI). Berdasarkan Peraturan Presiden No. 17 Tahun 1965, BI diubah menjadi BNI Unit I, sementara bank-bank lainnya menjadi Unit II hingga V.

Struktur tunggal ini tidak bertahan lama. Tiga tahun kemudian, pada 1968, Pemerintah menerbitkan UU No. 13 Tahun 1968 yang mengembalikan status BI sebagai bank sentral sepenuhnya. BI tak lagi menjadi penyalur kredit dan keluar dari struktur BNI. Fungsinya difokuskan sebagai agen pembangunan, pemegang kas negara, dan pengatur moneter nasional. Di saat bersamaan, bank-bank lain juga dipisah kembali menjadi entitas mandiri melalui UU No. 21 dan 22 Tahun 1968.

Deregulasi dan Krisis: Peran Kunci di Era Orde Baru

Perjalanan BI memasuki babak baru di era Orde Baru, terutama ketika kebijakan deregulasi keuangan diperkenalkan. Pada 27 Oktober 1988, BI menerbitkan Paket Kebijaksanaan Deregulasi Perbankan atau lebih dikenal dengan sebutan Pakto 88 atau Pakto 27.

Melalui kebijakan ini, pemerintah membuka lebar pintu masuk bagi pendirian bank-bank baru. Perizinan dipermudah, sehingga bank swasta tumbuh pesat. Namun, kemudahan tersebut juga membawa risiko. Lemahnya pengawasan akhirnya memperparah dampak krisis moneter Asia pada 1997.

BI pun mengambil langkah-langkah keras untuk menahan keruntuhan sistem keuangan. Mulai dari menerapkan sistem kurs mengambang, menutup bank bermasalah, hingga melakukan restrukturisasi besar-besaran terhadap perbankan nasional.

Lahirnya Lembaga Independen Pascakrisis

Krisis moneter 1997-1998 menyadarkan banyak pihak akan pentingnya lembaga moneter yang kuat dan bebas dari intervensi politik. Sebagai respons, DPR RI mengesahkan UU No. 23 Tahun 1999, yang kemudian diperkuat lewat UU No. 3 Tahun 2004.

Undang-undang ini menegaskan bahwa Bank Indonesia adalah lembaga independen, bebas dari campur tangan pihak mana pun, termasuk pemerintah. Status independen ini menjadi landasan penting dalam memperkuat kredibilitas BI dalam menjaga kestabilan moneter dan sistem keuangan nasional.

Melalui payung hukum baru ini, tugas dan wewenang BI diperjelas. Termasuk di dalamnya kewenangan dalam pengaturan moneter dan pengawasan sistem pembayaran, serta peran aktif dalam menjaga stabilitas keuangan nasional.

Mandat Baru dan Transformasi Terkini

Transformasi kelembagaan BI terus berlanjut. Peran tradisionalnya dalam mengendalikan inflasi dan menjaga nilai tukar rupiah kini ditambah dengan mandat baru. Melalui UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), ruang gerak BI diperluas ke ranah makroprudensial.

Mandat ini menuntut BI untuk tidak hanya menjaga moneter tetap stabil, tetapi juga aktif memperkuat sektor keuangan agar lebih tangguh terhadap guncangan global. Sebagai respons, BI melakukan reformasi internal: struktur organisasi dirombak, sistem diperbarui, dan kapasitas diperkuat.

Upaya ini penting karena pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa hanya bertumpu pada kebijakan fiskal dan moneter. Diperlukan juga sektor keuangan yang inklusif, efisien, dan sehat.

Dari Masa ke Masa

Perjalanan panjang Bank Indonesia bukan sekadar rangkaian perubahan institusional. Ia mencerminkan respons strategis terhadap tantangan zaman. Dari lembaga warisan kolonial, menjadi bank sentral pembangunan, hingga kini berdiri sebagai penjaga stabilitas sistem keuangan nasional.

Dari masa ke masa, dari krisis ke krisis, Bank Indonesia terus bertransformasi. Menyesuaikan diri, memperbaiki kelembagaan, dan meneguhkan peran sebagai jangkar stabilitas ekonomi Indonesia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index