JAKARTA – Di tengah meningkatnya urgensi transisi energi dan pemanfaatan sumber daya terbarukan, energi panas bumi kembali jadi perbincangan hangat. Bukan soal potensi yang besar, tapi soal mengapa potensinya belum juga dimaksimalkan. Indonesia yang menyandang predikat sebagai negara dengan cadangan panas bumi terbesar di dunia, justru baru memanfaatkan sekitar 12 persen dari total potensinya.
Kondisi inilah yang menjadi sorotan Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API), Julfi Hadi, dalam forum internasional “14th ITB International Geothermal Workshop (IIGW) 2025” di Bandung. Julfi tidak hanya menyoroti minimnya capaian, tetapi juga menyerukan lahirnya paradigma baru untuk membalikkan situasi. “Sudah tiga dekade kita bicara panas bumi. Tapi kenapa baru 12 persen yang dimanfaatkan?” tanya Julfi dengan nada menggugah, memancing refleksi mendalam di hadapan peserta forum.
Julfi menyampaikan bahwa Indonesia membutuhkan lompatan berpikir—sebuah perubahan cara pandang dan pendekatan dalam memanfaatkan energi dari perut bumi. Baginya, upaya saat ini belum cukup. Potensi yang begitu besar hanya akan menjadi angka di atas kertas jika tidak ditopang oleh cara kerja yang baru.
Bukan Sekadar Energi, Tapi Pilar Industrialisasi Hijau
Dalam paparannya yang berjudul “Triggering Indonesia’s Geothermal Boom: Creating Value Through Updated Technology, Cost Optimization & New Revenue Stream Business”, Julfi mengusulkan strategi teknis dan finansial yang terintegrasi.
Paradigma baru yang ditawarkan tidak hanya menyentuh sisi teknis, tetapi juga membuka jalan untuk nilai tambah ekonomi. Ini termasuk pemanfaatan teknologi modular power plant, penggunaan electrical submersible pump, serta pengembangan skema pendapatan tambahan seperti co-generation dan industrialisasi kawasan berbasis panas bumi.
Ia melihat bahwa sektor ini bisa menjadi pendorong bukan hanya bagi ketahanan energi nasional, tetapi juga pemerataan kesejahteraan masyarakat sekitar. Maka, dalam konteks ini, panas bumi lebih dari sekadar energi ia bisa menjadi fondasi industrialisasi hijau Indonesia.
Momen Strategis dalam Peta Energi Nasional
Dalam momentum global yang sedang menuntut percepatan transisi energi, Julfi menilai bahwa Indonesia harus bergerak cepat. Visi Asta Cita yang dicanangkan pemerintah dinilai sangat mendukung arah tersebut. Namun menurutnya, implementasi di lapangan masih menghadapi banyak rintangan.
API sendiri mematok target ambisius: menyalip kapasitas panas bumi Amerika Serikat yang saat ini berada di angka 3,8 GW, bahkan melebihi target pemerintah sebesar 3,6 GW pada 2029. Tak berhenti di situ, organisasi ini juga membidik 7,8 GW kapasitas terpasang pada 2034.
Namun di balik ambisi tersebut, jalan yang ditempuh penuh tantangan dari risiko eksplorasi yang tinggi, biaya awal (capex) yang besar, hingga terbatasnya infrastruktur transmisi. “Staged development bisa menurunkan risiko eksplorasi,” ujar Julfi. Dengan pendekatan bertahap, pengembang akan lebih mudah mengelola arus kas proyek dan menekan risiko finansial.
Dorongan Teknologi dan Insentif
Salah satu hambatan utama dalam pengembangan energi panas bumi di Indonesia adalah tingginya biaya investasi awal dan operasional. Julfi menekankan pentingnya adopsi teknologi yang lebih efisien untuk mempercepat Commercial Operational Date (COD) serta mengurangi risiko keuangan yang tinggi di tahap awal proyek.
Saat ini, API bersama Kementerian ESDM tengah menyusun berbagai insentif baik fiskal maupun non-fiskal yang lebih realistis dan memberikan dampak konkret. “Kita sedang merancang insentif dan tarif yang workable,” jelas Julfi, menekankan bahwa skema ini harus benar-benar bisa diimplementasikan di lapangan.
Ia menilai bahwa jika model bisnis diperbarui dan ekosistem investasi diperluas, maka tingkat pengembalian (Internal Rate of Return/IRR) bisa meningkat, efisiensi produksi membaik, dan biaya bisa ditekan signifikan.
Supergrid, Game Changer Masa Depan Energi
Namun bagi Julfi, keberhasilan panas bumi tak cukup ditopang oleh teknologi dan insentif saja. Kunci utamanya ada pada pembangunan jaringan transmisi besar-besaran berskala nasional: supergrid. Menurutnya, inilah penentu utama agar panas bumi bisa menyatu dalam sistem ketahanan energi jangka panjang. “Kalau supergrid terwujud, panas bumi bisa jadi penggerak utama ketahanan energi nasional,” tegasnya.
Energi untuk Masyarakat, Bukan Sekadar Megawatt
Pentingnya peran masyarakat lokal juga menjadi sorotan. Julfi mengingatkan bahwa pembangunan energi tak boleh hanya fokus pada output energi saja. Kesejahteraan masyarakat sekitar harus menjadi bagian integral dari proyek-proyek energi panas bumi. “Kita harus aktif menunjukkan bahwa panas bumi menciptakan pekerjaan, menambah penghasilan, dan membawa pembangunan ke masyarakat,” katanya.
Hubungan harmonis dengan komunitas lokal menjadi fondasi yang sama pentingnya dengan teknologi maupun pendanaan.
Sinergi Lintas Sektor, Langkah Nyata untuk Masa Depan
Julfi menutup paparannya dengan ajakan kolaborasi. Ia menekankan bahwa keberhasilan pengembangan panas bumi hanya mungkin tercapai jika semua pemangku kepentingan pemerintah, swasta, akademisi, hingga masyarakat sipil bergerak bersama dalam satu visi besar. “Kalau kita gagal sekarang, kita kehilangan momentum. Tapi kalau kita bergerak sekarang, Indonesia bisa jadi pemimpin dunia di energi hijau,” pungkasnya.
Melalui forum seperti IIGW 2025, harapan akan transformasi energi yang lebih hijau dan berkeadilan kembali disuarakan. Di tengah tantangan dan peluang yang besar, energi panas bumi kini menanti langkah nyata dari seluruh elemen bangsa.