JAKARTA – Terobosan model bisnis menjadi kunci utama dalam mendorong pemanfaatan energi panas bumi secara optimal di Indonesia. Pesan tersebut menjadi sorotan utama dalam presentasi Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) atau Indonesian Geothermal Association (INAGA), Julfi Hadi, saat ajang 14th ITB International Geothermal Workshop (IIGW) 2025 yang digelar di Bandung.
Dalam paparannya berjudul Triggering Indonesia’s Geothermal Boom: Creating Value Through Updated Technology, Cost Optimization & New Revenue Stream Business, Julfi menyoroti pentingnya pendekatan baru dalam pengembangan energi bersih ini. Menurutnya, selama tiga dekade pembahasan soal panas bumi terus bergulir, tetapi progres aktualnya masih tertinggal jauh dibanding potensi yang ada. “Sudah 30 tahun kita membahas pengembangan panas bumi, namun progresnya masih jauh dari optimal. Hingga saat ini, Indonesia baru memanfaatkan sekitar 12% dari total potensi panas bumi yang dimiliki,” kata Julfi dalam keterangannya.
Ia menambahkan, Indonesia sebenarnya memiliki cadangan panas bumi terbesar di dunia. Sayangnya, potensi itu belum menjadi kekuatan yang nyata dalam sistem energi nasional. Oleh karena itu, kata dia, dibutuhkan pendekatan yang lebih modern dan berorientasi hasil, termasuk dengan memperkenalkan teknologi baru, menekan biaya produksi, dan menciptakan aliran pendapatan tambahan. “Kita perlu teknologi baru, pengurangan biaya, peningkatan produksi, penambahan sumber pendapatan, serta pembangunan ekosistem yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. Jika ini tercapai, panas bumi akan menjadi industri besar di Indonesia,” lanjutnya.
Julfi menyebut bahwa momen saat ini sangat strategis untuk mendorong pengembangan panas bumi lebih agresif. Mengingat arah kebijakan nasional tengah fokus pada kemandirian energi, maka panas bumi bisa menjadi pilar utama dalam mendukung pencapaian visi swasembada tersebut. “Kita harus menyampaikan pesan yang jelas kepada pemerintah agar sinergi yang ada dapat diperkuat. Diperlukan political will untuk mendorong pertumbuhan industri panas bumi di Indonesia,” tegasnya.
Tak hanya dorongan dari dalam negeri, dinamika global seperti ketidakstabilan geopolitik dan ancaman krisis iklim menurut Julfi memperkuat urgensi pengembangan sumber daya energi yang bersih, aman, dan berasal dari dalam negeri. Panas bumi menjadi jawaban realistis untuk mendukung transisi energi yang berkelanjutan.
Dengan cadangan mencapai 24 gigawatt (GW), Indonesia memiliki peluang besar untuk melangkah lebih jauh. Bahkan, API menargetkan kapasitas terpasang nasional melebihi Amerika Serikat yang saat ini memiliki sekitar 3,8 GW pada tahun 2029. Lebih jauh lagi, Indonesia dibidik mencapai 7,8 GW kapasitas panas bumi pada 2034, atau dua kali lipat dari target pemerintah yang hanya 3,6 GW.
Namun, Julfi tak menutup mata pada berbagai tantangan yang masih menghambat sektor ini. Salah satunya adalah tingginya risiko pada tahap eksplorasi dan kebutuhan investasi besar di awal proyek. Ia menekankan perlunya pendekatan cerdas dan inovatif untuk mengurangi hambatan tersebut.
Beberapa solusi yang diajukan termasuk pendekatan pengembangan bertahap (staged development) untuk memitigasi risiko eksplorasi, serta adopsi teknologi seperti modular power plant, co-generation, dan penggunaan electric submersible pump (ESP) guna mempercepat pelaksanaan proyek serta meningkatkan efisiensi produksi.
Tak kalah penting, kata Julfi, adalah penciptaan iklim investasi yang kondusif. Skema insentif fiskal dan non-fiskal yang lebih sesuai dengan karakteristik industri panas bumi perlu dirancang ulang. Saat ini, pihaknya tengah bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk merumuskan kebijakan yang lebih aplikatif dan menarik bagi investor.
Julfi juga menekankan pentingnya pembangunan infrastruktur pendukung, khususnya jaringan transmisi listrik jarak jauh atau supergrid. Menurutnya, tanpa infrastruktur itu, potensi panas bumi yang tersebar di berbagai daerah tidak akan mampu dimanfaatkan secara maksimal. “Jika supergrid ini terwujud, panas bumi akan menjadi penggerak utama dalam transisi dan ketahanan energi Indonesia,” ujarnya optimis.
Namun pengembangan panas bumi, tegas Julfi, tak bisa dilihat semata dari sisi teknis dan ekonomi. Aspek sosial juga harus diperhatikan, terutama keterlibatan masyarakat lokal dalam proses pengembangan. Selain menciptakan penerimaan sosial yang lebih kuat, pelibatan masyarakat juga berkontribusi terhadap kesejahteraan dan pembangunan daerah. “Kita sudah memiliki pengalaman lebih dari 40 tahun di sektor ini, namun kita harus lebih aktif dalam menunjukkan bahwa panas bumi bisa menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, dan mendorong pembangunan di wilayah sekitar,” ungkapnya.
Akhirnya, Julfi menyampaikan bahwa sinergi antar sektor menjadi faktor penentu dalam percepatan pengembangan energi panas bumi. Mulai dari kebijakan pemerintah, investasi swasta, riset akademik, hingga dukungan masyarakat, semua perlu bergerak bersama agar sektor panas bumi bisa menjelma menjadi fondasi utama dalam transisi energi nasional. “Dukungan dari seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, pengembang, investor, akademisi, hingga masyarakat, sangat penting agar sektor panas bumi dapat berkembang menjadi pilar utama dalam transisi energi Indonesia dan motor penggerak pembangunan ekonomi yang berkelanjutan,” pungkasnya.
Dengan landasan potensi yang besar dan momentum global yang mengarah ke energi hijau, transformasi energi panas bumi di Indonesia kini membutuhkan gebrakan nyata. Model bisnis baru bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan untuk membawa energi panas bumi naik kelas sebagai sumber energi masa depan Indonesia.