JAKARTA — Ketegangan geopolitik yang meningkat di sejumlah wilayah dunia kembali menjadi penggerak utama fluktuasi harga komoditas energi global. Situasi ini berdampak langsung terhadap harga minyak, gas alam, dan batubara yang kian tidak menentu, menciptakan tekanan bagi negara-negara pengimpor energi sekaligus peluang bagi produsen utama dunia.
Kondisi tersebut turut diperparah oleh konflik yang belum mereda antara Rusia dan Ukraina, serta dinamika di Timur Tengah yang kerap menyulut ketidakpastian suplai. Analis menyebut bahwa gejolak ini telah menempatkan sektor energi dalam tekanan ganda: ancaman pasokan dan volatilitas harga.
“Ketika ketegangan geopolitik meningkat, kekhawatiran terhadap ketersediaan energi pun melonjak. Pasar menjadi lebih sensitif terhadap potensi gangguan suplai,” ujar ekonom energi Bank Mandiri, Faisal Rachman.
Harga Komoditas Mengalami Kenaikan dan Penurunan Tajam
Dalam sepekan terakhir, harga minyak mentah Brent sempat melonjak ke level di atas USD 86 per barel, sebelum terkoreksi lagi ke kisaran USD 84 per barel. Sementara itu, harga gas alam Eropa juga mengalami lonjakan hingga 40% sejak awal tahun, dipicu oleh prediksi musim dingin yang lebih panjang dan keterbatasan cadangan gas di beberapa negara Eropa.
Harga batubara acuan ICE Newcastle juga mencatatkan fluktuasi cukup tajam. Meski mengalami kenaikan di awal tahun, dalam beberapa pekan terakhir harga sempat mengalami penurunan akibat menurunnya permintaan dari Tiongkok dan India yang menjadi konsumen utama.
Menurut Faisal, harga komoditas energi dalam jangka pendek masih akan sangat dipengaruhi oleh sentimen geopolitik dan pola musim. “Permintaan energi di negara-negara besar seperti Tiongkok, India, dan negara-negara Eropa sangat menentukan tren harga, apalagi jika dibarengi dengan kondisi cuaca ekstrem,” ungkapnya.
Kenaikan Harga Bisa Jadi Boomerang Bagi Negara Berkembang
Kondisi ini membawa dampak signifikan bagi negara-negara berkembang yang masih sangat tergantung pada energi impor. Biaya impor yang membengkak bisa menekan anggaran negara dan memperparah defisit neraca perdagangan. Di sisi lain, negara produsen energi seperti Rusia, Arab Saudi, dan Indonesia justru berpotensi mendapatkan windfall dari naiknya harga ekspor energi.
Namun, dampak positif tersebut tidak bisa dinikmati begitu saja. Indonesia, misalnya, masih harus memperhitungkan subsidi energi yang cukup besar bagi masyarakat, terutama BBM dan listrik. Jika harga minyak dunia terlalu tinggi, beban fiskal pemerintah pun akan meningkat.
Pemerintah Indonesia sendiri menyatakan bahwa mereka terus memantau dinamika pasar energi dunia. Kementerian ESDM menegaskan bahwa mereka akan menyesuaikan kebijakan energi domestik sesuai kondisi global yang berkembang.
Upaya Diversifikasi Energi dan Transisi Hijau Jadi Sorotan
Fluktuasi harga energi juga memperkuat urgensi negara-negara untuk mempercepat transisi energi dari fosil ke sumber yang lebih ramah lingkungan. Krisis energi yang melanda Eropa pada 2022-2023 menjadi pelajaran penting bahwa ketergantungan pada sumber energi fosil yang terpusat bisa menjadi ancaman strategis.
“Transisi energi menjadi kunci agar negara tidak rentan terhadap tekanan harga energi global. Investasi dalam energi baru dan terbarukan harus terus didorong,” ujar Faisal.
Indonesia sendiri menargetkan bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23% pada 2025. Meski progresnya masih di bawah ekspektasi, pemerintah terus memperluas pembangunan PLTS atap, pembangkit hidro, serta bioenergi untuk mencapai target tersebut.
Penguatan Diplomasi Energi Dinilai Krusial
Di tengah tekanan global ini, diplomasi energi menjadi alat penting yang harus dimanfaatkan oleh negara-negara seperti Indonesia. Kerja sama bilateral dan multilateral dalam bidang energi harus diarahkan untuk menjaga kepastian pasokan sekaligus menekan volatilitas harga.
Dalam beberapa waktu terakhir, Indonesia intens membina hubungan energi strategis dengan mitra utama seperti Tiongkok, Uni Emirat Arab, dan negara-negara ASEAN. Upaya ini diarahkan untuk mendukung ketahanan energi nasional di tengah gejolak global.
Faisal menekankan bahwa tantangan energi saat ini harus dijawab dengan strategi jangka panjang, termasuk memperkuat infrastruktur energi domestik. “Tidak cukup hanya bergantung pada ekspor komoditas, kita harus membangun rantai nilai di dalam negeri agar lebih tahan terhadap guncangan global,” jelasnya.
Peluang bagi Investor Energi
Meski dihantui ketidakpastian, pasar energi juga menawarkan peluang investasi yang menjanjikan. Kebutuhan akan diversifikasi energi dan proyek transisi menuju energi hijau membuka jalan bagi masuknya investor, baik domestik maupun asing.
Beberapa perusahaan energi global telah menyatakan komitmen untuk berinvestasi dalam proyek energi terbarukan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pemerintah pun memberikan berbagai insentif fiskal dan regulasi untuk mempercepat masuknya investasi tersebut.
“Dengan kebijakan yang tepat, gejolak global bisa jadi momentum bagi Indonesia untuk mempercepat reformasi di sektor energi,” tutup Faisal.