JAKARTA — Ketimpangan insentif terhadap jenis baterai kendaraan listrik yang beredar di Indonesia menjadi sorotan para ahli. Pemerintah dinilai perlu memberikan perhatian khusus terhadap pengembangan dan penggunaan baterai berbasis nikel (nickel manganese cobalt/NMC), sebagai salah satu upaya memperkuat hilirisasi komoditas strategis nasional.
Evvy Kartini, Founder National Battery Research Institute, menegaskan bahwa dukungan terhadap produsen mobil listrik yang memakai baterai berbasis nikel sangat penting, mengingat Indonesia tengah gencar menggenjot hilirisasi nikel. Namun, kenyataannya, pangsa pasar kendaraan listrik di Tanah Air masih didominasi oleh model yang menggunakan baterai lithium ferro phosphate (LFP), yang notabene memiliki harga produksi lebih rendah.
“Pemerintah seharusnya mendukung yang berbasis nikel. Jelas tidak bisa berkompetisi antara yang berbasis nikel dengan berbasis LFP,” kata Evvy dalam diskusi Forum Wartawan Otomotif (Forwot) di Jakarta Selatan.
Baterai berbasis nikel umumnya digunakan oleh mobil listrik kelas menengah ke atas, termasuk Hyundai Ioniq 5 yang diproduksi secara lokal oleh PT Hyundai LG Industry (HLI) Green Power di Karawang, Jawa Barat. Mobil ini menjadi salah satu contoh penerapan baterai NMC di pasar Indonesia.
Di sisi lain, sebagian besar agen pemegang merek (APM) yang aktif menjajaki pasar kendaraan listrik di Indonesia, terutama yang berasal dari Tiongkok seperti BYD, Wuling, Chery, Morris Garage (MG), hingga Aion, lebih memilih menggunakan baterai LFP yang dinilai lebih ekonomis dan cukup efisien untuk kebutuhan kendaraan listrik kompak.
Evvy menilai bahwa secara kualitas, baterai berbasis nikel memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan baterai LFP. “Biasanya baterai nikel lebih banyak dipakai di mobil listrik kelas premium karena bobotnya lebih ringan dan daya tahannya lebih baik dibandingkan LFP,” ujarnya.
Namun, ia juga mengakui bahwa harga jual mobil listrik berbasis nikel cenderung lebih tinggi, sehingga sulit bersaing dari sisi harga dengan model berbaterai LFP. Oleh karena itu, pemberian insentif menjadi hal krusial agar teknologi berbasis nikel bisa berkembang seiring dengan visi hilirisasi nasional.
“Iya, seharusnya seperti itu. Jadi, ketika diberi insentif, harus dilihat yang berbasis nikel. Karena mereka agak susah bersaing dengan yang lain, karena mereka berbasis NMC, dan nikelnya itu lebih dari 90%,” jelasnya.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil listrik murni (battery electric vehicle/BEV) pada Mei 2025 tercatat sebanyak 6.391 unit. Beberapa merek yang mendominasi pasar, seperti BYD dan Wuling, menggunakan baterai LFP. Angka tersebut menunjukkan penurunan sekitar 13,63% secara bulanan (month-to-month/mtm), dari 7.400 unit pada April 2025.
Meski angka penjualan menurun, tren adopsi kendaraan listrik tetap menunjukkan prospek cerah. Namun, Evvy menekankan bahwa apabila Indonesia ingin memaksimalkan potensi sumber daya alamnya, terutama nikel, maka dukungan terhadap produk yang menggunakan baterai NMC harus diprioritaskan.
Saat ini, kebijakan insentif dari pemerintah memang sudah berjalan untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik nasional. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 12 Tahun 2025 telah mengatur berbagai fasilitas fiskal, seperti PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 10% untuk mobil listrik completely knocked down (CKD), serta PPnBM DTP dan pembebasan bea masuk untuk impor mobil listrik completely built up (CBU) dan CKD hingga 15%.
Namun demikian, Evvy menyoroti belum adanya regulasi yang secara spesifik mengarahkan insentif kepada produsen atau kendaraan listrik berbasis baterai nikel. Padahal, jenis ini sangat penting untuk menopang industri baterai nasional dan menciptakan rantai pasok nikel yang berkelanjutan.
Ketiadaan insentif yang ditargetkan kepada teknologi NMC dianggap menjadi penghambat untuk pencapaian nilai tambah dari industri tambang nikel yang selama ini menjadi prioritas pemerintah. Ia pun berharap agar ke depan, insentif kendaraan listrik tidak hanya mempertimbangkan sisi kepraktisan atau harga, tetapi juga mengarah pada upaya industrialisasi dan penguatan ekosistem mineral strategis nasional.
Di tengah ambisi Indonesia untuk menjadi pusat industri baterai dan kendaraan listrik di Asia Tenggara, arah kebijakan yang tepat akan menjadi penentu keberhasilan strategi tersebut. “Pemerintah punya peran penting dalam mengarahkan industri. Kalau ingin hilirisasi berjalan, maka yang memakai nikel harus diberikan ruang tumbuh,” pungkas Evvy.
Dengan begitu, insentif yang diberikan bukan hanya akan berdampak pada percepatan adopsi kendaraan listrik, tapi juga mendukung cita-cita besar Indonesia untuk menjadi pemain utama dalam rantai pasok global industri baterai berbasis nikel.