JAKARTA - Pernahkah kita berpikir bahwa desain kota bukan sekadar urusan beton, jalan, atau taman, tetapi juga tentang bagaimana keadilan bisa dirasakan setiap orang? Gagasan ini ditegaskan oleh Anies Baswedan dalam forum internasional di Taiwan, ketika ia memperkenalkan konsep Design Justice sebuah pendekatan desain yang mengedepankan keadilan sosial dan kesetaraan dalam pembangunan kota.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu tampil sebagai pembicara kunci dalam International Design Study Forum and Conference ke-12 yang digelar di YunTech, Taiwan. Dalam forum prestisius itu, Anies mendorong para perancang kota dan akademisi untuk melihat desain sebagai alat menghadirkan rasa memiliki bagi seluruh warga.
“Bertukar gagasan tentang urbanisme performatif, yakni bahwa kota bukan melulu soal bangunan dan infrastruktur, melainkan ruang yang menghadirkan keadilan, martabat, dan rasa memiliki bagi semua. Dari trotoar, taman, hingga ruang publik, semua bisa menjadi instrumen kesetaraan, dan desain bisa jadi alat untuk menghadirkan keadilan,” ungkap Anies dalam unggahannya di Instagram, dikutip dari KBA News, Selasa, 1 Juli 2025.
Respons Akademisi: Bukan Sekadar Gagasan, Tapi Komitmen
Gagasan Design Justice yang disampaikan Anies ternyata mendapatkan sambutan hangat dari kalangan akademisi di Indonesia. Salah satunya adalah Dr. Khamim Zarkasih Putro, Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia menilai, konsep tersebut sangat relevan dengan tantangan tata kota di Indonesia yang kerap menghadirkan kesenjangan antarwarga.
“Desain dan tata kota memang harus diarahkan untuk menjamin keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat,” ujar Dr. Khamim kepada KBA News, Rabu, 2 Juli 2025.
Menurutnya, pendekatan yang adil dalam desain kota tidak bisa bersifat seremonial atau simbolik semata. Diperlukan perencanaan menyeluruh dan pelaksanaan konsisten agar tujuan keadilan benar-benar tercapai dan dirasakan seluruh elemen masyarakat.
Akses yang Setara, Hak yang Sama
Lebih lanjut, Dr. Khamim menekankan bahwa keberhasilan pembangunan kota tak lepas dari sejauh mana akses terhadap layanan publik dapat dijangkau secara adil. Hal ini menyangkut kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, hingga transportasi publik.
Ia menuturkan, “Pemerintah kota harus memastikan bahwa semua warga bisa menjangkau layanan dasar. Ketika akses ini tersedia secara merata, masyarakat akan memiliki peluang yang sama untuk berkembang secara sosial dan ekonomi.”
Dalam kerangka keadilan sosial, pembangunan kota yang baik juga harus sensitif terhadap kelompok rentan. Ini mencakup masyarakat berpenghasilan rendah, penyandang disabilitas, dan warga yang tinggal di pinggiran kota. Dr. Khamim menggarisbawahi bahwa program afirmatif perlu dirancang untuk benar-benar menyentuh kebutuhan kelompok-kelompok tersebut.
“Kebijakan tidak boleh hanya menguntungkan kelompok mayoritas atau yang secara ekonomi lebih kuat,” tegasnya.
Ruang Kota Harus Mewakili Suara Warga
Konsep Design Justice tak hanya bicara soal hasil akhir dari pembangunan, tetapi juga menyoroti prosesnya, terutama keterlibatan masyarakat. Dr. Khamim menyebut, salah satu elemen kunci agar desain kota mencerminkan keadilan adalah partisipasi aktif warga dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan.
“Dengan begitu, pembangunan akan lebih sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat dan memupuk rasa memiliki terhadap kota tempat mereka tinggal,” ucapnya.
Selain partisipasi, transparansi informasi turut menjadi fondasi penting. Warga perlu tahu dan memahami bagaimana kebijakan dibuat, anggaran digunakan, dan siapa yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya. Dr. Khamim menekankan, kejelasan informasi akan membuka ruang bagi pengawasan publik dan mendorong akuntabilitas pemerintah.
Keberlanjutan Jadi Titik Tekan
Design Justice, menurut Dr. Khamim, tidak hanya berhenti pada prinsip-prinsip keadilan hari ini, tetapi juga harus menjawab tantangan masa depan. Oleh sebab itu, keberlanjutan harus dimasukkan dalam kerangka pembangunan yang adil.
Keseimbangan antara lingkungan hidup, pertumbuhan ekonomi, dan kohesi sosial adalah tiga pilar yang tidak bisa dipisahkan jika ingin membangun kota yang ramah generasi mendatang.
“Kota yang berkeadilan bukan hanya harus memenuhi kebutuhan saat ini, tetapi juga menjamin masa depan,” ujarnya.
Kolaborasi Jadi Kunci
Di akhir pernyataannya, Dr. Khamim menegaskan bahwa pembangunan kota yang adil dan inklusif tidak bisa hanya dibebankan kepada satu pihak. Sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta harus dikedepankan.
“Membangun kota yang adil dan inklusif membutuhkan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Kolaborasi menjadi kunci agar kota tak hanya layak huni, tapi juga menjadi ruang yang memanusiakan semua penghuninya,” tutupnya.
Dengan menggugah diskusi tentang bagaimana sebuah kota seharusnya dirancang—bukan hanya untuk estetika, melainkan untuk keadilan—Anies Baswedan menunjukkan bahwa desain bisa menjadi medium untuk perubahan sosial. Perspektif akademisi seperti Dr. Khamim menguatkan bahwa gagasan ini bukan utopia, melainkan agenda nyata yang perlu diwujudkan.