JAKARTA – Rasa resah dan cemas menyelimuti warga RW 09 Pringgokusuman, Gedongtengen, Kota Yogyakarta, menyusul munculnya bau menyengat bahan bakar minyak (BBM) dari sumur-sumur mereka. Bukan sekadar gangguan penciuman, warga menduga kuat bahwa air tanah mereka telah tercemar akibat keberadaan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Jalan Letjen Suprapto, yang sebelumnya sudah tiga kali meledak.
Kondisi ini memicu kemarahan massal. Penolakan keras dilontarkan warga terhadap rencana pengoperasian kembali SPBU tersebut. Trauma mendalam dan ancaman keselamatan menjadi alasan utama. Terlebih, SPBU itu sudah tercatat mengalami serangkaian insiden ledakan hanya dalam waktu satu tahun terakhir.
“Air sumur kami bau bensin. Sudah lama kami laporkan ke dinas, tapi tidak pernah ditindaklanjuti,” ujar Heri Santosa, Ketua RW 09 Pringgokusuman.
Ledakan Berulang Picu Trauma
Menurut Heri, SPBU Letjen Suprapto bukan hanya mencemari lingkungan, tapi juga menjadi sumber bahaya nyata. Tercatat, hanya dalam kurun Mei 2025 saja, dua ledakan terjadi, ditambah satu insiden besar yang menimbulkan korban luka dan kerusakan fisik di sekitar area.
Peristiwa puncak terjadi saat ledakan hebat disusul kebakaran melukai delapan orang dan menghancurkan beberapa rumah warga. Heri mengungkapkan, ledakan itu bahkan mengakibatkan kaca-kaca rumah pecah, genteng runtuh, hingga dinding rumah warga retak-retak.
“Genteng rumah rontok, kaca pecah, dinding retak. Kompor saya sampai melompat, untung tidak tumpah minyak gorengnya,” ujar Heri dengan nada kesal.
Ia menambahkan, dua ledakan sebelumnya juga tak kalah membahayakan. Yang satu terjadi di area kantor SPBU, sementara ledakan kedua dipicu saat pengisian bensin hingga menyebabkan kebakaran pada sepeda motor konsumen.
“Warga trauma. Kami nggak mau mati konyol hanya gara-gara SPBU,” tegasnya.
Warga Bergerak, Pemerintah Respon
Ketegangan makin memuncak ketika garis polisi yang sebelumnya terpasang pasca kebakaran, dilepas tiba-tiba tanpa penjelasan resmi. Heri mengaku sempat diminta menandatangani sebuah surat oleh seseorang yang mengaku polisi, namun tanpa sosialisasi ke warga. Heri menolak.
Langkah warga pun kian tegas. Pada 4 Juni 2025, rapat besar digelar dengan melibatkan 40 kepala keluarga. Hasilnya: penolakan total terhadap rencana pengoperasian ulang SPBU.
Kini, spanduk-spanduk berisi penolakan bertebaran di sekitar lokasi SPBU. Warga bahkan siap menambah spanduk yang lebih besar jika belum ada kepastian terkait pembatalan pengoperasian.
Kondisi ini langsung direspons oleh Wali Kota Yogyakarta Hasto Wardoyo. Ia memerintahkan Dinas Lingkungan Hidup dan DPUPKP untuk segera turun tangan memeriksa kondisi air tanah dan sumur warga.
“Sumur bau BBM itu tidak boleh dibiarkan. Harus dicek dan dievaluasi. SPBU tidak bisa serta merta buka tanpa rekomendasi,” tegas Hasto.
Ia menambahkan bahwa operasional SPBU tak bisa dilanjutkan tanpa persetujuan masyarakat sekitar. Terlebih, insiden ledakan sudah terjadi lebih dari sekali.
“Kita harus menghormati rasa aman warga. SPBU sudah tiga kali meledak. Itu tidak main-main,” ujarnya.
Pertamina Tegaskan Belum Ada Operasional
Menanggapi kekhawatiran publik, Pertamina menyatakan bahwa SPBU Gedongtengen belum akan dibuka kembali dalam waktu dekat. Area Manager Communication, Relations, dan CSR Pertamina Patra Niaga Jateng-DIY, Taufiq Kurniawan, menegaskan bahwa SPBU tersebut masih dalam status police line.
“SPBU masih police line. Kami tidak akan keluarkan izin operasional kalau aspek keselamatan belum terpenuhi,” kata Taufiq.
Pihak SPBU, lanjutnya, sudah menyatakan komitmen memperbaiki fasilitas dan meningkatkan standar keamanan. Taufiq juga meminta masyarakat memahami bahwa insiden kebakaran sebelumnya adalah musibah yang tidak disengaja.
Ia menambahkan bahwa pengelola SPBU telah memperbaiki tujuh rumah warga yang terdampak ledakan.
“Kami harap masyarakat melihat SPBU ini juga vital. Lokasinya dekat Malioboro dan Stasiun Tugu, pintu gerbang utama wisata Yogyakarta,” pungkasnya.
Namun pernyataan itu tak cukup untuk menenangkan warga. Bagi mereka, keselamatan dan kesehatan jauh lebih penting dibanding urgensi lokasi SPBU.
“Kalau hanya uang ganti rugi rumah, bisa dicari. Tapi nyawa nggak bisa dibeli,” tandas Heri.
Jalan Tengah Masih Buntu
Meskipun pemerintah daerah sudah turun tangan, dan Pertamina menunjukkan itikad baik, warga tetap berada di posisi yang sama: menolak pengoperasian SPBU Letjen Suprapto. Bagi mereka, satu ledakan saja sudah cukup untuk menciptakan trauma seumur hidup. Tiga ledakan adalah tanda bahaya nyata.
Saat ini, ketegangan antara kebutuhan energi dan hak warga atas lingkungan aman masih belum menemukan titik temu. Sambil menunggu investigasi air tanah selesai, warga tetap berjaga, menjaga rumah, dan menjaga hak untuk merasa aman di lingkungan sendiri.