JAKARTA – Industri nikel nasional tengah menghadapi guncangan baru. Ketidakpastian akibat kebijakan proteksionis dari China kembali menekan prospek sektor ini, terutama setelah negara tersebut resmi memberlakukan bea masuk antidumping (BMAD) terhadap produk baja nirkarat asal Indonesia. Kebijakan ini tak hanya menyulitkan ekspor, tetapi juga mempersempit ruang gerak emiten-emiten nikel Tanah Air di tengah tekanan harga komoditas global yang belum pulih.
Pemerintah China menetapkan tarif BMAD sebesar 20,2% terhadap baja nirkarat asal Indonesia mulai awal Juli 2025, dan akan berlaku selama lima tahun ke depan. Baja nirkarat tersebut merupakan produk yang sangat bergantung pada bahan baku dari nikel olahan, seperti feronikel (FeNi), nickel pig iron (NPI), dan nickel matte, yang diproduksi di Indonesia.
Jenis produk olahan nikel ini mayoritas dihasilkan oleh fasilitas smelter Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF), yang menjadi tulang punggung produksi beberapa emiten besar nasional seperti PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO).
Ekky Topan, Investment Analyst dari Infovesta Utama, menilai bahwa langkah China akan berpengaruh besar terhadap keberlangsungan usaha emiten-emiten tersebut. Menurutnya, kebijakan BMAD berisiko menekan harga nikel lebih dalam, sekaligus memangkas volume ekspor secara signifikan.
“Daya saing produk olahan Indonesia juga tergerus karena beban tarif tambahan tersebut yang berisiko menghambat ekspansi ke pasar China sebagai konsumen terbesar,” ujar Ekky.
Di sisi lain, emiten yang belum memiliki smelter pun tidak luput dari ancaman. Selain terdampak dari penurunan harga jual, mereka juga berpotensi kehilangan pasar, terutama jika pihak smelter menurunkan kapasitas produksi akibat tarif tersebut.
Indy Naila, Investment Analyst dari Edvisor Provina Visindo, juga menyampaikan pandangan serupa. Ia mengatakan bahwa pengenaan BMAD oleh China berpotensi menyebabkan kelebihan pasokan nikel di dalam negeri. Ini terjadi karena pasar ekspor menyempit, sementara produksi tetap berlangsung.
“Ada kekhawatiran produk olahan tidak mampu diserap industri baja nirkarat, sehingga terjadi oversupply dalam jangka pendek,” ucap Indy.
Dalam menghadapi tekanan ini, Indy menyarankan agar para emiten segera memperkuat strategi efisiensi biaya operasional, serta membuka peluang ekspor ke pasar baru. Lebih jauh, ia juga mendorong perusahaan untuk mengembangkan proyek nikel sulfat, bahan baku penting untuk baterai kendaraan listrik.
“Emiten juga bisa fokus pada proyek nikel sulfat untuk baterai kendaraan listrik,” tambahnya.
Kondisi ini menegaskan pentingnya strategi hilirisasi mineral yang lebih mendalam di dalam negeri. Langkah ini tidak hanya untuk meningkatkan nilai tambah, tetapi juga memperkuat ketahanan industri terhadap tekanan eksternal seperti kebijakan proteksionis dari negara mitra dagang.
Diversifikasi pasar menjadi opsi strategis. Uni Eropa, Amerika Serikat, hingga negara-negara Asia lainnya bisa menjadi target ekspor baru bagi produk olahan nikel Indonesia. Pemerintah pun diharapkan lebih aktif melakukan negosiasi bilateral, termasuk dengan China, guna menjaga keberlanjutan ekspor dan kelangsungan industri nikel nasional.
Ekky menambahkan, selain tekanan dari BMAD, emiten nikel juga masih dibayangi oleh tren harga nikel yang lemah dalam beberapa tahun terakhir. Faktor utamanya adalah kelebihan pasokan global dan penurunan permintaan dari China, yang selama ini menjadi pasar terbesar.
Namun, Ekky tetap melihat potensi pemulihan di masa mendatang, terutama jika tensi geopolitik mereda dan hilirisasi industri semakin berkembang.
“Jika tekanan geopolitik global mereda dan hilirisasi domestik semakin progresif, maka peluang pemulihan harga dan permintaan nikel tetap terbuka,” ungkapnya.
Secara teknikal, Ekky melihat bahwa saham INCO masih memiliki prospek akumulasi yang cukup menarik saat ini. Dia memproyeksikan saham INCO akan bergerak menuju level Rp 4.350 per saham. Untuk investor yang tertarik dengan saham lapis kedua (second liner), PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) juga dinilai menunjukkan tren strong bullish, dengan potensi harga berada di kisaran Rp 500 hingga Rp 530 per saham.
Namun begitu, Ekky mengingatkan agar investor tetap waspada dan disiplin dalam menetapkan cut loss, mengingat volatilitas harga komoditas nikel masih tinggi.
Berbeda dari Ekky, Indy lebih menjagokan saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), yang direkomendasikan beli dengan target harga Rp 3.500 per saham. Menurutnya, peluang pemulihan harga nikel masih terbuka karena meningkatnya permintaan dari industri baterai kendaraan listrik.
Namun, ia juga menggarisbawahi bahwa tantangan tetap ada. Risiko geopolitik dan kelebihan pasokan global dapat terus membayangi kinerja keuangan emiten nikel, setidaknya dalam jangka pendek.
Di tengah kompleksitas dinamika global dan domestik yang tengah melanda sektor nikel, baik investor maupun pelaku usaha dituntut untuk lebih jeli, fleksibel, dan adaptif terhadap perubahan. Perpaduan strategi efisiensi, diversifikasi pasar, dan inovasi produk menjadi kunci utama untuk menjaga keberlanjutan industri ini dalam jangka panjang.