JAKARTA — Industri energi hijau sering dianggap sebagai jawaban masa depan bagi keberlanjutan ekonomi dan lingkungan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sektor ini belum sepenuhnya kokoh. Ketika sejumlah negara, termasuk Indonesia, tengah gencar menggalakkan program transisi energi, kisah jatuh-bangunnya perusahaan energi hijau di Amerika Serikat memberi pelajaran penting.
Profesor Riset dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) dan Koordinator Litbang BPDP, Didiek Hadjar Goenadi, mengingatkan bahwa kinerja sejumlah perusahaan energi hijau di AS menunjukkan bahwa sektor ini tergolong cepat-sirna (volatile). Khususnya, banyak perusahaan rintisan (startup) di subsektor energi matahari yang ternyata tidak mampu bertahan.
“Dalam periode 2023 hingga 2025 saja, puluhan perusahaan energi hijau di AS sudah atau sedang bersiap mengajukan permohonan bangkrut,” tulisnya. Ia juga menyoroti pentingnya kehati-hatian, mengingat Indonesia juga tengah mengembangkan sektor serupa, seperti pabrik panel surya di Kendal dan proyek strategis lainnya yang diresmikan oleh Presiden Prabowo.
Harapan Besar pada Ekonomi Hijau
Ekonomi hijau (EH) dirancang sebagai pendekatan pembangunan yang seimbang: mendorong kesejahteraan sosial tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan. Dalam kerangka ini, pengurangan emisi karbon, efisiensi energi, serta pembangunan berkelanjutan menjadi pilar utama.
Hampir seluruh negara telah memasukkan ekonomi hijau dalam strategi pembangunan jangka menengah dan panjang mereka. Di Indonesia, Bank Indonesia bahkan membentuk Departemen Ekonomi Keuangan Inklusif dan Hijau (DEIH) sebagai wujud keseriusan.
Cakupan ekonomi hijau meliputi penggunaan sumber daya secara bijak, pengurangan emisi gas rumah kaca, serta inovasi teknologi yang mendukung efisiensi. Semua itu diarahkan untuk menciptakan sistem ekonomi yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.
Namun, Goenadi mencatat bahwa meskipun tujuan ekonomi hijau sangat mulia, dalam praktiknya, tidak semua inisiatifnya mampu menciptakan kegiatan usaha yang berkelanjutan secara finansial.
Dari Pertanian hingga Transportasi
Implementasi ekonomi hijau menyentuh hampir semua sektor. Di bidang industri, teknologi ramah lingkungan diadopsi dalam proses produksi. Pertanian organik dan sistem pertanian berkelanjutan menjadi fokus di sektor agrikultur. Sementara di transportasi, pengembangan kendaraan listrik dan transportasi publik rendah emisi terus digalakkan.
Desain bangunan hijau serta pengelolaan limbah yang efisien juga menjadi bagian dari sistem ini. Pada intinya, semua program diarahkan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan: peningkatan kesejahteraan, daya saing, dan kelestarian lingkungan.
Ekonomi hijau juga diharapkan membuka peluang lapangan kerja baru, serta menyiapkan sistem yang tahan terhadap perubahan iklim dan krisis sumber daya.
Langkah Strategis Indonesia
Indonesia mendefinisikan ekonomi hijau sebagai model pembangunan yang berfokus pada investasi, modal, dan infrastruktur demi kesejahteraan sosial dan lingkungan. Tiga sektor utama dalam strategi ini adalah energi berkelanjutan, lanskap berkelanjutan, dan infrastruktur berkelanjutan.
Dokumen penting seperti RPJMN 2020 hingga 2024 sudah mencantumkan pembangunan rendah karbon sebagai prioritas. Targetnya antara lain net zero emission, pemulihan ekonomi lewat stimulus hijau, serta transformasi sistem pembangunan yang lebih rendah emisi.
RPJMN 2025–2029 bahkan semakin memperkuat posisi ekonomi hijau, sejajar dengan program ekonomi biru, ekonomi syariah, dan ekonomi digital. Transisi ini akan dievaluasi melalui indikator seperti penurunan kemiskinan, peningkatan kualitas SDM, dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Fakta di Lapangan: Dinamika Energi Hijau
Meski secara global investasi ekonomi hijau tercatat menembus kapitalisasi US$7,2 triliun pada kuartal pertama 2024, volatilitas tetap menghantui. Di sisi lain, aset kelolaan dalam dana berkelanjutan mencapai US$3,56 triliun pada akhir 2024. Dari hasil analisis Morningstar, investasi berkelanjutan menunjukkan kinerja lebih baik dari dana tradisional dalam jangka panjang.
Namun, London Stock Exchange Group (LSEG) mencatat adanya tren penurunan pasca-2021, akibat gangguan rantai pasok, inflasi biaya, serta kebijakan proteksi hijau yang justru berdampak negatif terhadap kelangsungan industri.
Kapitalisasi pasar ekonomi hijau memang pulih di 2023 dan awal 2024, namun hanya tumbuh 9%. Ini mengindikasikan bahwa walau energi hijau menjadi fokus geopolitik global, kelangsungan finansialnya masih memerlukan penyesuaian strategi yang tepat.
Gelombang Kebangkrutan di Amerika
Industri energi hijau yang paling terdampak adalah tenaga surya dan biomassa. Selama 2022 hingga 2023, sekitar 80 perusahaan energi surya di AS mengajukan permohonan pailit. Nama-nama seperti Sunnova, SunPower, hingga Lumino Solar tak mampu lagi beroperasi. Sementara perusahaan seperti Pink Energy dan Vision Solar memilih menutup kegiatan.
Faktor yang memicu antara lain bunga pinjaman yang tinggi, persoalan rantai pasok, dan kebijakan pemerintah yang tidak konsisten. Bahkan perusahaan biomassa besar seperti Enviva dan Fulcrum BioEnergy pun tak luput dari krisis, meskipun memanfaatkan bahan baku lokal seperti limbah kayu dan sampah rumah tangga.
Sebagai contoh, Enviva yang memproduksi pelet kayu dari pinus terpaksa menutup operasional akibat karakteristik bahan baku yang korosif. Fulcrum BioEnergy pun harus menyetop pabrik bioavtur di Nevada karena kesulitan pasokan.
Strategi untuk Indonesia
Melihat kenyataan ini, Goenadi menggarisbawahi pentingnya strategi yang berkelanjutan. “Menggantungkan program biodiesel pada CPO (minyak sawit mentah) saja bukanlah kebijakan yang pro keberlanjutan,” ujarnya. Diversifikasi bahan baku menjadi mutlak, termasuk pengembangan tanaman non-pangan.
Pemerintah juga perlu memperkuat riset dan inovasi teknologi, termasuk katalis buatan dalam negeri dan pengembangan bensin sawit, biohidrokarbon, serta biomassa dari kelapa dan kakao.
Tanpa belajar dari kegagalan negara lain, menurutnya, Indonesia bisa jatuh ke lubang yang sama: proyek hijau yang gagal karena tak cukup matang dirancang dan tidak tahan guncangan ekonomi.