JAKARTA - Upaya pemerintah dalam memperkuat ketahanan energi nasional kini diarahkan pada optimalisasi pemanfaatan sumber energi terbarukan (EBT) dan pengurangan ketergantungan terhadap gas untuk pembangkit listrik. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa gas yang semula digunakan dalam pembangkitan listrik akan dialihkan untuk memenuhi kebutuhan sektor industri di dalam negeri.
Langkah ini tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025 hingga 2034 yang telah dirilis oleh pemerintah. Meskipun gas masih digunakan sebagai salah satu sumber energi karena dinilai minim emisi, prioritasnya kini berubah untuk mendukung pertumbuhan sektor industri nasional.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengungkapkan bahwa pemerintah telah melakukan evaluasi berkali-kali terhadap rencana pemanfaatan gas. Hasilnya, pemakaian gas untuk listrik secara bertahap akan dikurangi.
"Nah, ini arahan Pak Menteri waktu itu untuk menurunkan pemakaian gas ini sehingga ada perhitungan ulang. Jadi, beberapa kali kita melakukan perhitungan ulang dan pemakaian gas diturunkan karena arahnya kita ingin menumbuhkan penggunaan gas ini di industri," jelas Eniya kepada CNBC Indonesia dalam program Economic Update.
Gas yang selama ini menjadi andalan dalam bauran energi nasional untuk kelistrikan, kini akan menjadi motor penggerak sektor industri. Tujuannya jelas: memperkuat struktur industri nasional agar lebih kompetitif dengan pasokan energi yang andal dan lebih murah.
Meski demikian, pemerintah tetap memperhitungkan pemanfaatan gas dalam pengembangan energi nasional. Dalam RUPTL terbaru, kapasitas tambahan dari energi fosil masih mencakup 10,3 Giga Watt (GW) dari gas dan 6,3 GW dari batubara. Namun, angka ini jauh lebih kecil dibanding target EBT yang dicanangkan.
Untuk menyeimbangkan bauran energi nasional, pemerintah merancang strategi masif dalam pengembangan pembangkit berbasis EBT. Dalam satu dekade ke depan, Indonesia menargetkan pembangunan pembangkit EBT sebesar 42,6 GW, atau mencakup 61 persen dari total tambahan kapasitas pembangkit.
EBT tidak lagi ditempatkan sebagai pelengkap, melainkan sebagai poros utama dalam upaya dekarbonisasi dan transisi energi. Energi surya menjadi kontributor terbesar dalam porsi pembangkit baru tersebut, mencapai 17,1 GW. Sumber ini dinilai paling fleksibel dan cocok dikembangkan di berbagai wilayah Indonesia yang memiliki intensitas penyinaran matahari cukup tinggi.
Pembangkit tenaga air menyusul dengan kontribusi sebesar 11,7 GW, memanfaatkan potensi sungai dan waduk yang tersebar di seluruh Nusantara. Sementara itu, pembangkit tenaga angin direncanakan tumbuh hingga 7,2 GW, disusul oleh panas bumi sebesar 5,2 GW, bioenergi 0,9 GW, dan bahkan pembangkit tenaga nuklir mulai dimasukkan dengan porsi awal sebesar 0,5 GW.
Langkah ini juga sejalan dengan komitmen Indonesia terhadap penurunan emisi karbon dan pencapaian target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Dengan menggeser peran gas dari pembangkit listrik ke industri dan menambah porsi energi hijau, pemerintah ingin memastikan bahwa transisi energi berjalan seimbang antara kebutuhan pembangunan dan kelestarian lingkungan.
Selain faktor lingkungan, strategi ini juga dinilai strategis dari sisi keekonomian. Industri yang mendapat suplai gas akan memiliki efisiensi biaya operasional, meningkatkan daya saing produk dalam negeri, serta mendorong ekspor industri berbasis gas seperti petrokimia dan pupuk.
Sebagai catatan penting, EBT bukan sekadar pilihan karena desakan global. Dalam konteks nasional, pemanfaatan energi terbarukan memberi peluang besar untuk memperkuat ketahanan energi hingga pelosok negeri. Dengan biaya teknologi yang semakin murah dan kapasitas yang bisa dikembangkan secara modular, EBT menjadi opsi yang masuk akal, baik dari segi teknis maupun ekonomis.
Dalam perjalanannya, tentu pemerintah juga harus menyiapkan skema investasi, infrastruktur pendukung, serta regulasi yang mendukung percepatan proyek-proyek EBT. Hal ini tidak lepas dari tantangan teknis seperti intermitensi (ketidakstabilan pasokan dari sumber EBT), kesiapan jaringan listrik, dan kesiapan industri lokal dalam memproduksi komponen pendukung.
Namun demikian, Eniya meyakini bahwa target penambahan pembangkit EBT sebesar 42,6 GW dalam 10 tahun ke depan adalah langkah yang realistis jika dikawal dengan konsistensi kebijakan.
Melalui RUPTL 2025 hingga 2034, pemerintah secara resmi menetapkan arah pembangunan kelistrikan yang berorientasi pada energi bersih. Pengurangan porsi gas dalam pembangkitan listrik merupakan keputusan strategis untuk mengoptimalkan fungsinya sebagai penopang pertumbuhan industri, sementara sektor kelistrikan akan lebih banyak bergantung pada energi terbarukan yang bersih dan berkelanjutan.
Transformasi energi yang tengah dijalankan bukan semata-mata soal mengganti sumber energi, tetapi menciptakan ekosistem energi nasional yang kuat, adil, dan berpihak pada masa depan.