JAKARTA - Ketegangan antara warga dan perusahaan tambang kembali menyeruak di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Kali ini, sorotan tertuju pada dugaan perusakan lahan milik warga yang dilakukan oleh perusahaan tambang pasir, PT Tri Tunas Unggul (PT TTU). Tarmidi, seorang warga Desa Limbung, Kecamatan Lingga Utara, menjadi suara dari keresahan masyarakat atas konflik yang telah berlarut-larut ini.
Dalam keterangannya kepada wartawan, Tarmidi mengungkapkan bahwa lahan yang telah ia miliki secara sah rusak akibat aktivitas tambang. Lebih dari sekali ia mengajukan keberatan dan permintaan ganti rugi kepada pihak perusahaan, namun hingga saat ini tidak ada penyelesaian konkret yang diberikan.
“Kami ini memang orang kecil, tidak berpendidikan tinggi, tapi kami juga punya hak,” ujar Tarmidi dengan nada kecewa.
Ia menegaskan bahwa meskipun berasal dari kalangan masyarakat biasa, hak atas tanah miliknya harus dihormati dan dilindungi sebagaimana mestinya. Ketidakjelasan tanggapan dari pihak perusahaan telah menimbulkan kekecewaan mendalam.
Tarmidi pun mengingatkan bahwa apabila tidak ada penyelesaian secara damai, masyarakat bisa mengambil langkah lebih jauh. “Jangan sampai kami masyarakat yang turun langsung dan akhirnya dicap sebagai preman. Jika persoalan ini juga tidak bisa diselesaikan secara baik-baik, maka kami akan mengambil langkah tegas dengan melaporkan persoalan ini ke aparat penegak hukum,” ungkapnya.
Pernyataan ini mencerminkan betapa warga merasa tak punya pilihan lain selain memperjuangkan hak mereka sendiri, dalam situasi yang mereka nilai tidak adil.
Legalitas Kepemilikan Lahan Tak Terbantahkan
Pemerintah desa setempat juga memberikan dukungan terhadap klaim Tarmidi. Kepala Desa Limbung, Reza-Red, yang ditemui di Kampung Centeng, menegaskan bahwa lahan yang disengketakan telah memiliki dasar hukum yang sah.
“Surat hak milik atau haklasak tersebut telah kami terbitkan secara resmi dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Jadi tidak ada alasan bagi pihak perusahaan untuk berkelit,” ujarnya tegas.
Pernyataan ini memperkuat posisi Tarmidi dalam konflik yang tengah berlangsung. Legitimasi surat kepemilikan menjadi dasar utama dalam upaya warga menuntut keadilan atas tindakan yang mereka anggap sebagai bentuk perusakan lahan oleh PT TTU.
Menurut Reza-Red, perusahaan seharusnya patuh pada regulasi yang berlaku, termasuk dalam hal tanggung jawab terhadap dampak kegiatan operasionalnya di wilayah masyarakat.
Ada Aturan Hukum yang Bisa Diterapkan
Kasus ini juga menyinggung aspek hukum pidana yang dapat dikenakan terhadap pihak yang terbukti melakukan perusakan properti milik orang lain. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 406 menyatakan: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah.”
Dengan demikian, jika bukti perusakan benar adanya dan terbukti dilakukan oleh pihak perusahaan, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perusakan barang.
Namun, meskipun peraturan jelas dan keluhan telah berulang kali disampaikan, Tarmidi merasa tidak ada tindakan nyata dari pihak berwenang. Hal ini memunculkan dugaan ketimpangan perlakuan antara warga biasa dan pelaku usaha.
Tarmidi menyayangkan sikap aparat dan pemerintah yang dinilainya cenderung pasif, padahal masyarakat sangat membutuhkan perlindungan dari negara dalam menghadapi ketidakadilan.
Ketimpangan Perlakuan Terhadap Warga dan Investor
Kekecewaan Tarmidi bukan tanpa alasan. Ia menilai bahwa dalam banyak kasus, perusahaan atau investor justru lebih sering mendapat perlindungan, sementara hak-hak masyarakat lokal cenderung diabaikan.
Kondisi ini menurutnya menciptakan ketimpangan dalam penegakan hukum dan memperkuat kesan bahwa suara masyarakat kecil tidak punya daya tawar di hadapan korporasi besar.
“Kalau seperti ini terus, masyarakat akan merasa hukum tidak berpihak. Harus ada keadilan,” ujar Tarmidi.
Pernyataan ini menggambarkan keresahan kolektif warga desa yang selama ini menjadi saksi dampak dari kegiatan pertambangan di wilayahnya.
Seruan Agar Negara Hadir untuk Rakyat
Konflik lahan yang melibatkan perusahaan tambang bukan fenomena baru. Namun kasus Tarmidi kembali menggarisbawahi pentingnya kehadiran negara dalam menjamin hak-hak masyarakat, terutama yang berada di wilayah yang menjadi target aktivitas industri ekstraktif.
Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum diminta tidak tutup mata atas persoalan yang menyentuh kehidupan dasar masyarakat.
Ketika jalur mediasi tak membuahkan hasil, dan aparat tak menunjukkan keberpihakan terhadap kebenaran, maka tak heran bila masyarakat akhirnya merasa perlu menyuarakan ketidakpuasannya secara terbuka.
Kasus Tarmidi bisa menjadi momentum refleksi bagi seluruh pihak, bahwa pembangunan ekonomi—termasuk yang melibatkan sektor tambang—harus tetap berpijak pada prinsip keadilan sosial.
Jika dibiarkan tanpa penanganan serius, konflik-konflik seperti ini akan terus menggerus kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan pemerintah. Negara harus memastikan bahwa tidak ada warga yang kehilangan hak atas tanahnya hanya karena berhadapan dengan perusahaan tambang besar.