Petani

Petani Masih Terpinggirkan

Petani Masih Terpinggirkan
Petani Masih Terpinggirkan

JAKARTA - Ketika strategi pembangunan nasional dikaji ulang dalam rapat antara DPR dan Kementerian Keuangan, muncul satu kegelisahan yang mencuat dari kalangan legislatif: kesejahteraan petani dan nelayan tidak lagi tercermin dalam indikator resmi pembangunan. Pertanyaan itu datang dari Wakil Ketua Komisi XI DPR, Dolfie OFP, yang mewakili Fraksi PDI Perjuangan. Ia menyoroti absennya nilai tukar petani (NTP) dan nilai tukar nelayan (NTN) dalam dokumen resmi KEM-PPKF (Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal) yang dijadikan acuan pembangunan nasional tahun depan.

Dalam forum resmi yang berlangsung, Dolfie menyatakan keterkejutannya. “Saya baca di buku KEM-PPKF, sasaran pembangunan sudah tidak lagi memasukkan nilai tukar petani dan nilai tukar nelayan sebagai indikator,” ungkapnya di ruang rapat Komisi XI DPR.

Pernyataan itu bukan sekadar keluhan teknis. Ia mempertanyakan lebih dalam: apakah ketidakhadiran indikator tersebut mencerminkan perubahan paradigma dalam perencanaan pembangunan? Apakah pemerintah sudah tidak lagi menjadikan kesejahteraan petani dan nelayan sebagai prioritas yang terukur secara eksplisit?

“Apakah ada indikator baru untuk menggantikan ini atau pemerintah sudah tidak lagi menganggap indikator petani dan indikator nelayan ini penting,” tanya Dolfie lebih lanjut, menyoroti kemungkinan pergeseran fokus kebijakan fiskal yang bisa berdampak pada masyarakat akar rumput, terutama pelaku sektor pertanian dan perikanan.

Menanggapi kegelisahan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak tinggal diam. Ia menyampaikan permohonan maaf atas kekeliruan tersebut dan memastikan bahwa perhatian terhadap petani dan nelayan tidak hilang dari radar pemerintah, meski tidak tertulis secara eksplisit dalam dokumen utama.

“Pak Dolfie, saya meminta maaf kalau NTP dan NTN tidak ada di dalam dokumen. Tapi, dua hal tersebut masih dalam indikator yang kita monitor,” tegas Sri Mulyani dalam rapat yang sama.

Meski begitu, klarifikasi tersebut menyisakan pertanyaan lebih besar: jika indikator tersebut tetap dipantau, mengapa tak dicantumkan dalam dokumen strategis sekelas KEM-PPKF yang menjadi rujukan utama dalam perencanaan dan penganggaran nasional?

Penghapusan indikator NTP dan NTN dari dokumen itu dianggap sebagian kalangan sebagai sinyal bahwa fokus pembangunan ekonomi cenderung lebih makro dan mungkin kurang membumi. Padahal, nilai tukar petani dan nelayan selama ini menjadi tolok ukur penting dalam menilai tingkat kesejahteraan dua kelompok masyarakat yang sangat rentan terhadap fluktuasi harga dan tekanan pasar.

NTP, misalnya, mencerminkan kemampuan petani dalam memperoleh barang dan jasa dari hasil produksi pertaniannya. Jika nilainya turun, berarti daya beli petani menurun—suatu kondisi yang bisa mengindikasikan penurunan kesejahteraan. Hal yang sama berlaku untuk NTN yang merefleksikan kemampuan nelayan dalam mempertahankan kehidupan ekonomi mereka dari hasil melaut.

Dengan menghilangkan kedua indikator ini dari dokumen resmi, muncul risiko bahwa kebijakan fiskal tidak lagi berpijak pada realitas keseharian masyarakat desa yang menggantungkan hidup dari sawah dan laut. Padahal, dalam kerangka pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan, perhatian terhadap sektor-sektor dasar seperti pertanian dan perikanan tidak boleh dipinggirkan.

Sebagai negara agraris dan maritim, Indonesia menyimpan kekayaan luar biasa dari sektor ini. Namun, ironisnya, petani dan nelayan justru sering berada di posisi paling rapuh dalam struktur ekonomi. Mereka menghadapi tantangan mulai dari akses modal yang terbatas, ketergantungan pada tengkulak, perubahan iklim, hingga harga komoditas yang tidak stabil.

Dengan tidak lagi mencantumkan NTP dan NTN sebagai indikator utama pembangunan, kekhawatiran muncul bahwa suara-suara dari desa, ladang, dan lautan akan semakin tenggelam dalam keramaian angka-angka makroekonomi yang abstrak.

Di sisi lain, pemerintah memang berusaha melakukan transformasi ekonomi, menggenjot sektor industri, pariwisata, dan digitalisasi. Namun, agenda besar ini tetap membutuhkan fondasi kuat dari sektor primer. Jika kesejahteraan petani dan nelayan tidak dijaga, maka ketahanan pangan, ketahanan ekonomi lokal, dan stabilitas sosial pun bisa terganggu.

Kritik dari Dolfie tidak berdiri sendiri. Ia mencerminkan keresahan yang lebih luas tentang arah kebijakan fiskal yang mulai dirasakan menjauh dari realitas rakyat kecil. Sebagai perwakilan rakyat, ia mengingatkan pemerintah agar tidak terjebak pada data dan proyeksi yang hanya menguntungkan segelintir lapisan masyarakat.

Dalam konteks ini, permintaan maaf dari Menteri Keuangan tentu penting, tetapi lebih dari itu, dibutuhkan perbaikan nyata dalam penyusunan dokumen perencanaan agar tetap berpihak pada kelompok rentan. Petani dan nelayan harus tetap menjadi bagian dari strategi pembangunan nasional yang adil dan merata.

Apalagi, ke depan, tantangan global seperti krisis pangan, perubahan iklim, dan tekanan geopolitik akan semakin memengaruhi sektor pertanian dan kelautan. Pemerintah perlu menjamin bahwa perhatian terhadap kelompok ini bukan hanya bersifat simbolik, tetapi terukur dan terintegrasi dalam kebijakan strategis.

Dengan demikian, suara kritis dari DPR bisa menjadi momentum evaluasi bersama bahwa dalam merancang masa depan ekonomi, kesejahteraan petani dan nelayan harus kembali dimasukkan sebagai indikator resmi dan konkret. Sebab, tanpa mereka, fondasi ekonomi Indonesia bisa goyah.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index