Panas Bumi

Panas Bumi Dorong Masa Depan Hijau

Panas Bumi Dorong Masa Depan Hijau
Panas Bumi Dorong Masa Depan Hijau

JAKARTA - Upaya pemanfaatan energi terbarukan dari panas bumi di kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) kembali mengundang perhatian publik. Proyek yang masuk dalam skema Proyek Strategis Nasional (PSN) ini menandai langkah pemerintah dan pemangku kepentingan dalam menjawab kebutuhan energi ramah lingkungan. Namun, respons dari masyarakat sekitar menunjukkan pentingnya membangun dialog yang inklusif dan saling memahami antara pihak pengelola kawasan dan warga yang terdampak langsung.

Balai Besar TNGGP sebagai pengelola kawasan hutan konservasi telah mengundang para penggarap lahan dalam surat resmi. Dalam surat tersebut, sebanyak 79 warga diundang hadir ke kantor Balai Besar TNGGP di Cibodas, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur Pertemuan itu ditujukan untuk pemutakhiran data penggarap dan orientasi batas area kerja eksplorasi panas bumi yang rencananya dilakukan di lahan seluas 5,46 hektare.

Kepala Balai Besar TNGGP, Arief Mahmud, menandatangani surat tersebut sebagai bagian dari tahapan prosedural yang diperlukan agar proyek strategis ini berjalan sesuai ketentuan. Langkah ini juga menjadi upaya membuka ruang komunikasi kepada warga yang tinggal dan beraktivitas di sekitar lereng Gunung Gede-Pangrango.

Namun demikian, lebih dari 100 warga yang hadir menanggapi undangan tersebut dengan cara berbeda. Mereka menyampaikan pandangan kritis dan kekhawatiran atas dampak proyek panas bumi yang digarap oleh PT Daya Mas Geopatra Pangrango, anak usaha dari grup Sinar Mas. Perusahaan tersebut mulai melakukan eksplorasi sejak paruh kedua, termasuk pembangunan akses jalan serta tahapan pembebasan lahan untuk pengeboran.

“Saya bukan penggarap lahan. Tidak punya tanah garapan. Saya datang ke sini dan menolak geotermal karena mengancam ruang hidup saya,” ujar Soenarjo Sugiarto, warga lereng Gunung Gede-Pangrango yang turut hadir dalam pertemuan itu.

Soenarjo, yang akrab disapa Aryo, menyuarakan keprihatinannya atas keberadaan proyek panas bumi yang menurutnya dapat mempengaruhi keseimbangan alam, ekosistem hutan, serta kualitas udara di sekitarnya.

“Geotermal akan merusak warisan leluhur, ekosistem hutan dan bentang air serta meracuni udara,” katanya. Ia pun menyuarakan keberatan kepada para petugas yang berjaga: “Yang di dalam situ ada yang bisa menyangkal bahwa geotermal meracuni udara? Silakan disangkal.”

Suara-suara seperti Aryo mencerminkan kebutuhan untuk pendekatan yang lebih terbuka dan dialogis antara pengelola proyek dan warga sekitar. Isu yang mengemuka tak hanya berkaitan dengan pemanfaatan lahan, tetapi juga menyangkut keberlanjutan sumber daya air, yang menjadi sandaran kehidupan bagi jutaan orang di kawasan Jabodetabek dan Jawa Barat.

Gunung Gede-Pangrango dikenal sebagai hulu dari empat Daerah Aliran Sungai (DAS) penting, yaitu Citarum, Cimandiri, Cisadane, dan Ciliwung. Potensi air dari kawasan ini sangat besar. Tercatat ada 94 titik mata air di kawasan TNGGP dengan debit total 594,6 miliar liter per tahun atau 191,1 juta liter per detik cukup untuk menopang kebutuhan air bersih bagi sekitar 30 juta penduduk.

“Air-air yang mengalir dari Gunung Gede-Pangrango bukan hanya turun ke seluruh Cianjur, melainkan juga Bogor, Sukabumi hingga Provinsi Banten,” ungkap Cece Jaelani, salah satu warga yang turut menyampaikan aspirasi dalam aksi tersebut.

Berbagai pihak sepakat bahwa panas bumi merupakan sumber energi bersih yang potensial, namun lokasi eksplorasi yang berada di kawasan konservasi menghadirkan tantangan tersendiri. Apalagi, kawasan TNGGP memiliki nilai ekologis tinggi dan fungsi sebagai kawasan penyangga air dan pelindung keanekaragaman hayati.

Aksi warga berlangsung damai selama kurang lebih tiga jam hingga pukul 17.00 WIB. Para peserta menyampaikan pandangan secara terbuka, berharap agar suara mereka menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan. Meski Kepala Balai Besar TNGGP, Arief Mahmud, tidak tampak hadir saat itu, momentum ini memperlihatkan bahwa komunikasi dua arah sangat diperlukan agar proyek energi terbarukan bisa berjalan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai lingkungan dan sosial.

Panas bumi sendiri merupakan sumber energi dari dalam bumi yang sangat menjanjikan dan masuk dalam portofolio energi masa depan Indonesia. Dukungan regulasi, termasuk status proyek sebagai PSN, menunjukkan betapa seriusnya negara dalam mendorong transisi energi. Namun keberhasilan proyek tidak hanya diukur dari pembangunan fisik, tetapi juga dari tingkat penerimaan masyarakat lokal.

Ke depan, sinergi yang erat antara pemerintah, perusahaan pengelola proyek, pengelola kawasan konservasi, dan masyarakat menjadi kunci utama agar panas bumi benar-benar bisa menjadi solusi ramah lingkungan tanpa meninggalkan aspek sosial dan budaya yang hidup di tengah masyarakat.

Dengan semangat kolaborasi dan keterbukaan, proyek panas bumi di Gunung Gede-Pangrango diharapkan dapat menjadi contoh penerapan energi hijau yang adil, lestari, dan membawa manfaat berkelanjutan bagi semua pihak.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index