JAKARTA - Potensi nikel yang tersimpan di perut bumi Sulawesi Tenggara kembali menjadi sorotan, terutama di Pulau Kabaena. Pulau kecil ini bukan hanya menjadi daya tarik bagi para pemilik modal karena melimpahnya cadangan nikel, tetapi juga mencerminkan bagaimana kekayaan sumber daya alam dapat menjadi berkah sekaligus tantangan, tergantung dari cara pengelolaannya.
Seiring meningkatnya kebutuhan global terhadap nikel sebagai bahan baku utama baterai kendaraan listrik, Pulau Kabaena kini menjadi titik fokus investasi. Sayangnya, dinamika di lapangan menunjukkan bahwa ekspansi industri tambang nikel di wilayah ini perlu ditata ulang agar selaras dengan keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat.
Sisi Lain Eksplorasi Tambang di Kabaena
Hasil riset yang dilakukan oleh WALHI dan Satya Bumi menyoroti realitas sosial dan lingkungan di empat desa utama di Kabaena, yakni Liwu Lompona, Talaga Besar, Kokoe, dan Wulu. Di desa-desa ini, masyarakat menggantungkan hidupnya pada hasil laut dan pertanian. Namun, kegiatan pertambangan telah memicu pencemaran air laut, menyebabkan hilangnya sumber pendapatan warga yang selama ini mengandalkan sumber daya alam pesisir.
Menyikapi fenomena ini, WALHI dan Satya Bumi mengungkap bahwa Pulau Kabaena telah dijadikan lokasi aktivitas pertambangan oleh sedikitnya 15 perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), dengan total konsesi mencapai lebih dari 37 ribu hektare. Beberapa konsesi bahkan tercatat berada di kawasan hutan lindung, yang semestinya bebas dari aktivitas ekstraktif.
Kehadiran industri ini di pulau kecil seluas 891 km² dinilai belum sepenuhnya mencerminkan semangat Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil. Ketentuan hukum tersebut melarang pertambangan di wilayah pulau kecil, dan telah dikuatkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 35/PUU-XXI/2023.
Suara dari Masyarakat dan Aktivis
Menurut Gian Purnamasari, Staf Advokasi Hutan dan Kebun WALHI Sulawesi Tenggara, potensi ekonomi dari sektor tambang nikel tidak secara otomatis berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ia menyoroti bahwa kontribusi tertinggi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) justru berasal dari sektor perikanan dan pertanian.
“Kondisi Sultra terkait tambang menunjukkan bahwa meskipun provinsi ini punya cadangan nikel terbesar, justru sektor non-tambang yang paling banyak menyumbang PDRB. Tapi bagaimana bisa masyarakat bertani atau melaut jika laut dan lingkungan sudah tercemar?” ujar Gian.
Lebih lanjut, Gian menyampaikan kekhawatiran terhadap revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sulawesi Tenggara, yang dinilai membuka jalan bagi legalisasi tambang di pulau-pulau kecil seperti Kabaena dan Wawonii. Ia menilai, arah kebijakan semacam ini bertentangan dengan semangat perlindungan lingkungan dan kedaulatan masyarakat atas ruang hidupnya.
Tantangan Kesehatan dan Lingkungan
Juru kampanye Satya Bumi, Salma Inaz Firdaus, memaparkan bahwa ancaman tambang tidak berhenti pada kerusakan lingkungan saja, tetapi juga menyentuh aspek kesehatan masyarakat. Berdasarkan uji laboratorium, ditemukan kadar nikel dalam urin warga Kabaena berkisar antara 4,77 hingga 36,07 µg/L, dengan rata-rata 16,65 µg/L. Angka ini jauh lebih tinggi dari kadar rata-rata populasi umum yang hanya sekitar 1,11 µg/L.
Temuan ini menjadi perhatian serius karena paparan logam berat seperti nikel dapat menimbulkan efek jangka panjang. Nikel diketahui meningkatkan stres oksidatif dalam tubuh, menyebabkan peradangan kronis, dan dapat memicu berbagai penyakit metabolik seperti diabetes tipe 2 serta kanker.
“Temuan ini menguatkan bahwa aktivitas tambang telah berdampak langsung pada tubuh manusia yang tinggal di sekitar area eksplorasi,” kata Inaz.
Harapan untuk Perbaikan Tata Kelola
Meski terdapat berbagai tantangan, harapan terhadap perubahan tetap menyala. Masyarakat setempat terus menyuarakan aspirasi mereka, meminta agar pemerintah mencabut IUP perusahaan tambang yang beroperasi di Kabaena. Bagi mereka, reboisasi atau upaya pemulihan lingkungan tidak akan cukup jika akar masalahnya, yaitu izin tambang, tetap diberlakukan.
“Tuntutan masyarakat ditutup atau dicabut IUP-nya. Karena kalaupun dilakukan reboisasi tapi hal dasarnya tidak berubah, maka itu percuma,” ujar Gian lagi.
Sementara itu, Kepala Bidang Minerba Dinas ESDM Sultra, Muhammad Hisbullah Idris, menjelaskan bahwa kewenangan pengawasan kini berada langsung di tangan Kementerian ESDM. Hal ini menandakan perlunya koordinasi lebih kuat antara pemerintah pusat dan daerah untuk menjamin penegakan aturan yang adil dan menyeluruh.
Dinas Lingkungan Hidup Sultra melalui Ibnu Hendro Prasetianto juga menyampaikan bahwa sanksi administrasi sudah diberlakukan atas temuan pelanggaran, dan pihak kabupaten telah mengambil tindakan sesuai dengan rekomendasi dari pusat.
Menuju Investasi yang Lebih Manusiawi dan Berkelanjutan
Pengelolaan sumber daya alam seperti nikel semestinya tidak hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi semata. Investasi yang baik harus memperhatikan aspek sosial dan ekologis, memastikan bahwa kemakmuran bukan hanya dinikmati oleh segelintir pihak, tetapi juga menjadi berkah bagi masyarakat setempat.
Jika investasi justru merambah hutan, mencemari laut, dan menyulitkan kehidupan masyarakat, maka perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap arah kebijakan dan pelaksanaan di lapangan. Suara masyarakat Kabaena adalah panggilan bagi seluruh pemangku kepentingan untuk membangun paradigma baru pengelolaan tambang yang manusiawi, adil, dan berkelanjutan.
Dengan tata kelola yang lebih bijak, potensi nikel di Sulawesi Tenggara bisa menjadi harapan masa depan yang membawa manfaat bagi bangsa dan daerah, bukan sekadar angka di neraca perdagangan.