JAKARTA — Rencana ambisius Uni Eropa (UE) yang mengarah pada elektrifikasi armada kendaraan sewa dan korporasi besar mulai 2030 mendapat sorotan penting dari Kanselir Jerman Friedrich Merz. Dalam pernyataannya, Merz tidak serta-merta menolak transisi ke kendaraan listrik, melainkan menekankan pentingnya pendekatan yang lebih realistis dan fleksibel dalam mengatur transisi tersebut.
Merz menyoroti bahwa transformasi menuju teknologi kendaraan listrik memang merupakan arah masa depan, namun perlu diseimbangkan dengan kesiapan industri dan pasar. Ia menilai bahwa jika transisi ini dilakukan dengan pendekatan yang terlalu kaku, justru dapat menimbulkan tantangan serius bagi industri otomotif Eropa yang selama ini menjadi salah satu penopang ekonomi kawasan.
“Kita tidak boleh membiarkannya hancur dengan berfokus pada teknologi yang mungkin belum cukup siap pasar pada tanggal tertentu sehingga orang hanya mengandalkan satu teknologi tunggal tersebut,” ujar Merz, memperingatkan bahwa kekakuan dalam kebijakan dapat berdampak pada daya saing sektor otomotif di Eropa.
Pernyataan tersebut disampaikan Merz kepada awak media pada awal pekan ini. Ia mengacu pada laporan yang dipublikasikan oleh Bild Zeitung, tabloid Jerman yang menyebut bahwa UE tengah menyusun kebijakan baru yang mewajibkan armada kendaraan sewa dan milik korporasi besar untuk beralih sepenuhnya ke kendaraan listrik mulai tahun 2030.
Kebijakan tersebut, jika diimplementasikan, akan menyasar armada korporasi yang selama ini mewakili sekitar 60% dari total penjualan mobil baru di Eropa. Dengan demikian, perubahan tersebut berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap struktur permintaan, produksi, dan infrastruktur kendaraan listrik.
Namun menurut Merz, proposal ini belum sepenuhnya merepresentasikan kondisi dan kebutuhan nyata yang dihadapi negara-negara Eropa saat ini. Ia menyebut bahwa pendekatan yang terlalu menitikberatkan pada satu solusi teknologi dapat mengabaikan kompleksitas dan tantangan yang masih harus diatasi, mulai dari kesiapan infrastruktur pengisian daya, biaya produksi, hingga ketahanan rantai pasok.
“Proposal tersebut benar-benar meleset dari kebutuhan bersama yang saat ini kita miliki di Eropa,” tegasnya.
Di balik kritik yang disampaikannya, Merz menyampaikan pandangan konstruktif dengan menyerukan keterbukaan dan kecepatan dalam proses transisi energi dan digitalisasi di kawasan Eropa. Ia menilai bahwa perubahan ke arah masa depan seharusnya mendorong kolaborasi, inovasi, dan keberanian untuk mengambil langkah yang realistis dan inklusif.
Lebih jauh, Merz menekankan pentingnya peran Jerman dalam membentuk arah kebijakan Uni Eropa. Sebagai negara yang berkontribusi sebesar seperempat dari anggaran UE, menurutnya Jerman memiliki hak sekaligus tanggung jawab untuk ikut menentukan strategi besar yang akan ditempuh oleh blok tersebut.
Ia menambahkan, Jerman memiliki komitmen untuk mendorong Eropa menjadi kawasan yang lebih terbuka, tangkas, dan adaptif dalam menghadapi tantangan zaman. Dalam konteks itu, peralihan ke kendaraan listrik merupakan langkah positif, namun tidak boleh dilakukan secara terburu-buru tanpa mempertimbangkan kesiapan dan dampaknya terhadap sektor-sektor yang terlibat langsung.
Pernyataan Merz ini datang pada saat perdebatan seputar kebijakan lingkungan dan netralitas karbon di Eropa kian mengemuka. Banyak negara anggota UE tengah mengejar target ambisius untuk menurunkan emisi karbon di berbagai sektor, termasuk transportasi. Kendaraan listrik dinilai sebagai solusi utama yang dapat membantu pencapaian target tersebut.
Namun demikian, proses elektrifikasi tidak terlepas dari tantangan teknis dan ekonomis. Infrastruktur pengisian daya yang masih belum merata, harga baterai yang masih tinggi, serta keterbatasan pasokan bahan baku untuk produksi baterai merupakan sejumlah hambatan yang masih dihadapi. Selain itu, tidak semua negara anggota memiliki tingkat kesiapan yang sama dalam mendukung adopsi kendaraan listrik secara masif.
Merz berharap agar kebijakan yang diambil ke depan dapat mencerminkan pendekatan yang lebih seimbang. Ia mendorong agar setiap langkah diambil berdasarkan fakta di lapangan, mempertimbangkan dinamika pasar, dan membuka ruang bagi berbagai teknologi alternatif untuk berkembang secara berdampingan.
Dengan kata lain, menurut Merz, strategi keberlanjutan harus tetap mengutamakan inovasi dan keragaman solusi, bukan sekadar terpaku pada satu pendekatan tunggal. “Eropa perlu menjadi lebih terbuka, lebih cepat, dan lebih dinamis,” tegasnya.
Pernyataan tersebut bukan sekadar kritik, melainkan refleksi dari aspirasi untuk menjadikan transformasi industri sebagai peluang besar, bukan beban. Di tengah perubahan besar menuju era energi bersih, Merz mengajak agar transisi tersebut dirancang secara inklusif dan berbasis pada kekuatan nyata industri Eropa.
Langkah ini juga diharapkan dapat memberikan ruang bagi perusahaan otomotif, baik besar maupun kecil, untuk menyesuaikan diri secara bertahap, serta mendukung ekosistem industri yang berkelanjutan dalam jangka panjang.
Dengan membangun dialog terbuka antara pembuat kebijakan, industri, dan masyarakat, Eropa diyakini akan mampu mewujudkan sistem transportasi ramah lingkungan yang kuat, efisien, dan mendukung pertumbuhan ekonomi hijau ke depan.