JAKARTA - Pasar minyak global masih menunjukkan ketahanan meskipun terdapat tekanan dari kebijakan sanksi terbaru yang diberlakukan Uni Eropa terhadap Rusia. Harga minyak dunia pada perdagangan Senin ditutup sedikit melemah, mencerminkan bahwa pelaku pasar cenderung memandang sanksi tersebut tidak akan menimbulkan gangguan besar terhadap pasokan global.
Harga minyak mentah Brent tercatat turun tipis sebesar 7 sen atau 0,1% menjadi US$ 69,21 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) milik Amerika Serikat juga mengalami penurunan 14 sen atau 0,2%, ditutup di angka US$ 67,20 per barel.
Sentimen pasar relatif stabil, meskipun pekan lalu Uni Eropa mengesahkan paket sanksi ke-18 terhadap Rusia terkait konflik yang berlangsung di Ukraina. Salah satu poin dalam paket sanksi tersebut menargetkan Nayara Energy India, yang dikenal sebagai pengekspor produk minyak hasil olahan dari minyak mentah Rusia.
Kendati demikian, pelaku pasar tampaknya tidak mengkhawatirkan secara berlebihan dampak langsung dari sanksi tersebut terhadap distribusi minyak. “Pasar saat ini berpikir bahwa pasokan masih akan sampai ke pasar dengan satu atau lain cara. Tidak ada terlalu banyak kekhawatiran,” ungkap John Kilduff, mitra di Again Capital, New York.
Hal senada disampaikan oleh pihak Kremlin. Juru bicara Dmitry Peskov menyebut bahwa Rusia telah membentuk daya tahan tertentu terhadap tekanan sanksi yang diberikan negara-negara Barat. Dengan demikian, fluktuasi pasokan yang mungkin terjadi dinilai tidak akan menimbulkan gangguan besar pada ekosistem energi global.
Sanksi terbaru ini juga muncul tidak lama setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengeluarkan ancaman terhadap pihak-pihak yang tetap membeli ekspor Rusia. Trump memperingatkan bahwa sanksi akan diberlakukan kepada para pembeli minyak Rusia, kecuali Moskow menyetujui perjanjian damai dalam waktu 50 hari.
Meski pasar relatif tenang terhadap dampak utama sanksi, kekhawatiran muncul dari aspek lain yang lebih spesifik, yakni potensi penurunan pasokan solar dan produk minyak sulingan lainnya. Para analis dari ING mencatat bahwa salah satu bagian dari sanksi, yaitu larangan impor produk olahan dari minyak Rusia yang diproses di negara ketiga, dapat memberikan pengaruh terhadap pasar. Meskipun begitu, pengawasan terhadap ketentuan tersebut dinilai akan cukup sulit untuk dilakukan secara konsisten.
Kekhawatiran soal suplai solar mulai terasa dalam sesi perdagangan sore hari. “Seiring berjalannya hari, selisih harga minyak diesel mulai menguat, menunjukkan bahwa pasar tidak dapat mengabaikan fakta bahwa gangguan apa pun dalam pasokan minyak Rusia dapat memperketat pasokan minyak diesel, dan hal itu tampaknya memberi kita sedikit dukungan hari ini,” jelas Phil Flynn, analis senior di Price Futures Group.
Kondisi ini tercermin pada kenaikan premi minyak gas rendah sulfur berjangka terhadap minyak Brent. Pada hari Senin, selisih tersebut mencapai US$ 26,31 per barel, naik sekitar 3% dan menandai penutupan tertinggi sejak Februari 2024. Ini menjadi indikator penting bahwa pasar masih memperhitungkan adanya risiko pada sektor produk minyak turunan tertentu meskipun harga minyak mentah secara keseluruhan cenderung datar.
Flynn juga menambahkan, “Kita memiliki sedikit ruang untuk kesalahan di sisi minyak mentah, barel dapat sedikit diubah, tetapi lebih sulit untuk diubah di tengah pasokan minyak diesel yang ketat.”
Selain fokus pada Rusia, dinamika di Iran juga menjadi perhatian pasar. Negara produsen minyak ini dijadwalkan akan menggelar pertemuan nuklir dengan Inggris, Prancis, dan Jerman di Istanbul. Pertemuan tersebut merupakan tindak lanjut dari peringatan ketiga negara Eropa, yang menyatakan bahwa kegagalan untuk melanjutkan negosiasi dapat memicu kembali sanksi internasional terhadap Iran.
Di sisi lain, indikator-indikator dari dalam negeri Amerika Serikat turut memberikan gambaran tentang potensi tren pasokan ke depan. Data mingguan dari Baker Hughes menunjukkan bahwa jumlah rig minyak aktif turun dua unit menjadi 422 rig, angka terendah sejak September 2021.
Menanggapi data tersebut, analis dari StoneX, Alex Hodes, menyatakan, “Pengeboran yang berfokus pada minyak diperkirakan akan tetap rendah hingga akhir tahun.” Namun, ia menambahkan bahwa harga saat ini belum cukup rendah untuk mengurangi investasi secara signifikan. “Meskipun demikian, kita belum mendekati harga yang memungkinkan penurunan investasi yang signifikan,” ujarnya.
Sementara itu, ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Uni Eropa kembali mencuat menjelang diberlakukannya tarif AS terhadap impor dari Eropa mulai 1 Agustus mendatang. Meski begitu, Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick, menyampaikan optimisme bahwa kesepakatan perdagangan masih bisa dicapai antara kedua pihak.
John Kilduff menilai, ketegangan dagang ini bisa berdampak pada permintaan minyak. Ia mengatakan bahwa tarif dapat memberikan tekanan terhadap aktivitas ekonomi secara umum, dan pada akhirnya juga berpotensi menurunkan permintaan energi.
Walau diwarnai berbagai dinamika global, sentimen pasar tetap terkendali dengan potensi dukungan tambahan datang dari laporan inventaris minyak. Tony Sycamore, analis pasar dari IG, menyebut bahwa data stok minyak bisa menjadi pendorong harga apabila menunjukkan pengetatan pasokan.
Dengan demikian, harga minyak saat ini mencerminkan dinamika kompleks antara tekanan sanksi, ketahanan pasokan global, dan sentimen terhadap potensi gangguan di sektor produk olahan. Meski fluktuasi tetap terjadi, ketahanan pasar minyak menunjukkan bahwa sektor ini masih mampu menyerap tekanan global dengan stabilitas yang relatif terjaga.