JAKARTA - Dalam upaya memperkuat tata kelola pinjaman daring (pindar) atau peer to peer (P2P) lending yang terus menunjukkan pertumbuhan pesat, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengambil langkah progresif dengan menyusun kebijakan yang lebih terstruktur. Langkah ini mencakup penguatan perlindungan bagi pemberi dan penerima pinjaman melalui skema agunan dan pembentukan konsorsium asuransi khusus.
Perkembangan sektor pindar di Indonesia semakin mencolok. Data menunjukkan bahwa hingga 2025, total outstanding pendanaan di sektor ini telah menembus Rp 82,59 triliun. Angka tersebut mencerminkan pertumbuhan sebesar 27,93 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Tak hanya itu, aset industri ini juga mencatatkan pertumbuhan positif sebesar 32,17 persen (yoy), menjadi Rp 9,67 triliun.
Melihat laju ekspansi yang tinggi ini, OJK bergerak cepat agar industri tetap berada di jalur yang sehat dan berkelanjutan. Salah satu terobosan utama yang tengah disiapkan adalah kewajiban agunan bagi platform pindar. Tujuannya untuk memberikan kepastian perlindungan bagi pihak lender agar tidak dirugikan bila terjadi gagal bayar.
“Kalau pindar, kita menyarankan harus ada agunan ke depan, karena jumlahnya ke depan semakin besar. Kita sedang siapkan (aturannya). Best practice internasional juga begitu, jangan sampai para lender jadi korban karena nggak dibayar,” ujar Agusman, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK.
Upaya ini menandakan keseriusan OJK dalam memastikan ekosistem pinjaman digital memiliki pondasi yang kuat dari sisi mitigasi risiko. Skema agunan yang dirancang akan menambah rasa aman bagi lender tanpa menghambat akses pembiayaan yang selama ini menjadi kekuatan utama dari sistem pindar.
Namun tidak hanya soal agunan, OJK juga melihat kebutuhan akan proteksi tambahan melalui sektor asuransi. Sejauh ini, memang sudah ada beberapa penyedia layanan pindar yang menyediakan perlindungan asuransi. Tetapi OJK menilai penting untuk mendorong adanya konsorsium yang dapat memberikan jaminan secara lebih luas dan terstruktur.
“Kita atur skema asuransi, penjaminan, karena sekarang kan belum tersedia asuransinya. Idealnya memang ada pembiayaan yang diasuransikan, saat ini sebenarnya sudah ada beberapa pindar yang diasuransikan. Tapi kita dorong ada konsorsium asuransi untuk menyerap itu,” jelas Agusman.
Langkah tersebut membuka ruang kolaborasi antara industri teknologi finansial dan perusahaan asuransi untuk menciptakan model perlindungan yang adaptif. Konsorsium asuransi nantinya diharapkan dapat menjawab kebutuhan sektor yang memiliki karakteristik risiko unik, serta memperkuat kepercayaan publik terhadap layanan ini.
Tidak hanya dari sisi perlindungan risiko, OJK juga meningkatkan standar kelayakan finansial para penyelenggara P2P Lending. Salah satu kebijakan strategis adalah menaikkan persyaratan modal minimum dari sebelumnya Rp 7,5 miliar menjadi Rp 12,5 miliar. Ketentuan ini akan mulai berlaku secara efektif pada Juli 2025.
Penyesuaian modal ini bukan tanpa alasan. Menurut Agusman, OJK ingin memastikan bahwa hanya penyelenggara yang benar-benar siap secara finansial dan operasional yang dapat bertahan dan melayani masyarakat. OJK bahkan menerapkan kebijakan moratorium atau penghentian sementara penerbitan izin baru.
“Modal ini dinaikan terus, sebelumnya Rp 2,5 miliar, sekarang Rp 12,5 miliar. Sekarang kami moratorium, nggak ada izin baru yang kami terbitkan. Kami ingin memastikan ini sehat dulu,” tambahnya.
Kebijakan moratorium memberikan ruang bagi OJK untuk melakukan evaluasi dan penyesuaian menyeluruh terhadap industri. Hal ini juga sekaligus memastikan bahwa penyelenggara yang sudah berizin dapat mematuhi regulasi yang ada dan memberikan layanan terbaik kepada pengguna.
Langkah-langkah yang diambil OJK dalam memperkuat ekosistem pindar memperlihatkan pendekatan strategis dan menyeluruh. Dimulai dari regulasi yang menekankan perlindungan konsumen, peningkatan kapasitas finansial pelaku usaha, hingga pembentukan ekosistem asuransi yang saling menopang.
Komitmen OJK terhadap pengembangan sektor ini secara sehat juga sejalan dengan praktik terbaik global. Dalam banyak yurisdiksi, sistem P2P lending yang sukses selalu ditopang oleh regulasi yang ketat namun mendukung inovasi. OJK pun tampaknya mengarah ke posisi itu sebagai fasilitator pertumbuhan sekaligus pengawas yang andal.
Dengan segala upaya ini, harapannya industri pindar di Indonesia tidak hanya berkembang secara kuantitatif, tetapi juga secara kualitatif. Keseimbangan antara inovasi teknologi dan perlindungan konsumen menjadi kunci utama untuk mendorong inklusi keuangan secara berkelanjutan.
Sebagai regulator, OJK memainkan peran penting untuk memastikan bahwa pertumbuhan yang terjadi tidak hanya cepat, tetapi juga sehat dan terlindungi. Dukungan kebijakan yang berpihak pada stabilitas jangka panjang akan menjadi fondasi kuat bagi industri layanan keuangan digital di masa depan.