JAKARTA - Upaya penguatan komitmen iklim Indonesia terus menunjukkan progres signifikan. Pemerintah saat ini tengah menyelesaikan tahapan akhir dari penyusunan dokumen Second Nationally Determined Contribution (Second NDC), dengan sektor energi sebagai fokus utama dalam langkah pengurangan emisi gas rumah kaca.
Dalam dokumen terbaru yang tengah disusun, Indonesia menunjukkan pendekatan yang lebih terintegrasi dan realistis terhadap pencapaian target iklim. Second NDC menjadi versi pemutakhiran dari komitmen iklim nasional, sebagaimana diamanatkan dalam Perjanjian Paris, di mana negara-negara pihak diharuskan memperbaharui target kontribusi setiap lima tahun.
Direktur Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Emma Rachmawaty, mengungkapkan bahwa penyusunan Second NDC dilakukan dengan mempertimbangkan Enhanced NDC yang telah disampaikan Indonesia sebelumnya kepada Sekretariat UNFCCC. Ia menyatakan bahwa versi terbaru NDC akan mencerminkan pemutakhiran data dan memperkuat komitmen pengurangan emisi berdasarkan realita sektoral dan dukungan teknologi yang lebih mutakhir.
“Targetnya masih sama dengan Enhanced NDC, tetapi akan diperjelas dalam Second NDC dengan pendekatan yang lebih transparan dan berdasarkan perhitungan terbaru dari masing-masing sektor,” ujar Emma.
Sebagai informasi, dalam Enhanced NDC, Indonesia telah menetapkan target pengurangan emisi sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri (unconditional), dan sebesar 43,20 persen apabila didukung kerja sama internasional (conditional) pada 2030.
Peta Jalan Mitigasi: Energi Jadi Andalan
Sektor energi menjadi kontributor emisi terbesar kedua setelah sektor kehutanan dan penggunaan lahan. Oleh karena itu, dalam kerangka Second NDC, sektor ini mendapat perhatian khusus untuk mendukung pengurangan emisi nasional secara signifikan.
Emma menyampaikan bahwa peta jalan mitigasi untuk sektor energi akan diselaraskan dengan dokumen-dokumen strategis nasional lainnya, termasuk Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 dan dokumen First Biennial Transparency Report (BTR) yang juga tengah dalam proses finalisasi.
Menurutnya, konsistensi antara NDC dan laporan-laporan iklim lainnya sangat penting untuk membentuk kebijakan yang harmonis dan terukur dalam jangka panjang.
“Pendekatannya akan kita selaraskan antar dokumen. Misalnya, dalam BTR kita sertakan proyeksi emisi hingga 2050, dan angka itu harus sejalan dengan NDC maupun LTS,” paparnya.
Membangun Kepercayaan Lewat Data Transparan
Indonesia terus mendorong transparansi dan kredibilitas data dalam setiap laporan iklimnya. Dalam Second NDC, pemerintah menekankan penggunaan sistem inventarisasi gas rumah kaca yang lebih akurat dan sistematis. Hal ini mencerminkan komitmen Indonesia untuk memastikan setiap langkah iklimnya dapat diverifikasi secara internasional.
Emma menjelaskan bahwa penyusunan NDC bukan sekadar menyusun angka target, tetapi juga menyertakan pendekatan metodologis yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan administratif.
“Sistem data nasional akan menjadi tulang punggung penghitungan emisi ke depan. Jadi semua sektor diminta menyusun data berdasarkan standar yang sama agar hasilnya dapat dibandingkan dan dihitung secara konsisten,” imbuhnya.
Keterlibatan Sektor Non Pemerintah
Tidak hanya pemerintah, penyusunan NDC juga melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti akademisi, pelaku industri, lembaga swadaya masyarakat, hingga komunitas masyarakat sipil. Proses ini memperkuat prinsip inklusivitas dalam agenda iklim nasional.
“Stakeholder consultation sangat penting dalam penyusunan NDC. Kami libatkan banyak pihak sejak awal agar dokumennya merepresentasikan situasi dan tantangan nyata di lapangan,” kata Emma.
Hal ini juga mencerminkan semangat kolaboratif yang menjadi fondasi kuat bagi penguatan aksi iklim nasional. Keterlibatan multipihak juga mendukung implementasi kebijakan yang lebih efektif karena adanya rasa kepemilikan dari berbagai sektor.
Menyongsong Masa Depan Rendah Karbon
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah mencatatkan sejumlah capaian dalam transisi energi, mulai dari peningkatan bauran energi terbarukan hingga inisiatif pensiun dini PLTU batu bara. Kebijakan seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) dan platform pendanaan iklim lainnya memberikan ruang bagi percepatan transformasi sistem energi nasional.
Dengan menjadikan sektor energi sebagai prioritas dalam Second NDC, Indonesia menegaskan langkah strategis menuju masa depan rendah karbon yang inklusif dan berkelanjutan. Penyusunan dokumen ini juga menjadi momentum untuk mengonsolidasikan arah kebijakan pembangunan nasional yang sejalan dengan agenda global.
“Kami berharap dengan pendekatan baru dalam Second NDC, kita bisa menunjukkan bahwa Indonesia serius dalam menjalankan komitmen iklim, bukan hanya sebagai kewajiban, tapi sebagai bagian dari transformasi pembangunan,” tutup Emma.