JAKARTA - Pergerakan harga minyak menunjukkan sentimen positif pada seiring perhatian pasar yang tertuju pada perkembangan diplomasi dagang antara Amerika Serikat dan sejumlah mitra utamanya. Situasi ini memberikan dorongan terhadap komoditas energi global setelah sebelumnya sempat mengalami pelemahan selama tiga hari berturut-turut.
Pukul 07.24 WIB, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman September 2025 di New York Mercantile Exchange tercatat naik 0,43% menjadi US$ 65,59 per barel, dari posisi sebelumnya di US$ 65,31 per barel.
Kenaikan ini dinilai sebagai respons pasar atas berbagai kabar baik yang muncul dari upaya dialog dagang yang sedang berlangsung. Sejumlah analis menilai bahwa investor kembali optimistis melihat potensi pemulihan hubungan perdagangan global, yang pada akhirnya berdampak terhadap permintaan energi dunia.
Mengutip Bloomberg, harga minyak WTI untuk kontrak pengiriman September berhasil bangkit setelah mengalami koreksi selama tiga hari. Pemulihan harga ini tak lepas dari pengumuman resmi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menyampaikan bahwa telah tercapai kesepakatan dagang dengan dua negara mitra penting, yakni Filipina dan Jepang.
Dalam keterangannya, Presiden Trump menyampaikan bahwa AS dan Filipina sepakat memberlakukan tarif baru sebesar 19% dalam skema perdagangan bilateral. Sementara dengan Jepang, kesepakatan dagang menghasilkan tarif sebesar 15%. Langkah ini disambut pasar dengan harapan akan tercipta kepastian dan kelancaran perdagangan internasional ke depan.
Perkembangan menggembirakan tak berhenti di situ. Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menyatakan akan melakukan pertemuan penting dengan Menteri Keuangan China pada pekan depan. Lokasi yang dipilih untuk perundingan ini adalah Stockholm, Swedia, yang dipandang sebagai tempat netral untuk membuka peluang komunikasi terbuka dan konstruktif.
“Kami berencana membahas berbagai hal penting, termasuk potensi penyesuaian waktu dalam pemberlakuan tarif untuk China,” ungkap Bessent.
Bessent juga mengisyaratkan adanya peluang untuk memperpanjang batas waktu implementasi tarif terhadap China, dari yang semula direncanakan pada 1 Agustus menjadi 12 Agustus. Hal ini menjadi sinyal kuat bahwa masih terbuka ruang untuk negosiasi lanjutan, demi meredakan ketegangan perdagangan yang sempat meningkat dalam beberapa bulan terakhir.
Dinamika ini turut memberi efek langsung terhadap harga minyak, yang selama bulan Juli bergerak dalam rentang terbatas setelah mengalami gejolak besar pada Juni lalu. Investor kini memantau ketat arah kebijakan dagang dan pernyataan para pejabat ekonomi negara-negara besar, karena faktor tersebut sangat memengaruhi proyeksi permintaan energi global.
Di sisi lain, harga minyak Brent tercatat mengalami koreksi sepanjang tahun ini. Sejauh 2025 berjalan, harga Brent telah turun sekitar 8%. Penurunan ini banyak dipicu oleh kekhawatiran atas dampak perang tarif terhadap aktivitas konsumsi global.
Namun demikian, kabar terbaru dari Washington memberikan semangat baru bagi pelaku pasar. Ada harapan bahwa kesepakatan-kesepakatan dagang yang berhasil diraih AS akan membuka jalan untuk kestabilan jangka panjang di pasar minyak.
Apalagi, peran penting Tiongkok dalam konsumsi energi global menjadikan pembicaraan antara AS dan China sebagai fokus utama dalam jangka pendek. Bila hasil perundingan itu mengarah pada pengurangan hambatan dagang, maka permintaan terhadap minyak mentah diprediksi akan mengalami pemulihan signifikan.
“Pasar saat ini merespons dengan cukup positif langkah-langkah diplomatik yang dilakukan oleh AS,” ujar seorang analis energi yang dikutip Bloomberg. “Harapan bahwa negosiasi bisa berjalan lebih tenang dan produktif membuat harga minyak kembali stabil.”
Lebih jauh, banyak pihak meyakini bahwa sikap moderat dalam pendekatan tarif akan memberikan ruang pemulihan ekonomi di berbagai negara, terutama yang tergabung dalam rantai pasok energi global. Dengan demikian, permintaan minyak pun dapat terjaga, bahkan meningkat pada kuartal mendatang.
Kendati demikian, investor tetap memperhatikan dinamika lainnya yang bisa berpengaruh terhadap pasar energi, termasuk fluktuasi nilai tukar, data stok minyak mentah, dan cuaca di kawasan penghasil utama.
Untuk saat ini, perhatian tertuju pada arah perundingan berikutnya, serta sejauh mana pelonggaran tarif mampu memberi dampak terhadap aktivitas ekspor-impor, yang selama ini menjadi pendorong utama konsumsi bahan bakar fosil.
Dengan pemulihan harga WTI dan potensi perpanjangan negosiasi tarif, pelaku pasar berharap kestabilan harga minyak dapat dipertahankan dalam beberapa pekan ke depan. Kabar baik dari Washington dan Stockholm menjadi sinyal positif bahwa kerja sama internasional tetap menjadi opsi utama dalam menjaga keseimbangan ekonomi global.