JAKARTA - Dukungan terhadap upaya pembenahan tata kelola sektor pertambangan di Aceh Selatan terus mengalir. Kali ini, Gerakan Pemuda Negeri Pala (GerPALA) menyampaikan apresiasinya kepada Bupati Aceh Selatan yang mulai mengambil langkah nyata dalam menertibkan praktik pengelolaan tambang yang selama ini dinilai kurang memberikan manfaat optimal bagi daerah dan masyarakat.
Menurut Koordinator GerPALA, Fadhli Irman, Aceh Selatan memiliki potensi sumber daya alam yang besar, namun pengelolaannya belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan masyarakat. Dalam pandangannya, berbagai rekomendasi usaha pertambangan yang pernah dikeluarkan oleh pihak terkait, terkesan terlalu mudah diberikan tanpa kajian menyeluruh.
“Selama ini, ribuan hektare lahan di Aceh Selatan sudah masuk dalam wilayah pengelolaan perusahaan tambang. Jumlahnya sangat fantastis, padahal pengelolaannya belum tentu membawa dampak positif bagi masyarakat,” ujar Irman.
Berdasarkan data Dinas ESDM Aceh, disebutkan bahwa sudah terdapat tujuh perusahaan yang mengantongi izin eksplorasi dengan total area 6.622,37 hektare. Selain itu, terdapat satu koperasi yang telah memiliki IUP Operasi Produksi seluas 200 hektare, serta dua perusahaan lain yang izinnya telah dicabut pemerintah atas lahan seluas 1.000 hektare.
Irman menilai, apabila seluruh wilayah pertambangan hanya dikuasai oleh pihak korporasi, maka keadilan sebagaimana yang diamanatkan oleh regulasi, akan sulit tercapai. “UU Nomor 2 Tahun 2025 dan Qanun Aceh jelas menyebutkan pembagian wilayah antara WIUP, WIUPK, dan WPR. Sayangnya, di Aceh Selatan semua wilayah tersebut dikuasai oleh WIUP. Hal ini tidak sehat dan berpotensi merugikan masyarakat dan daerah,” paparnya.
Menurutnya, masyarakat seharusnya memiliki ruang untuk turut serta mengelola potensi tambang melalui skema Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) atau perusahaan milik daerah melalui WIUPK. Dengan demikian, keuntungan dari kekayaan alam bisa lebih banyak dirasakan masyarakat lokal.
Ia menegaskan bahwa masyarakat Aceh Selatan tidak menolak kehadiran investasi. Namun, investasi yang masuk harus memberikan dampak positif, termasuk kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta peningkatan kesejahteraan warga sekitar.
“Yang kita inginkan adalah investasi yang adil. Jangan sampai masyarakat hanya jadi penonton, apalagi korban. Investasi harus membawa perubahan dan kemajuan,” ujarnya.
Salah satu langkah Bupati Aceh Selatan yang diapresiasi GerPALA adalah penerbitan surat resmi nomor 540/791 tertanggal 18 Juli 2025, yang mewajibkan keuchik dan camat untuk melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan Bupati sebelum memberikan rekomendasi izin usaha pertambangan. Menurut Irman, kebijakan ini penting agar tidak terjadi keputusan terburu-buru dalam memberikan izin kepada pihak perusahaan.
“Banyak kasus di mana rekomendasi dikeluarkan tanpa telaah mendalam. Akibatnya, ketika perusahaan mulai beroperasi, masyarakat baru menyadari dampak negatifnya,” sebut Irman.
Selain itu, penghentian sementara aktivitas KSU Tiega Manggis dan PT PSU oleh Bupati juga dinilai sebagai langkah tegas dalam menjaga kepatuhan pelaku usaha terhadap aturan yang berlaku. Menurut Irman, evaluasi menyeluruh terhadap kinerja perusahaan tambang menjadi kebutuhan mendesak.
GerPALA juga mendorong agar Bupati mengevaluasi seluruh IUP eksplorasi yang telah diberikan. Hal ini penting agar semua pemegang izin benar-benar melaksanakan kewajibannya, termasuk menyusun rencana kegiatan, melaporkan aktivitas eksplorasi dan operasi produksi, serta memenuhi kewajiban keuangan seperti pajak dan royalti.
“Jika ada perusahaan yang tidak patuh, maka pencabutan izin menjadi pilihan logis dan sah sesuai peraturan,” tegas Irman.
Ia juga menyampaikan harapan agar lahan eks WIUP milik PT BMU dan PT MMU yang izinnya telah dicabut, bisa dikelola oleh BUMD agar hasilnya dapat langsung digunakan untuk pembangunan dan peningkatan PAD.
“Kami berharap, melalui tata kelola yang lebih tertib, Aceh Selatan bisa memaksimalkan potensi sektor pertambangan untuk kemajuan daerah. Sudah saatnya rakyat turut menikmati kekayaan alam negeri ini,” tambahnya.
Lebih lanjut, Irman menyebutkan pentingnya pemerintah daerah mengakhiri praktik pengelolaan tambang yang selama ini lebih menguntungkan pihak luar. Ia berharap mimpi buruk rakyat terkait pertambangan yang tidak adil bisa segera berakhir.
“Sudah saatnya kita akhiri istilah seperti ‘buya lam krueng teudong-dong, buya tamong meuraseuki’. Rakyat tidak boleh hanya dapat debu sementara kekayaan diangkut keluar daerah,” ujarnya.
Berikut daftar pemegang IUP eksplorasi mineral dan batubara di Aceh Selatan menurut data Dinas ESDM Aceh:
-PT Aceh Selatan Emas, seluas 1.648 Ha (emas)
-PT Bersama Sukses Mining, seluas 752,4 Ha (emas)
-PT Samasama Praba Denta, seluas 605 Ha (emas)
-PT Acsel Makmur Alam, seluas 577,37 Ha (emas)
-PT Kotafajar Limestone Persada, seluas 1.800 Ha (batu gamping untuk industri semen)
-PT Kotafajar Lempung Persada, seluas 345 Ha (clay)
-PT Aceh Bumoe Pusaka, seluas 894,6 Ha (bijih besi)
Dengan semakin kuatnya sinergi antara masyarakat sipil dan pemerintah daerah dalam pengawasan dan penataan sektor pertambangan, Aceh Selatan diharapkan mampu menjadikan kekayaan alamnya sebagai sumber kemakmuran bersama. Pendekatan partisipatif dan transparan akan menjadi kunci dalam memastikan bahwa aktivitas pertambangan tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga mendorong pembangunan berkelanjutan di seluruh wilayah.